Aero school

Rain Dandelion
Chapter #11

TENTANG GELAP

Apa yang lebih menyedihkan dari seorang anak kecil yang mendapat perlakuan buruk tanpa tahu apa kesalahannya?

Menurut Ave, itulah pengalaman terburuk yang pernah dialaminya saat berumur 8 tahun.

Waktu itu, disaat Denan masih koma di rumah sakit, Ave pulang sekolah sendirian. Masalah keluarga dan perusahaan yang tak kunjung usai membuat Melvion lalai dalam menjaga putrinya. Ia lupa menyuruh sopir untuk menjemput Ave.

Ave sebenarnya tidak mempermasalahkan, karena hari-hari biasanya ia selalu pulang sekolah berjalan kaki bersama Denan meskipun rumah mereka cukup jauh.

Namun saat itu, ketika Ave berjalan sendirian dan tiba-tiba ada seorang lelaki besar yang menyekapnya dari belakang—saat itulah Ave sadar, jika hari itu adalah hari yang berbeda.

Tubuhnya reflek memberontak dari cekalan pria dewasa itu, tetapi tak berapa lama karena tubuhnya kini melemas efek menghirup obat bius.

Setelah itu ketika membuka mata, yang Ave temukan hanyalah kegelapan. Ia berada dalam ruangan persegi yang pengap, dan Ave merasa akan kehabisan napas kalau saja tidak ada ventilasi kecil di pojok dinding. Ia dipaksa bertahan hidup dalam ruangan kecil yang sangat gelap dan pengap itu.

Bahkan ketika ada seseorang yang mendatanginya sembari membentak-bentaknya kasar, Ave tak dapat melihat wajahnya saking gelapnya ruangan tersebut.

"Keluarkan tangisan kamu! Cepat! Keluarkan semua kesakitan kamu!" Sedari kecil Ave membenci gelap, namun yang dirasakannya saat itu adalah ketakutan. Ia sangat merasa takut di tempat gelap itu.

Ketika suara seseorang itu terdengar semakin kasar membentaknya, Ave hanya bisa menangis dalam diam. Ia tak bisa berteriak, lebih tepatnya tidak mau karena tak ingin melihat seseorang itu tertawa penuh kemenangan.

"Ayah kamu menghancurkan kebahagiaanku! Dan sekarang waktunya aku merusak kebahagiaannya!" Ave menahan sakit ketika kedua pipinya ditekan begitu kuat dan seseorang itu menghempaskan wajahnya begitu saja.

Ave tidak tahu siapa orang yang bersamanya ini, ia juga tidak tahu dimana mereka berada.

Ave menahan isakannya, ia tak tahu apa salahnya sampai orang ini begitu tega membentak dan menyakitinya berulang kali. Yang Ave tahu dirinya masih bersedih dengan kondisi Denan dan keluarganya.

Jadi Ave justru bingung dengan perasaannya sekarang. Karena mengingat keadaan Denan, kemarahan Dad dan tangisan Mum lebih membuatnya sakit daripada seberapa tersiksa dirinya sekarang.

"Kamu abaikan ancaman saya! Anak kamu jadi jaminan!" Seseorang itu terlihat mengancam orang lain dan dari cahaya ponsel yang menyala dapat Ave lihat wajah seorang lelaki yang menyiksanya itu, wajah yang tampak familiar di ingatannya. Ave mengernyit ketika mengingatnya, lelaki ini adalah orang yang sama dengan yang terluka karena menolong Denan waktu itu. Layar ponsel itu beralih ke depan wajah Ave, menampilkan wajah Melvion yang memerah karena menahan amarah dan kekhawatiran.

"Dad ...." Suara Ave terdengar lirih karena terlalu lama menahan tangisannya.

"Sayang ..., Avelyn, maafin Dad. Dad mohon tunggu Dad sebentar lagi, Dad pasti menyelamatkan kamu, jangan takut ya, sayang."

Melvion datang beberapa saat kemudian, ayahnya menyelamatkannya namun tidak dapat menangkap sang pelaku karena lelaki itu telah kabur terlebih dahulu. Saat itu Ave kira kesakitannya akan berakhir, ia dapat mencurahkan perasaannya kepada kedua orang tua dan masalah berakhir. Namun nyatanya, ketika dirinya pulang ke rumah, yang dihadapinya justru perseteruan yang lebih besar. Pertengkaran kedua orang tuanya yang semakin menjadi.

"Buta kamu, Lilyana! Lihat semua yang terjadi dengan anak kita! Itu semua ulah lelaki berengsek yang sayangnya masih kamu cintai!" Saat sampai di rumah, Dad hanya memastikan Ave telah diobati oleh perawat di kamarnya. Setelahnya Dad kembali bertengkar dengan Mum, dan suara mereka tentu terdengar dari kamar Ave.

"Apa kamu bilang? Kamu yang berengsek karena menuduh seseorang tanpa bukti! Bagaimana dia mau melakukan kejahatan itu jika orangnya saja tidak berada di sini?!"

Luka di tubuh Ave memang bisa disembuhkan oleh dokter, tapi siapa yang seharusnya dapat menyembuhkan luka di hati selain kedua orangtuanya?

Umumnya, naluri seorang anak yang terluka, ketika melihat orang tuanya pasti ingin mengadu dan mengharap belas kasih mereka, bukan malah mendapat tontonan yang dapat menghancurkan jiwanya.

Ave meringkuk di atas ranjangnya ketika perseteruan kedua orang tuanya belum juga usai.

"Ohh, kamu masih berhubungan dengan lelaki itu? Disaat kamu sadar telah menjadi istri orang! Percuma kamu sekolah tinggi! Bersikap elegan di depan kamera, kalau sikap nyata kamu tidak ada attitudenya sama sekali!"

Otak Ave cukup pintar, mendengar pertengkaran mereka ia jadi berpikir. Apa salah Mum sampai Dad semarah itu? siapa lelaki yang dimaksud Dad? Yang masih dicintai Mum? Memangnya Mum tidak mencintai Dad?

"Aku melakukannya cuma untuk memastikan kalau kamu salah menilai orang!"

"Terserah Lilyana! Terserah! Percuma saya menjelaskan! Hati kamu sudah buta! Beribu kali pun saja jelaskan, kamu tidak akan percaya! Sekarang lakukan apapun yang kamu mau, saya tidak akan peduli lagi!" Melvion mengakhiri adu mulut mereka, ia meninggalkan Lilyana yang terisak menuju kamar putrinya. Ketika membuka pintu dan mendapati netra caramel yang serupa dengannya itu menatap polos, pertahanan Melvion seketika hancur. Tubuhnya luruh, dan ia membiarkan isakannya lolos di hadapan sang putri. Tangan Melvion menyentuh luka lebam di pergelangan tangan Ave dengan perasaan hancur.

"Dad, kenapa nangis?" Suara serak Ave membuat Melvion memeluk putrinya dengan lembut.

Lihat selengkapnya