"Ave ..., hei! Lihat gue." Ave kembali tersentak ketika Rovero menarik pundaknya lembut untuk menghadap lelaki itu. Ave memaksa kesadarannya kembali dengan mengerjapkan matanya berkali-kali.
"Nggak ada siapapun selain lo dan gue. Anggap mereka angin lalu, bukankah suara musik lebih indah daripada suara sialan itu?" Rovero tersenyum, membuat Ave terpaku menatap netra abu yang sangat dekat dengannya itu.
Musik di telinganya seakan mengalihkannya dari suara-suara mengerikan itu. Ave mulai dapat menguasai dirinya sendiri, ia menghembuskan napasnya kasar dan mencoba tersenyum ke arah Rovero.
Nyatanya, seberusaha apapun Ave menempatkan diri di keramaian, berusaha mengenali perasaannya sendiri, nyatanya perasaannya itu tetap terkubur dalam-dalam. Semua usahanya selalu berakhir dengan menganggap semuanya baik-baik saja, pikirannya selalu mengatakan kalau ia tak berhak marah apalagi berlarut-larut dalam kesedihan.
"Gue udah tahu sedikit tentang lo, dari Denan." Rovero mengubah posisinya menjadi berdandar di punggung kursi.
Sebenarnya ia sudah melihat keberadaan Ave sedari tadi. Ia menyempatkan diri untuk mengirim pesan kepada Denan, dan berakhir menghampiri Ave ketika Denan menyuruhnya untuk mengawasi perempuan itu.
Lagipula wajah ketakutan Ave tentu membuatnya bergegas untuk menghampiri.
"Lo juga, ngapain di sini? Sama pengamen tadi?" Ave tersenyum tipis, berusaha mengalihkan topik tentang dirinya dan Rovero tersenyum miring ketika menyadarinya.
"Lo tau nggak, sih? Kalau menurut gue, pengamen tuh pekerja yang hebat banget?" Ave menatap wajah lelaki itu dari samping, tertarik mendengar ucapannya.
"Maksud, lo?"
"Mereka nggak sungkan untuk nunjukin bakat mereka, sekecil apapun. Dan ..., meskipun seringkali berakhir cuma dihina, dimarahin, diusir karena dianggap pengganggu, mereka nggak marah. Mereka tetep tersenyum. Padahal ..., ayolah, apa susahnya ngeluarin uang seribu-duaribu buat apresiasi usaha mereka. Berapapun uangnya mereka pasti bahagia banget kan, bahkan kadang sampai berterimakasih dengan sebegitu tulusnya. Padahal belum tentu yang menonton sanggup untuk jadi mereka, belum tentu mereka yang nonton sanggup untuk bekerja sedini itu." Ketika Rovero bercerita dengan tatapan menerawang menatap langit senja, Ave jadi tersadarkan. Jika saat ini, Rovero terlihat sangat berbeda.
"Kenapa lo sedetail itu tau tentang perasaan mereka?" Ave bertanya pelan, yang hanya ditanggapi tawa kecil lelaki itu. Ujung bibir Ave berkedut untuk ikut tersenyum, pikirannya kini dipenuhi berbagai pernyataan tentang lelaki di sampingnya ini.
"Karena lo pernah jadi seperti mereka." Ave berucap dengan nada ragu, antara memberi pertanyaan atau malah pernyataan. Dan Ave tak mendapat pengelakan, membuatnya tersentak mendapatkan kenyataan tersebut.
Rovero kembali tertawa kecil.
"Lo pasti lihat anak kecil tadi, kan? Yang bawa kentrung?" Rovero menoleh, menatap jawaban Ave yang mengangguk kecil sebelum kembali menatap langit senja.
"Dulu ..., pertama kali kita ketemu, dia masih umur 7 tahun, kelas 2 SD. Dia udah ngamen pake tutup botol beling yang dia buat sendiri jadi alat musik. Dan sekarang dia udah kelas 6 SD, dia udah bisa beli kentrung dengan usahanya sendiri, dia juga belajar mainnya secara otodidak." Ave semakin terpaku, mendengar ucapan demi ucapan dari Rovero, membuat dirinya tak bisa mengalihkan tatapannya dari lelaki itu. Rovero balik menatap netra caramel yang sedang terpaku.
"Lo tau? Andaikan hidup mereka lebih beruntung, mereka mungkin udah jadi pemusik kecil yang hebat, terkenal. Tapi nggak, Ave ..., mereka lebih milih hidup seadanya. Mereka terima keadaan, terima kenyataan kalau mereka memang nggak mampu. Dan mereka bahagia, Ave .... Belum tentu dengan jadi orang terkenal, mereka masih bisa bahagia dengan memaksa tampil sana sini demi ngejar minat followers. Mereka bersyukur dengan kehidupan sekarang, bebas menampilkan keinginannya tanpa peduli komentar orang lain. Karena mereka udah ikhlas ngejalaninnya, mereka menerima sepenuhnya akan jalan hidup mereka." Rovero tersenyum kecil, namun matanya terlihat meredup menatap Ave yang masih mematung.
"Kalau pengamen seperti mereka sanggup buat nerima keadaan, meskipun sering sedih, marah dan kecewa dengan kehidupan mereka. Tapi mereka mengakuinya, berakhir ikhlas dan bahagia dengan keadaan mereka ..., kenapa lo nggak, Ave?"