Aero school

Rain Dandelion
Chapter #13

MULAI BERBEDA

"Nggak usah prihatin gitu, natapnya ..., kehidupan gue nggak lebih menyedihkan dari kehidupan lo, kok." Rovero tertawa kecil menatap wajah sedih Ave, membuat wajah perempuan itu seketika berubah kesal. Setelah di taman tadi, Rovero memaksa Ave untuk makan di restoran, ia tahu Ave belum makan dari Denan.

"Terus, gimana ceritanya lo bisa kayak sekarang? Nggak mungkin kan, cuma ngamen bisa jadi konglomerat," sarkas Ave balik, membuat Rovero tertawa renyah.

Katanya, semakin pertemanan terlihat erat, itu dapat terlihat dari cara mereka saling menghina.

"Ya ..., akhirnya dibantu temennya, Aunty Mariene bisa temuin gue waktu gue umur 10 tahun. Karena aunty sayang banget sama mama, sama gue..., dia bawa gue pulang. Lagipula aunty nggak punya anak, jadi dia rawat gue kayak anaknya sendiri. Tapi gue nggak mau diajak balik ke Amsterdam, gue nggak mau ketemu keluarga mama."

"Noh ketahuan, kan. Lo juga nggak bisa nerima keadaan," todong Ave dengan cepat. Rovero tersenyum kecil.

"Nggak, Avelyn ..., kalo gue nggak nerima keadaan, gue udah maki-maki aunty karena ninggalin mama waktu sakit. Gue nggak benci dia, gue juga nggak benci keluarga mama. Gue justru bersyukur sama kehidupan gue, gue nggak akan tahu enaknya nikmatin hasil kerja keras sendiri, gue nggak akan tahu rasa bahagia yang sebenarnya, kalau aja keluarga mama nggak buang gue." Rovero menatap Ave, yang terlihat diam—membenarkan.

"Cuma ya ..., buat apa gue nyamperin seseorang yang nggak nganggap keberadaan gue? Gue juga nggak ngerasa butuh sama mereka, jadi yaudahlah, kita udah sama-sama bahagia dengan kehidupan masing-masing." Ave mengangguk kecil. Ia kembali memotong steak kesukaannya, dan melahapnya.

"Berarti, jam tangan Denan waktu itu hasil dari lo minta uncle lo, dong? Dih, ngrepotin banget ...." Ave bergurau dengan perasaan tak enak hati.

"Enak aja! Gue cuma minta tolong cariin, selebihnya gue yang bayar, lah. Gue juga udah punya penghasilan sendiri kali," elak Rovero menatap Ave sangsi, merasa terinjak harga dirinya sebagai lelaki.

"Hm? Massa?" Ave tersenyum miring, meremehkan.

"Okay, besok gue kirim ke rumah lo, jam tangan limited edition tanpa bantuan uncle gue lagi. Mau merk apa, lo?"

"Astaga, Rov? Bercanda!" Tanpa sadar Ave tertawa renyah, melupakan keadaan dirinya yang sedang tidak baik-baik saja.

Dan hal itu membuat Rovero terpaku, karena Ave tak pernah tertawa selepas itu. Rovero ikut tersenyum menatap pemandangan indah di hadapannya.

"Semakin dewasa gue juga mikir, Ave. Massa gue hidup mau numpang aunty, ngabisin duitnya terus. Jadi pas gue SMP, gue join grup band kakak kelas. Dan beruntungnya band itu berhasil manggung dari satu kafe ke kafe yang lain, sampe berhasil ngadain konser pas gue SMA. Pas gue masuk SMA, gue kerja jadi DJ di diskotik milik temennya uncle, sampai sekarang."

Ave membulatkan bibir, sampai sini Ave jadi paham, jika Rovero adalah tipe orang pekerja keras sejak dini. Ave mengangguk-angguk takjub.

"Gue juga punya beberapa studio musik sama toko alat musik," Ave kembali membulatkan bibir, ternyata tidak hanya dirinya yang mencintai musik, Rovero juga sama.

Baiklah, lelaki ini sudah memiliki penghasilan sendiri, setidaknya Denan bukan berarti menghabiskan duit keluarga Rovero.

Tanpa terasa Ave justru dapat bercanda beberapa lamanya dengan Rovero, melupakan sejenak kericuhan dalam pikirannya. Dan banyak tawa lepas yang tidak disadarinya.

"Makasih, ya ...." Mereka sudah berada di parkiran. Karena langit sudah sepenuhnya gelap, mereka memutuskan untuk segera pulang.

Rovero menoleh dan tersenyum tipis.

"Kenapa? Udah sadar, kalo gue cowok baik-baik?"

Ave hanya memutar bola matanya malas, tapi tak mengelak.

Ave merasakan angin malam yang berhembus kencang, membuat kakinya sedikit merinding kedinginan. Ia menyesal memakai celana pendek, ia pasti akan kedinginan di motor nanti. Ave menoleh ke Rovero.

"Lo cowok baik-baik kan, pinjem jaket lo, dong! Dingin ini." Ave menyodorkan telapak tangannya dengan tatapan lempeng, meminta dengan percaya diri. Rovero meliriknya beberapa saat sebelum tertawa kecil, tak menyangka Ave dapat bersikap seperti itu kepadanya.

Mengabaikan tangan Ave yang masih terangkat, Rovero melepas jaketnya dan langsung mengikatnya di pinggang Ave, menutupi bagian depan kaki jenjang perempuan itu. Tanpa sadar Ave menahan napas saat Rovero melakukannya.

"Napas, Ave." Rovero bangkit dari berlututnya dan menyentil dahi Ave, ia tertawa kecil melihat wajah kaku Ave.

Sedangkan Ave terdiam kikuk, ia berusaha menetralkan wajahnya. Bisa-bisanya dirinya mudah sekali dikuasai lelaki itu, ia jadi susah mengendalikan wajah datar yang sedari dulu menjadi bakatnya. Seharusnya Ave akan marah jika Rovero berani modus padanya, tapi kini yang terjadi dirinya justru terdiam sembari tersenyum tipis, bahkan ketika sampai di depan rumahnya pun Ave masih menahan senyumnya.

Dengan paksaan dari Denan, Ave berakhir pulang bersama Rovero. Soal motor, biarlah pegawai rumahnya yang mengambil nanti.

"Lo udah baik-baik aja, kan?" tanya Rovero membuat Ave menaikkan alisnya.

Lihat selengkapnya