Aero school

Rain Dandelion
Chapter #16

SEMESTA BERCANDA

Ave paham, perjuangan Dad untuk mengembalikan Mum berakhir sia-sia. Semua Dad lakukan demi kedua malaikat kecilnya.

Sebenarnya, Dad bukanlah tipe orang yang rela memperjuangkan seseorang yang sudah mengkhianati kepercayaannya, yang selalu meragukan usahanya.

Berkali-kali Dad berjuang menunjukkan bukti kalau Jacques Lafenite—yang dulu juga pesaing perusahaannya, adalah dalang dari segala kecelakaan yang terjadi pada kedua anak mereka. Berkali-kali pula Jacques menampilkan topeng malaikatnya dan mengerahkan segala bukti rekayasa, membuat Mum justru membenci Dad yang dianggapnya mengada-ada.

Ternyata cinta bisa membutakan mata seseorang itu memang benar adanya.

Mum berakhir memilih mempercayai dan kembali ke cinta masalalunya, tanpa mempertimbangkan kedua buah hati dan segala perjuangan Dad.

Setelah bercerai Dad masih berusaha memperbaki semuanya, dan berakhir Dad menyerah ketika Mum benar-benar tidak mau mempercayainya.

Ave paham semuanya, semakin dewasa Ave semakin mengetahui segala rahasia dalam kerusakan keluarga kecilnya.

Ave bahkan pernah menemukan flashdisk yang berisi bukti percakapan Jacques yang menyuruh seseorang melakukan kecelakaan kecil terhadap Denandra—berharap Jacques bisa berlagak seperti malaikat penolong, sayangnya yang terjadi justru kecelakaan besar yang hampir saja merenggut nyawa Denandra. Flashdisk yang pernah Dad tunjukkan ke Mum tapi justru dibuang tanpa dilihat isinya terlebih dahulu. Dan untuk penculikan dirinya, Ave tak perlu bukti apapun karena ia sendiri melihat dengan jelas wajah Jacques yang menyekap dan menyakitinya. Ave dulu terlalu lelah mendengar pertengkaran mereka setiap hari, sampai untuk berucap jujur saja ia tak mampu. Ave pikir biarlah semuanya berlalu dan luka itu akan terobati.

Namun ternyata, setelah kembali melihat lelaki jahat itu, Ave seperti merasakan apa yang Dad rasakan waktu itu.

Ave paham semuanya,hanya satu yang tak dipahaminya. Di mana letak hati nurani lelaki di hadapannya ini, yang masih bisa menampilkan senyum menjijikkannya setelah semua yang dilakukannya di masa lalu.

Ave tersadar dari renungannya ketika Lilyana memeluk tubuhnya dengan erat, seakan menyalurkan segala kerinduannya yang terpendam. Ave tak membalas pelukan ibunya, tangannya justru menggenggam erat tangan Rovero yang masih bertahan di sampingnya.

Rovero terlihat mengernyit heran, namun tetap membalas genggaman tangan Ave.

Ave rindu, tapi perasaannya seakan datar, kosong, dan hilang tak bersisa.

Sayangnya Ave tak bisa menyembunyikan raut kebenciannya kepada lelaki di samping ibunya itu, yang takkan pernah sudi Ave sebut sebagai ayah tirinya.

Bahkan Ave terang-terangan menepis kasar tangan Jacques yang hendak menyentuh pundaknya.

"Kemana Mum selama ini? Lupa, kalau punya anak yang selalu butuh kasih sayang ibunya?" Ave tidak bisa menahannya lagi, segala perasaannya yang terpendam selama ini seakan membeludak dan dapat Ave rasakan satu persatu.

Mum menatap Ave dengan pandangan sedih, matanya terlihat berkaca-kaca.

"Mama!" Mulut Lilyana yang hendak berkata terpotong oleh kehadiran gadis kecil yang menatap Ave dengan pandangan berbinar.

"Arel ..., sini sayang." Lilyana menunduk, menuntun pundak gadis kecil itu untuk mendekat.

"Dari tadi kamu bingung 'kan, nanyain kakak cantik ini ke mama. Kenalin ..., namanya Avelyn, dia juga anak mama, kakak kamu." Lilyana mengenalkan dengan tersenyum bahagia, melupakan sejenak kesedihannya.

"My Sister?" Mata bulat itu kian berbinar.

"Yes, that's right," jawab Lilyana.

"Aaaaa!" Ave tersentak menerima pelukan tiba-tiba di pinggangnya. Ave menunduk, menatap mata bulat itu yang balik menatapnya polos.

"Are you really my Sister?" tanyanya begitu riang.

Ave terdiam menatapnya.

Pantas saja Ave seperti mengenali gadis kecil ini, karena ketika menatapnya, ia seakan melihat dirinya sewaktu kecil dulu.

Wajah Ave terasa kaku, sebenci-bencinya Ave dengan ayahnya, tapi kenyataannya gadis kecil ini tetaplah adiknya.

Perasaan Ave sedikit luluh menatap wajah yang begitu mirip dengannya, ia tersenyum kecil.

"Yes, I am. What's your name?" Ave bertanya lirih, tangannya bergerak kaku mengelus puncak kepala gadis kecil itu.

"Arelyn, Arelyn Lafenite," jawabnya riang.

Ave kembali terpaku. Masih terngiang di ingatannya, dulu Lilyana pernah bercerita jika ketika hamil Ave dan Denan, Lilyana USG dengan hasil mengatakan dirinya hamil kembar perempuan. Lilyana telah menyiapkan nama tersebut—Avelyn dan Arelyn, dan ternyata yang keluar justru bayi laki-laki dan perempuan.

Mengingatnya, perlahan senyuman Ave meluntur.

Sayangnya, nama gadis kecil ini tidak bermarga sama dengan dirinya. Nyatanya bagaimanapun juga, mereka terlahir dari ayah yang berbeda.

Ave perlahan melepas tangan kecil yang melingkari pinggangnya. Ia kembali menatap Lilyana dengan pandangan menuntut, ia juga terang-terangan menatap Jacques dengan aura permusuhan. Membuat lelaki itu sedikit merasa tersudut dengan tatapan Ave, agaknya ia juga terkejut melihat Ave yang menampilkan sikap seakan mengetahui semuanya—memang lelaki bodoh yang menganggap dirinya masih anak kecil polos seperti dulu. Jacques menghela napas dan menatap Ave dengan raut bersalah, namun Ave tak memperdulikannya. Ia tak butuh penyesalan ataupun permintaan maaf darinya.

"Mm, Arel sayang ..., kasih kadonya ke kak Berlin sekarang, gih," pinta Lilyana yang diangguki Arelyn dengan riang. Gadis kecil itu berlari dengan semangat untuk memberikan kado kepada temannya yang berulang tahun itu.

Kesedihan Lilyana kembali ketika menatap putrinya.

"Kenapa, Mum? Kalau Mum masih anggap aku sama Denan, kenapa nggak pernah datang? Aku dan Denan itu masih seorang anak dari seorang Ibu kalau Mum lupa!" Tak memperdulikan kalau di hadapannya adalah orangtuanya sendiri, suara Ave menyentak begitu saja. Beberapa tamu undangan bahkan tampak melirik ke arah mereka karena suara Ave yang cukup keras. Rovero bergerak maju, berpindah ke samping Ave dan merangkul lengannya. Memperhatikan sedari tadi membuat Rovero paham, sumbu api yang pernah ia bahas dulu kini mulai terbakar perlahan.

"Avelyn ..., saya minta maaf." Lilyana berucap sendu.

Ave selalu heran dengan orang-orang yang mudah sekali mengucap kata maaf, tanpa menyadari kalau kesalahannya tak kan pernah bisa diperbaiki dengan kata maaf.

"Saya sayang kamu, saya sayang sama Denan. Tak pernah sekalipun saya melupakan kalian, saya selalu mengingat kalian .... "

Lihat selengkapnya