Aero school

Rain Dandelion
Chapter #17

AVE CELAKA?!

"Kalian ngapain di sini?" Ave menatap datar. Dibanding heran melihat keberadaan Calista and the geng di depan kamar hotelnya, Ave lebih merasa malas jika harus meladeni mereka.

Calista yang berada di tengah tertawa kecil, ia melangkah maju untuk menepuk pundak Ave.

"Gue? Gue bebas di manapun."

Ave menepis kasar tangan Calista di pundaknya.

"Gue nggak ada urusan sama kalian." Ave hendak melanjutkan langkah karena merasa tak melakukan kesalahan apapun dengan mereka.

"Gue yang ada urusan sama lo!" Calista berucap keras sembari menarik kasar pundak Ave, membuat Ave sontak mendesis kesal.

Oh God, belum cukupkah hati dan pikirannya dibuat lelah hari ini?

"Apa sih, mau kalian? Gue nggak ada salah ya, sama kalian!" ucap Ave geram. Calista terlihat melotot marah, Clareety dan Cillari tersenyum remeh di belakangnya.

"Nggak ada, lo bilang? Setelah selama ini lo biarin gue jadi bahan tertawaan kembaran lo dan temen-temennya?!" Calista menusuk-nusuk pundak Ave dengan telunjuknya.

Mendengarnya, Ave seketika tertawa sinis, sangat memahami kemarahan Calista.

Perempuan ini menyukai Denan, dan Ave ingat pernah menolak mentah-mentah permintaan Calista untuk mendekatkannya dengan Denan dan membiarkannya menjadi bahan guyonan Denan dan teman-temannya.

"Itu ..., lo nya aja yang goblok, masih ngejar cowok yang jelas-jelas nggak suka sama lo," ucap Ave santai, namun matanya juga melirik ke arah Clareety. Hitung-hitung menyindir dua orang sekaligus.

"Anjir lo, ya!!" Ave mendesis ketika tubuhnya diseret paksa oleh mereka menuju ujung koridor lantai kamarnya. Tubuhnya menabrak keras pintu toilet yang belum lama terpasang tulisan 'RUSAK'.

"Udah cukup selama ini kita diem aja liat lo bersikap seenaknya!" Kini Clareety ikut meluapkan emosinya dengan mendorong pundak Ave kasar.

Niat Clareety ikut ke Bali untuk menikmati healing bersama Rovero harus musnah karena Rovero lebih mementingkan kehadiran Ave daripada dirinya.

"Nggak usah kekanakan, ya! malu sama umur kalian!" ucap Ave kesal. Sungguh Ave sangat lelah hari ini, tidak bisakah mereka mengajaknya ribut kapan-kapan saja?

"Terserah lo mau bilang apa! Yang penting kita puas liat lo menderita!" sentak Calista sembari mendorong tubuh Ave kuat, sampai pintu toilet terbuka dan Ave terduduk di dalamnya.

Cillari menyiram Ave dengan air dan tertawa keras. Sedangkan Clareety tergerak mematikan lampu toilet.

"Sialan!!" Tubuh Ave bergetar, mulai merasa panik. Namun kemarahannya lebih besar dari ketakutannya. Ave bangkit dan menonjok pipi Calista kuat sampai perempuan itu terjungkal dan mengumpat kesakitan.

Ave hendak meloloskan diri namun ternyata tenaga Cillari sangat besar, perempuan itu mendorong Ave sampai dirinya terjungkal dan pipinya tergores keran air dengan kasar.

"Nikmati penderitaan lo, malam ini!" Clareety segera menutup pintu toilet dengan keras, membuat Ave sontak melotot tak santai. Sayangnya, pintu toilet yang rusak itu otomatis terkunci ketika tertutup rapat. Ave bangkit berusaha membuka pintu, dan pintu benar-benar terkunci.

Ave berteriak keras meminta pertolongan dan seketika dirinya tersadarkan jika ruangan toilet ini ternyata kedap suara.

Ave tak menyangka, ternyata beginilah sifat asli mereka bertiga.

Seketika tubuh Ave merosot lemas, bibirnya bergetar merasakan ketakutan yang mulai mendatanginya. Jam 4 sore, belum terlalu petang namun berada di ruangan tertutup seperti ini membuat semuanya terlihat sangat gelap.

Tak ada yang bisa menolong Ave karena penghuni kamar di lantai ini adalah para dosen dan teman-temannya yang masih menikmati acara, dan acara baru selesai pukul 9 malam nanti.

Tak kuat menahannya lagi, Ave menangis tersedu-sedu. Ia berteriak frustasi, menyesali semua yang terjadi dalam kehidupannya.

"Gue mohon ..., jangan sekarang." Ave berdesis lirih ketika telinganya tiba-tiba berdenging dengan kencang. Suara-suara masalalunya kembali terngiang memenuhi pikirannya. Ave seakan terseret kembali ke masa itu, wajah Jacques yang baru saja dilihatnya, sakit di sekujur tubuhnya dan suara-suara bentakan yang sangat membuatnya takut.

Ave mengatur napasnya agar tetap stabil dan berusaha mempertahankan kesadarannya. Beruntung otak Ave masih terjaga ketika seluruh tubuhnya melemas. Dengan tangan bergetar Ave mengambil ponsel di saku celananya, membuka aplikasi WhatsApp dan mencari siapapun yang dapat menolongnya.

Ave mengirim spam chat ke semua temannya bahkan para dosen. Namun sayangnya mereka tidak ada yang online, karena mereka diperintah untuk menonaktifkan handphone masing-masing ketika acara masih berlangsung. Tubuh Ave semakin melemas. Menghubungi Denan pun percuma, karena lelaki itu sama saja dengan dirinya ketika tertidur—tak akan bangun meskipun suara dering apapun mengganggunya.

Hanya satu yang belum Ave hubungi, Rovero. Ave sebenarnya sedikit enggan mengingat kata-kata yang dilontarkannya tadi, namun hanya lelaki itu yang terlihat online dan satu-satunya harapan untuknya.

Tak sempat memikirkan hal lain, Ave segera menelepon lelaki itu.

Lihat selengkapnya