Mata Ave perlahan terbuka, terlihat menyipit menyesuaikan pandangannya dengan cahaya lampu yang menyilaukan. Di hidungnya terpasang selang oksigen, membantu pernapasannya yang masih terdengar pelan.
"Ave?" Ave mendapati Denan yang menggenggam tangannya erat. Lelaki itu terlihat menghela napas lega, beruntung mereka tidak terlambat menyelamatkan Avelyn. Teman-temannya segera beranjak mendekat, mengelilingi brankarnya.
"Gue, haus ...." ucap Ave dengan suara lirih.
Denan segera mengambilkan segelas air, membantu menyangga tubuh Ave ketika meminumnya.
Denan menatap dalam netra Ave. Wajahnya yang sangat pucat, napasnya yang mengalun lemah dan tubuhnya yang tadi sedingin es kini berangsur menghangat. Denan mengusap lembut pipi Ave yang diperban.
"Ave, maaf," lirihnya penuh penyesalan. Ave terdiam, tangannya menggenggam balik tangan Denan dengan lemah.
"Lo nggak salah," ucap Ave dengan suara lirih menyerupai bisikan.
Amora ikut mendekat, perempuan itu kembali menangis menatap sahabatnya.
"Gue juga minta maaf, Ave .... Gue nggak ada waktu lo butuh, gue jahat banget," lirihnya dengan sesenggukan.
Ave berusaha tersenyum kecil menatap teman-temannya yang menampilkan raut wajah yang sama. Ave menjadi menyesal telah membuat mereka semua khawatir terhadapnya.
"Gue nggak papa, sorry .... Udah buat kalian khawatir," lirihnya dan justru menatap sekelilingnya, tanpa sadar mengharapkan kehadiran seseorang yang jelas-jelas tak memperdulikannya. Denan yang menyadarinya menjadi mengeraskan rahang.
"Jangan cari orang yang nggak peduli sama lo, Ave ...." lirih Denan penuh penekanan. Denan akui dirinya merasa sangat bersalah dengan saudaranya ini, tapi Denan juga kecewa dengan Rovero. Apalagi mengetahui alasan yang membuat lelaki itu mengabaikan Ave adalah perempuan lain.
Ave meringis kecil merasakan kepalanya yang berdenyut.
"Gue pusing .... Boleh kalian keluar dulu? Gue mau tidur lagi," pinta Ave pelan yang langsung dituruti teman-temannya. Namun Ave mencegah kepergian Amora, Ave menggeleng kecil menyuruh Amora untuk tetap tinggal. Amora tersenyum dan mengangguk, menuruti kemauan Ave.
"Boleh gue tau, siapa penyebab lo jadi kayak gini?" Denan menatap Ave serius, sedangkan Ave mengerjap-ngerjapkan matanya pelan.
"Gue masih pusing, Denan," lirihnya menggeleng pelan.
Denan menghela nafas berat, ia tersenyum kecil merasa bersalah memaksa Ave untuk berbicara ketika kondisinya masih lemah.
"Okay .... Mor, jagain. Gue mau keluar dulu, bentar," ucap Denan mengusap puncak kepala Ave sebelum beranjak meninggalkan ruangan.
Ave menggerakkan tangannya, menyuruh Amora mendekat.
"Lo masih lemes, Ave. Kuat ngomong banyak?" tanyanya setelah mendekatkan diri.
Ave tersenyum kecil, ia melirik pintu, memastikan Denan benar-benar telah pergi.
"Gue nggak mau Denan tau ...." Karena Ave khawatir, Denan akan marah dan lepas kendali begitu saja setelah mendengar kejujurannya.
Amora mengangguk kecil, ia paham dan akan mendengarkan baik-baik semua perkataan Ave.
Perlahan, Ave menceritakan semuanya dengan ringkas dan singkat, karena ia takut Denan tiba-tiba kembali ke ruangannya. Tenggorokan Ave masih terasa berat untuk berucap banyak, namun Amora sudah dapat memahami semua perkataannya, dan Amora sangat marah.
"Sialan!!" Tanpa sadar Amora menggebrak brankar dengan keras. Ave menghela napas setelah meminum airnya.
"Gue cerita, cuma mau lo hati-hati sama mereka .... Bukan buat apa-apa," ucap Ave pelan.
"Yeeeeh nggak bisa gitu, dong! Gue harus buat perhitungan sama mereka! Enak aja udah buat—"
BRAK!!
Ucapan Amora terpotong oleh suara pintu yang dibanting keras. Denan masuk dengan wajah bengis.
"Den ...." Seketika Ave merasa panik melihat wajah Denan yang memerah.
Tentu Denan keluar hanya akal-akalannya saja, ia tahu Ave selalu menyembunyikan hal seperti ini hanya karena tak mau dirinya khawatir dan gegabah melakukan suatu hal ketika marah.
"Den, gue nggak papa ..., sumpah!" ucap Ave pelan, ia sangat tak ingin Denan marah dan melakukan yang aneh-aneh ketika dirinya masih dalam kondisi lemah seperti ini.
Denan mendengus kecil, dikiranya Denan tidak bisa merasakan apa yang Ave rasa, tak mungkin dirinya tidak marah dan diam saja melihat Ave seperti ini. Namun, belum sempat Denan berucap, pintu tiba-tiba kembali di banting dengan suara keras, Rovero muncul terburu-buru dengan wajah khawatirnya.
"Avelyn ..., lo nggak papa?" ucapnya yang sontak membuat Ave mengumpat dalam hati.
Kenapa lelaki itu justru datang di waktu yang tidak tepat?!
"Brengsek!!" Denan melangkah lebar ke arah Rovero dan langsung melayangkan bogemannya ke rahang lelaki itu.
Amora sontak memekik kencang.
"Masih punya muka lo, hah?! Tanya kondisi Ave setelah lo yang buat Ave begini!!"