Rovero tak pernah tahu, kalau perasaan marah yang dipendam terlalu lama bisa sangat menyakitkan seperti itu. Dan ia juga tak menyangka jika kekecewaan yang terlalu besar bisa menjadi sesuatu yang sangat mengerikan ketika dilepaskan, sampai tanpa sengaja menghilangkan rasa hormat anak terhadap ayahnya sendiri.
Lagi dan lagi, Rovero kembali melihat mata caramel itu basah oleh air mata. Namun kali ini lebih tersedu sedan, bahunya sampai bergetar hebat bahkan isakannya terdengar sampai di tempat Rovero berdiri—lima meter dari keberadaan Ave yang bertopang tangan di pembatas jembatan.
Ave sudah terlalu lama diam memendam kemarahannya. Ia tak pernah menunjukkan kesedihannya, sampai akhirnya semua emosi yang dipendam menjadi bom waktu yang kini telah meledak karena menemukan pemicunya.
Roverl tak berucap apapun, karena ia yakin Ave pun tak memerlukan banyak perkataan darinya. Rovero hanya mendekat dan terus mendekat sampai Ave menyadari keberadaannya ketika jarak di antara mereka tak tersisa lagi.
Ave tak menoleh dan membiarkan, namun bahunya semakin terguncang dengan isakan yang tak bisa ia kendalikan.
Kedua tangan Rovero terulur melewati samping tubuh Ave, ikut bertopang di pembatas jembatan, membuat posisinya kini terlihat seperti memeluk tubuh Ave dari belakang.
"Dari dulu ... Gue benci ditinggal ...." Ave mulai berucap dengan suara tersendat-sendat.
"Gue benci ... ketika Dad makin sibuk dan sering pergi setelah Mum menikah dengan pilihannya ...." Kali ini Ave memilih untuk jujur, semuanya. Kedua tangannya terkepal erat di atas dinding pembatas.
"Gue selalu sedih ketika Dad nenangin gue karena Mum yang nggak pernah dateng meskipun di hari ultah. Tapi sekarang ... Gue benci setelah tau kalau Dad adalah penyebabnya! Gue kecewa!! GUE BENCI DI BOHONGI!!" Ave memukul dinding pembatas dengan keras, berkali-kali, dengan kemarahannya yang meluap-luap. Kedua lengan Rovero bergerak memeluknya erat, menahan pergerakan Ave yang semakin tak terkendali.
Ave meronta, masih berteriak kalap. Sebelum kemudian berhenti dan membalikkan badan, membiarkan tubuhnya jatuh di pelukan lelaki itu.
Sejenak, Ave melupakan semua yang terjadi antara dirinya dengan Rovero.
Sejenak, Ave melupakan keinginannya untuk menjauh dari lelaki yang kini mendekapnya dengan erat.
Ave hanya ingin bersandar, dengan sandaran yang lebih kuat untuk menopangnya.
Ave hanya ingin Menikmati kenyamanan yang jarang dirasakannya, melepas isakannya di dada bidang lelaki itu.
"Apa salah gue ...." Isakan Ave semakin tersendat-sendat.
"Gue capek, Rov ... Gue kecewa ... Gue sadar kalo gue nggak hanya kehilangan Mum, tapi gue juga kehilangan Dad ...."
Kecewa, sebuah perasaan yang terasa sangat menggores hatinya meskipun setelah berhasil mengakuinya Ave juga merasakan sedikit kelegaan.
Rovero mengeratkan pelukannya sembari mengusap lembut punggung Ave, menghirup dalam-dalam aroma rambut Ave.
"Ada gue ...." bisik Rovero dengan yakin.
"Lo bisa pegang omongan gue, gue nggak akan ninggalin lo ... Jadi lo nggak akan kehilangan lagi."
Ave perlahan mendongakkan kepalanya, berusaha menenangkan isakannya sendiri. Ave menatap dalam netra abu yang kini menyorot penuh keyakinan.
"Sayangnya, gue udah merasa kehilangan bahkan sebelum memiliki, Rov ...."
Nyatanya seyakin apapun Rovero, selagi dalam pandangan Ave hubungan persahabatan lelaki itu dengan Clareety masih terlihat lebih dari teman, Ave akan tetap bertahan dengan keraguannya.