Hari ini, terasa ada yang berbeda bagi Clareety, Rovero tiba-tiba menghampirinya di kelas dan mengajaknya keluar untuk mengobrol di taman.
Clareety kira Rovero ingin memperbaiki hubungan mereka dan mengobrol santai tanpa arah seperti yang biasa mereka lakukan sedari kecil.
Nyatanya, yang terjadi justru jauh di luar prediksinya.
"Cukup lakuin hal bodoh lagi, Clar."
Kalimat pertama yang diucapkan Rovero justru sangat menusuk perasaannya.
"Kita udah sahabatan dari kecil, jadi gue mohon jangan rusak pertemanan kita dengan sikap bodoh lo," lanjut Rovero membuat Clareety menggeleng tak habis pikir.
"Apa maksud lo?" tanya Clareety belum paham arah percakapan mereka.
"Jangan pura-pura bodoh, Clar."
Mendengar Rovero berucap dengan menekan setiap katanya dan raut wajah yang serius, akhirnya Clareety paham hal apa yang dimaksud Rovero.
Clareety menelan salivanya berat, namun ia balik menatap sinis wajah Rovero.
"Kapan sih lo lihat gue dan perasaan gue? Lo udah janji sama papa, Ver. Kenapa harus lo ingkari?!"
"Gue nggak pernah ingkari janji gue!" Tanpa sadar Rovero menaikkan suaranya.
"Apa pesan bokap lo sebelum meninggal? Jagain lo, harus selalu ada saat lo butuh. Gue nggak mau rusak hubungan pertemanan kita, gue selalu ada disamping lo, tapi lo yang berubah, Clar. Gue nggak pernah ingkarin janji gue ke bokap lo—"
"Karena sikap dan omongan lo itu yang bikin gue sakit hati, Ver!" potong Clareety dengan mata yang mulai berembun.
"Ver ... Lo tau, kan? Perasaan gue ke lo udah lebih dari sekedar sahabat. Lo janji nggak akan ninggalin gue, lo janji selalu ada buat gue ... Tapi apa? Lo hancurin perasaan gue dengan ngasih segala perhatian lo ke cewek lain, di depan mata gue, Ver! Sampai kapan lo sepelein perasaan gue," lanjut Clareety dengan airmata yang mulai mengalir di pipinya, membuat hati Rovero mencelos melihatnya.
Bagaimanapun, ia tak sanggup melihat perempuan menangis, apalagi penyebabnya adalah dirinya sendiri.
"Gue hanya bisa menyayangi lo sebagai sahabat, kalau lebih pun hanya sebatas kakak ke adiknya." Rovero memegang kedua pundak Clareety. Ia tak mau menyakiti perasaan Clareety, namun ia juga tak ingin perempuan ini semakin berubah jahat hanya karena harapan tinggi terhadapnya.
"Gue nggak mau lo jadi orang jahat hanya karena perasaan lo ke gue. Jadi gue mohon, hilangin perasaan lo. Jangan anggap gue lebih dari sahabat karena sampai kapanpun gue nggak bisa balas perasaan lo itu."
Clareety menepis kasar kedua tangan Rovero di pundaknya. Pipinya semakin basah oleh airmata namun matanya semakin nyalang menatap Rovero.
"Kenapa sih lo lebih pilih perempuan batu itu daripada gue? Apa kurangnya gue, Ver? Gue selalu di samping lo, selalu ada saat lo butuh! Sedangkan dia cuma perempuan asing yang dengan seenak jidatnya masuk ke hidup lo, lo pasti udah dipengaruhi sama dia, lo nggak suka sama dia, Ver!" ucap Clareety dengan emosinya yang sudah menggunung.
"Siapa sih dia? Cuma punya pangkat aja belagunya minta ampun. Apa sih yang lo liat dari dia? Buka mata lo, Ver! Lo pasti punya perasaan lebih ke gue!" lanjutnya membuat Rovero mengeraskan rahang.
"Lo nggak berhak ngendaliin perasaan gue, Clar." Rovero terkekeh miris.
"Kalo lo nggak bisa dapetin apa yang lo mau, lo juga nggak berhak buat ngehina orang lain ..., belum tentu lo lebih baik dari orang yang lo hina." Rovero menyugar rambutnya sembari menghela napas kasar.
"Perasaan cinta itu murni, Clar .... Lo sampai jadi orang jahat dengan mengatasnamakan cinta itu bukan cinta lagi namanya, tapi cuma obsesi lo doang." Rovero menatap tepat di manik mata Clareety, membuat perempuan itu menahan nafasnya.
"Perbuatan lo udah keterlaluan, Clar. Gue nggak nyangka sahabat gue bisa jadi orang sejahat itu." Clareety mematung mendengarnya.
"Gue bilangin sekali lagi, lupain perasaan lo ke gue. Gue nggak mau ngerusak hubungan kita, gue nggak mau lo jadi jahat cuma karena perasaan lo ke gue." Airmata Clareety semakin menderas, isakannya terdengar lirih.
"Gue nggak bisa, Ver .... Udah dari dulu gue suka sama lo, bareng terus sama lo .... Nggak mudah buat hilangin perasaan ini. Susah, Ver, susaah .... " Clareety terisak kecil dan tiba-tiba mendekat, memeluk tubuh Rovero erat.
Rovero sedikit terkejut, ia terdiam sejenak dan dengan ragu tangannya membalas pelukan Clareety, mengelus rambutnya lembut. Mereka sahabat sedari kecil, meskipun Rovero tidak ada perasaan lebih, ia juga tak tega jika menolak pelukan dari Clareety. Apalagi dirinya menolak mentah-mentah perasaan Clareety, itu tentu sangat melukai hati perempuan itu.