Aero school

Rain Dandelion
Chapter #23

INFO BARU

"Hallo, Van? Dimana?"

"Lo langsung ke ruangan Abang gue aja, tau 'kan?"

"Hm, gue kesana."

Setelah memutus sambungan telepon dengan Vanka, Ave yang berada di lobi rumah sakit bergegas masuk mencari ruangan praktek tempat Abang Vanka bertugas.

Lewat Vanka, Ave membuat janji temu dengan kakak laki-lakinya yang seorang dokter.

Ave menyusuri lorong rumah sakit dan berhenti di depan pintu yang terdapat papan bertuliskan, Dr. Liu Ranka Brouslan.

"Permisi ...." Ave membuka pintu dengan sopan.

"Avelyn, silahkan duduk," sapa dokter muda itu dengan ramah sembari menunjuk kursi di seberang mejanya. Di pojok ruangan, Vanka duduk di atas sofa dengan tersenyum tipis menyapa Ave.

Ave tersenyum balik, beranjak duduk di hadapan Dokter Ranka.

Dua adik kakak ini, bagai pinang dibelah dua, wajah timur mereka begitu mirip. Tapi meskipun sama-sama tampan, Dokter Ranka lebih berwibawa dengan jas dokternya. Pasti banyak perempuan yang tergila-gila dengannya, sayangnya Dokter Ranka sudah beristri dan memiliki anak.

"Jadi, apa yang bisa saya bantu?" tanya Dokter Ranka memulai percakapan.

Ave mengambil sebuah plastik klip dari dalam tasnya yang berisi sebutir pil putih, meletakkan di hadapan Dokter Ranka.

"Saya mau tanya ke Dokter, ini jenis obat apa?" tanya Ave pelan. Vanka beranjak mendekat, ikut memperhatikan dengan penasaran. Karena ketika Ave menelepon untuk meminta tolong membuat janji temu dengan abangnya, Vanka tidak tahu Ave membutuhkannya untuk urusan apa.

Dokter Ranka mengambil pil tersebut, menatapnya dengan jarak dekat selama beberapa saat sebelum kemudian mengernyitkan dahi.

"Ini salah satu jenis obat penenang." Dokter Ranka menjelaskan.

Ave terdiam mendengarkan, sedangkan Vanka ikut mengernyitkan dahi. Untuk apa Ave membawa obat penenang tersebut.

"Itu ..., bisa membahayakan nggak, Dok?"

"Kalau dipakai di bawah pengawasan dokter aman-aman saja, tapi kalau berlebihan tentu berbahaya. Kalau dikonsumsi dengan dosis tinggi dari 2-3 mg per-hari, itu cukup membahayakan. Bisa membuat ketergantungan, gangguan pernapasan, bahkan bisa koma. Dan kalau dikonsumi dalam jangka panjang dengan dosis yang terlalu tinggi bisa sampai menyebabkan kematian."

Ave semakin terdiam mendengarnya. Buat apa Clareety membawa obat tersebut?

"Menurut Dokter, apa penyebab seseorang sampai mengonsumsi obat ini?" Ave kembali melempar pertanyaan.

"Hm ..., banyak kemungkinan. Seperti mengidap Anxiety disorder atau gangguan kecemasan, panic attack dan juga kecemasan yang terkait dengan depresi."

Ave mulai memikirkan banyak kemungkinan, namun ia merasa ada suatu hal yang semakin terasa mengganjal.

"Memangnya itu obat siapa, Ave?" Vanka menyahut bertanya.

"Ntar gue jelasin," jawab Ave pelan, dan kembali tersenyum menatap Dokter Ranka.

"Baik, terima kasih atas penjelasan Dokter. Saya hanya ingin konsultasikan hal tersebut, maaf kalau saya mengganggu waktu Dokter ...." Ave beranjak menjabat tangan Dokter Ranka.

"Oh iya, sama-sama. Tentu tidak mengganggu sama sekali." Dokter Ranka tersenyum ramah.

"Kalau begitu saya permisi dulu, sekali lagi terima kasih."

Ave beranjak meninggalkan ruangan Dokter Ranka dan mengisyaratkan kepada Vanka untuk mengikutinya.

"Itu obat milik Clareety, dia nggak sengaja jatuhin di toilet kampus," ucap Ave to the point ketika mereka berada di lorong rumah sakit yang sepi.

"Clareety?" Vanka mengernyit.

Ave menangguk membenarkan.

"Eh, lo udah tahu sesuatu tentang dia?" Vanka tiba-tiba teringat cerita Rovero kemarin.

Ave menggeleng kecil, sesuatu apa?

"Dia memang punya depresi setelah ditinggal mati bokapnya karena banyak hutang, kata Rovero juga dia pernah mau bunuh diri." Penjelasan singkat Vanka membuat Ave terdiam sebelum mengangguk-angguk kecil. Ekspresinya terlihat sangat serius.

"Apa dia konsumsi obat ini karena masih punya depresi?" lanjut Vanka.

Ave menggeleng kecil. Ia tak tahu. Namun mendengar percakapan Clareety dengan seseorang di telepon dan mengingat ekspresi wajahnya kemarin masih membuat Ave merasa penasaran, seperti ada suatu hal yang harus segera ia ketahui.

"Gue nggak tahu ... Dan gue ngerasa ada yang aneh." Ave kembali terdiam, terpikirkan suatu hal.

"Gue butuh bantuan lo lagi," ucap Ave mantap.

Vanka menatap wajah Ave yang sangat serius.

Lihat selengkapnya