Langit pagi itu berwarna abu-abu, menandakan musim hujan di Padang, tahun 2085. Dari balik jendela kamar sempitku, permukaan meja belajar yang berantakan seperti biasanya. Di atasnya, headset VR berbentuk helm tergeletak di samping tumpukan buku fisika yang belum kusentuh sejak minggu lalu.
Aku menatap pantulan diriku di cermin. Rambut perak. Masih terasa aneh melihat warna itu. Keputusan spontan karena bosan... dan mungkin, ingin sedikit lebih menonjol. Yah, karena aku mengagumi seorang gamer profesional bernama Demon.
Aku mengacak rambutku sendiri, lalu tersenyum getir. “Setidaknya di dunia virtual nanti, rambut ini bakal kelihatan keren beneran.”
Aku tertawa kecil. Suaraku memantul di kamar sepi itu, tidak ada yang menjawab, tentu saja. Ayah dan ibu jarang di rumah, dan di sekolah, aku lebih sering menyendiri. Entah kenapa, seakan ada aura yang membuat orang lain malas mendekat.
Tapi di dunia digital... aku hidup. Dan hari ini, dunia digital itu akan berubah selamanya.
Aku menatap seragam sekolah yang tergantung di balik pintu. Sudah lama rasanya sejak terakhir kali kupakai. Meskipun aku sudah lulus, hari ini aku harus kembali ke sekolah, karena ada acara perpisahan untuk angkatan kami, sekaligus pengambilan ijazah.
Lucu, bukan? Dunia nyata memanggilku untuk mengucapkan selamat tinggal, sementara dunia digital menungguku untuk memulai segalanya dari awal.
Langit pagi itu mendung, seperti biasa. Udara di kota ini selalu lembap, campuran antara polusi dan nostalgia. Aku berjalan kaki menuju sekolah, menembus arus murid-murid dari angkatan di bawahku yang masih berisik seperti biasa. Tidak ada yang menyapaku, hanya beberapa tatapan singkat, cepat berlalu seperti angin.
Di halaman sekolah, spanduk besar bertuliskan 'Graduation & Farewell Day' tergantung miring di atas panggung kecil. Musik lembut mengalun dari speaker, dan di antara kerumunan, aku bisa mendengar tawa teman-teman sekelasku, dulu.
Aku berdiri di tepi lapangan, memperhatikan dari jauh. Mereka saling bercanda, memotret, dan berteriak memanggil satu sama lain dengan nama panggilan yang tak pernah ditujukan padaku.
“Eh, itu Okto, ya?”
“Masih hidup ternyata, haha.”
“Kukira dia nggak bakal dateng.”
Aku pura-pura tidak mendengar. Bukan karena sakit hati, rasanya lebih seperti... kebiasaan.
Dulu aku mencoba masuk ke lingkaran itu. Tapi setiap kali aku bicara, suasana langsung berubah canggung. Seolah ada jarak tak kasatmata yang tak bisa kutembus, seperti dinding transparan antara diriku dan dunia ini.
Kupikir, mungkin aku memang diciptakan untuk menjadi penonton. Tapi suara klik pelan dari arah belakang membuatku menoleh. Seseorang baru saja mengambil foto.
Aku menangkap sosoknya, rambut hitam sebahu, seragam rapi dengan pita biru yang masih terikat sempurna. Namanya Vivi, mantan anggota OSIS, selalu terlihat sibuk, tapi tetap punya waktu untuk menyapa orang lain termasuk aku.
Dia tersentak ketika mata kami bertemu.
“Ah! Maaf, Okto! Refleks aja... cahaya di sini bagus banget,” katanya cepat sambil menurunkan ponselnya.
Aku mengangkat alis. “Kau memotretku?”
Pipinya sedikit memerah. “Enggak juga... cuma, entah kenapa kamu keliatan tenang banget berdiri sendirian gitu. Kayak... karakter di ending film.”
Aku tertawa kecil. “Karakternya pasti membosankan, ya?”
Vivi menggeleng. “Nggak. Cuma... beda. Kamu kayak orang yang hidup di dunia sendiri. Kadang aku iri. Dunia nyata kayaknya terlalu ribut buat orang tenang kayak kamu.”
Sebelum aku sempat membalas, Vivi tidak langsung pergi. Ia justru mendekat, menurunkan ponselnya sambil tersenyum canggung. “Udah lama banget ya kita nggak ngobrol,” katanya pelan. “Terakhir waktu ujian kelulusan, kalau nggak salah.”
Aku mengangguk. “Iya. Waktu itu kamu masih sibuk ngurus acara sekolah.”
“Yah, biasalah OSIS,” ia terkekeh kecil. “Ngurus dekor, bantu guru, tapi ujung-ujungnya malah nggak sempat foto bareng teman sendiri.”
Kami berjalan perlahan di sepanjang lorong menuju aula. Siswa-siswa lain berlarian, beberapa berseru memanggil teman, ada yang melempar topi, ada yang selfie di depan papan nama sekolah. Dunia penuh tawa itu terus bergerak, tapi langkah kami terasa lambat.
Tiba-tiba, Vivi menatapku lebih dekat. “Rambutmu... kamu warnain, ya?”
Aku menyentuh ujung rambutku. “Iya. Iseng aja. Warna perak.”
“Berani juga. Tapi, cocok, kok,” katanya dengan nada tulus. “Dari dulu kamu kelihatan beda, tapi hari ini... entah kenapa, kelihatannya pas aja. Kayak akhirnya kamu jadi versi dirimu sendiri.”
“Btw, masih main game, kan?” tanya Vivi, menoleh padaku.