Angin siang berhembus pelan, membawa pantulan cahaya dari layar ke mataku. Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya, aku merasa seperti sedang menatap masa depanku sendiri.
Langit sudah condong ke barat ketika aku sampai di rumah.
Udara sore menembus jendela kamar, membawa aroma hujan yang belum turun. Aku menaruh tas di kursi, lalu menatap ruang yang sama yang selalu menjadi tempat pelarianku, meja dengan monitor ganda, tumpukan buku, dan headset yang kini tampak seperti artefak masa depan.
Di pojok meja, sebuah kotak perak dengan logo segitiga spiral terukir di atasnya menunggu.
NeuroDive System - Full-Dive Interface.
Aku menatapnya lama.
Sesuatu dalam diriku bergetar. Bukan ketakutan, tapi sesuatu yang lebih samar... seperti panggilan dari kejauhan.
Kupasang kabel utama ke terminal daya, dan lampu biru menyala lembut di sepanjang sisi helm. Suaranya berdengung halus, seolah menyapa.
Aku duduk di tepi ranjang, menatap pantulan wajahku di permukaan logamnya.
“Lucu,” gumamku pelan. “Hari ini aku menutup satu dunia... dan membuka yang lain.”
Aku mengambil ponsel, membuka pesan yang belum sempat kubalas.
Dari Vivi.
“Tori, makasih udah ngobrol tadi. Semoga dunia digitalmu nanti beneran bikin kamu bahagia. Tapi kalau suatu hari kamu butuh dunia nyata... aku masih di sini.”
Aku membaca pesan itu berulang kali, lalu menutup layar.
“Maaf, Vivi,” bisikku, separuh tersenyum. “Mungkin kali ini aku nggak akan segera kembali.”
Tanganku masih memegang ponsel beberapa detik. Tapi bukan untuk membalas pesan itu.
Aku membuka ikon biru kecil di sudut layar, Discord.
Server “Silver Veil Sanctuary” langsung muncul di daftar paling atas. Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali kami benar-benar aktif di sana, tapi malam ini, semua nama menyala hijau.
Notifikasi bermunculan hampir bersamaan.
TaliaV: woi, semuanya udah siap?
LunaRune: aku masih update firmware, pls tungguin 😭
Eira.Mech: jangan lupa setting sinkronisasi sensor jantung, kalau nggak bisa pingsan beneran katanya.
Mobius: aku baru nyalain sistem. Semua siap?
Chat langsung penuh emoji petir, tombak, dan gear.
Aku tak bisa menahan senyum. Suasana seperti ini... rasanya sudah lama sekali.
TaliaV: kayak dulu ya, sebelum server lama ditutup.
Ironheart: ya, waktu masih versi PC, bukan full-dive gila kayak gini.
LunaRune: inget nggak sih waktu pertama kali kita keliling kota awal terus nyasar tiga jam di dungeon tutorial 🤣
Eira.Mech: aku masih dendam tuh, gara-gara Talia nge-aggro boss padahal lagi ngerakit turret.
Aku tertawa kecil, ikut menulis.
Mobius: jadi nggak ada yang berubah ya, bahkan setelah tiga tahun.
TaliaV: ya jelas. Dunia boleh berubah, tapi guild tetep Silver Veil.
Lalu hening beberapa detik. Bukan hening yang sepi, tapi hening yang hangat. Mereka semua tahu dunia yang akan kami masuki bukan lagi sekadar game.
Ironheart: btw, katanya sistem sihir di full-dive beda total. Bukan sekadar cast spell, tapi kayak... tubuhmu sendiri jadi konduktor eter.
LunaRune: serius? berarti kita bakal ngerasain sensasi sihirnya beneran?
Eira.Mech: kalau itu beneran, aku bakal nangis bahagia 😭
TaliaV: pokoknya malam ini jam 8. Kita login bareng. Tempat spawn default-nya katanya di Auralis. Jangan tersesat ya, terutama kamu, Mob!
Aku tersenyum.
Nama panggilan itu, Mob, hanya Talia yang masih suka memakainya. Dan entah kenapa, mendengarnya lagi membuat dadaku hangat.
Aku menutup Discord, lalu menatap helm di meja. Lampunya berdenyut lembut, seolah menunggu. Di luar, langit mulai gelap. Dan di dalam kamar, dunia baruku menanti.
Senyumku mengembang, seperti seseorang yang hendak melangkah ke dunia baru.
“Aethernova,” gumamku pelan, menyentuh logo biru di sisinya. “Dunia di mana kematian cuma angka digital...”
Aku terkekeh kecil. “Lucu, ya. Dunia nyata aja rasanya lebih mati daripada game.”
Kutarik napas dalam, lalu mengenakan helm itu.