Aethernova: Rebirth Protocol

Rivandra Arcana
Chapter #5

Falcone's Oath #5

Aku menunduk.

Suaraku nyaris tak terdengar ketika kubisikkan, “Aku... nggak bisa.”

Demon menatapku, alisnya berkerut. “Apa?”

Aku mengangkat kepala perlahan. “Aku baru kehilangan mereka. Aku bahkan belum sempat ngucapin selamat tinggal. Dan sekarang kau mau aku ikut lagi? Bertarung lagi?”

Suara itu pecah di tenggorokanku. “Aku bahkan nggak tahu kenapa aku masih hidup.”

Hening. Hanya desis eter dari reruntuhan yang tersisa.

Supporter-nya yang sedari tadi diam, menatapku iba. “Kau nggak sendiri, tahu?”

Aku tertawa kering. “Lucu. Itu juga yang mereka bilang waktu pertama kali aku main game ini.”

Demon menarik napas panjang. “Nak, aku ngerti. Tapi kalau kau diem di sini-”

“Biarkan aku sendiri.” Aku menatap matanya langsung. “Tolong. Aku cuma butuh waktu.”

Ia menatapku lama, lalu mengangguk pelan. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik. Langkah kaki mereka menggema di ruangan batu itu, semakin menjauh, sampai hanya tersisa suara napasku sendiri.

Aku jatuh berlutut, menatap lantai yang masih ternoda darah. Darah yang belum kering, mungkin milik Talia, atau Luna, atau Ironheart maupun Eiren.

Tanganku bergetar. Aku mencoba memanggil menu Friend List yang kosong. Tidak ada nama mereka. Hanya ruang hampa.

Aku menatap punggung mereka yang mulai menjauh, lalu suaraku memecah keheningan. “Demon.”

Langkah mereka berhenti. Ia menoleh sedikit, menatapku dari balik bahunya.

Aku berdiri perlahan, menatap armor hitam legam yang ia kenakan, terlalu kompleks untuk pemain baru, terlalu kuat untuk sekadar gear awal.

“Kenapa... kalian bisa punya semua itu?” tanyaku pelan. “Armor, senjata, bahkan tongkat sihir dan skill yang bagus. Ini baru hari pertama, kan?”

Demon menatapku lama sebelum akhirnya tersenyum tipis. Senyum yang... entah kenapa terasa berat.

“Pertanyaan bagus,” katanya. “Jawaban pendeknya, kami bukan pemain biasa.”

Aku mengerutkan kening. “Maksudmu?”

Ia menurunkan perisainya, menepuknya pelan. “Kami adalah pemain beta. Salah satu dari sedikit orang yang ikut uji coba sistem penuh sebelum perilisan global.” Nada suaranya datar, tapi di baliknya ada semacam rasa getir yang samar.

“Pemain beta?” ulangku, nyaris berbisik.

“Ya,” lanjutnya. “Kami udah main Rebirth Protocol beberapa bulan sebelum rilis. Waktu itu masih banyak bug, sistem eter belum stabil."

Ia lalu menatap pedangnya, kilau eter hijau samar memantul di mata helmnya. “Kami juga beli NeuroDive System versi bundle. Mahal banget, tapi waktu itu kelihatannya sepadan. Dapat set equipment eksklusif dan skill bawaan tambahan"

Aku tertawa pelan, kering. “Jaminan keamanan, ya?”

“Ya.” Demon tersenyum getir. “Ironis, kan?”

Aku menatapnya lama, menelan kenyataan itu perlahan.

Mereka para pemain beta mungkin sudah tahu sistemnya, tahu dunia ini, dan tentunya bagaimana menjadi kuat di dunia ini. Tapi bahkan mereka tidak bisa keluar.

“Jadi, kau tahu lebih banyak tentang game ini daripada siapa pun,” kataku akhirnya.

Demon tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap ke arah reruntuhan, tempat patung Guardian tadi runtuh dan meninggalkan retakan bercahaya biru di lantai.

“Aethernova bukan lagi game, Mobius,” katanya lirih. “Bagi kami... ini proyek yang gagal, tapi sekaligus dunia yang belum selesai.”

Aku mengerutkan dahi. “Dunia yang belum selesai?”

Ia tersenyum samar. “Nanti kau akan mengerti.”

Setelah itu, ia berbalik lagi, mengangkat tangan seolah berpamitan.

“Kalau bertahan, datanglah ke Citadel of Dawn. Kami butuh orang yang tahu cara memanfaatkan eter sepertimu dalam pertarungan.”

Aku hanya diam, menatap langkah-langkah mereka yang makin jauh hingga akhirnya menghilang di balik bayangan dungeon, sebelum akhirnya aku ikut pergi meninggalkan dungeon.

Langkahku bergema pelan di lorong batu yang sepi. Cahaya eter di dinding perlahan meredup, berganti dengan kilau samar dari permukaan air yang menetes dari langit-langit gua. Setiap langkah terasa berat, bukan karena luka atau kelelahan, tapi karena sesuatu yang tak kasatmata, semacam kehampaan yang tertinggal setelah seseorang pergi.

Ketika akhirnya aku keluar dari pintu reruntuhan itu, dunia di luar menyambutku dengan keheningan yang aneh. Malam kedua telah turun di Auralis. Langitnya berwarna biru tua, dipenuhi gugusan bintang yang terlalu terang untuk disebut nyata. Di kejauhan, menara-menara kristal berdiri seperti lilin raksasa, memantulkan cahaya eter ke langit. Angin malam membawa aroma lembut dari rerumputan yang berasa dingin, tapi menenangkan.

Aku berdiri di atas tebing, menatap hamparan kota suci Auralis di bawah sana. Jalur-jalur cahaya biru membentuk lingkaran raksasa di sekitar kuil pusat, seolah dunia ini bernapas perlahan. Indah... dan asing pada saat yang sama.

Kupikir, dunia digital tidak akan pernah bisa meniru ketenangan seperti ini. Tapi di sini, dalam sunyi yang hanya dipecah oleh suara angin, aku benar-benar merasa hidup. Terlalu hidup, bahkan.

Aku mengeluarkan pedang dari sarungnya. Cahaya eter masih menempel di bilahnya, sisa dari pertempuran tadi. Kupandangi pantulan wajahku di sana. Datar, tak bergairah, seperti orang yang belum tahu di mana dirinya seharusnya berada.

“Citadel of Dawn, ya...” gumamku pelan.

Lihat selengkapnya