Pertengkaran adalah hal yang biasa dalam sebuah hubungan, entah itu pertemanan, keluarga atau pada sepasang kekasih. Bukan hanya duka, pertengkaran juga membawa pengobat luka.
--Afeksi--
Acara beres-beres selesai jam setengah 8 malam. Lama? Memang. Itu semua karena ulah Reynan, Oza dan Putri yang keseringan berantem cuma karena masalah yang sepele. Arik dan Ry bahkan bekerja 2 kali lipat karena mereka bertiga yang terus berantem. Anak-anak panti sudah tidak membantu membereskan lagi setelah Shalat Magrib karena mereka akan mengaji yang dilanjutkan dengan belajar.
Sekarang mereka semua masih berada di taman. Ada satu karpet yang belum mereka lipat dan memang sengaja mereka biarkan agar bisa lesehan terlebih dahulu, merenggangkan otot.
"Gila sih, 2 jam setengah kita ngeberesin ini. Lama banget, perasaan tadi pagi gak selama ini deh," ucap Putri sambil melihat ke arah jam tangannya.
"Wahh! Masa sih?" Oza memastikan perkataan Putri dengan melihat jam tangannya.
"Ini pasti gara-gara lo sih yang gak bener beresinnya," ucap Oza kepada Putri.
"Enak aja, lo kali yang gak bener. Dari tadi bisanya cuman berantem doang."
"Apa lo bilang? Berantem doang? Lo lupa. Gue kan berantem sama lo, itu tandanya sama aja kan lo gak bener ngerjainnya."
"Seenaknya aja kalau ngomong. Bukan sama gue aja berantemnya, tuh sama si Rey paling parah lo."
"Loh, ko bawa-bawa gue sih. Gue cuma sekali ya berantem sama kalian berdua dari tadi. Lo berdua aja yang gak berhenti-berhenti berantem," ucap Reynan menimpali. Tidak terima, kenapa dia yang disalahkan.
"Ya—"
"Udah lo bertiga," potong Arik dengan cepat dan tegas.
Oza, Reynan dan Putri langsung diam. Susah kalau Arik sudah keluar in nada itu. Sementara Ry, dia hanya diam, sedang berbaring menatap langit.
"Ini semua salah lo bertiga. Lo bertiga sama aja, gak ada yang bener. Bisa gak sih diem aja jangan terus-terusan berantem yang gak jelas pusing gue dengernya."
"Lo sih," bisik Oza.
"Lo."
"Lo."
"Lo."
"Lo."
Mereka saling menyalahkan dalam suara yang kecil sambil menunduk, seperti anak kecil yang sedang dimarahi oleh orang tuanya.
"Udah," ucap Arik lagi melerai pertengkaran kecil mereka lagi.
Arik langsung pergi dari sana, mendekat ke arah Ry yang sedang berbaring lalu ikut berbaring di sampingnya. Ry hanya melirik sebentar ke pinggir, setelah tau itu Arik, Ry kembali memfokuskan pandangannya ke arah langit.
Ry tidak peduli. Arik sama diamnya seperti Ry, tidak seperti Reynan atau Oza yang pasti akan mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan aneh yang mereka berdua lontarkan.
Arik dan Ry sama-sama diam menikmati indahnya langit malam kali ini, walaupun tidak ada bintang tapi bulan kali ini bersinar lebih terang daripada biasanya.
“Sejak kapan lo tahu panti ini?”
Pertanyaan yang dilontarkan Arik membuat Ry menolehkan kepalanya, memastikan jika tadi Arik berbicara. Arik ikut menolehkan kepalanya.
“Lo budeg?” tanyanya lalu kembali menatap ke atas.
Ry kembali menatap ke atas.
“Aku pikir salah dengar. Tumbenan aja kamu nanya hal pribadi.”
Arik dan Ry cukup sering terlibat perbicangan, namun biasanya perbincangan mereka tak jauh dari organisasi.
“Jawab.”
“Dari bayi aku di sini, sekitar umur 2 atau 3 hari. Kenapa emangnya?”
“Jadi lo pasti inget Oza, kan? Zaza.”
“Kamu tahu?”
Arik kembali menoleh pada Ry, Ry melakukan hal yang sama.
“Please rahasiain kalau lo tahu dia.”
“Zaza, dia—”
“Tolong.”
Ry menolehkan kepalanya ke sisi lain, dia memejamkan matanya kuat, mencoba menahan tangisan yang entah kenapa ingin keluar begitu saja. Sementara Arik kembali menatap ke arah langit.
“Setelah insiden jatuhnya dia dari pohon, dia jadi lupa ingatan.”
Ry tentu saja terkejut mendengar hal itu, pantas saja tadi Oza tidak mengerti apa yang dibilang oleh Ibu.
“Gue tahu ini pasti buruk buat Lo, mengingat sepertinya Cuma lo sama bu panti doang yang kini ingat masa kecil Oza pas main di sisi. Tapi beneran, ini baik buat Oza. Akan buruk dampaknya jika Oza bisa mengingat masa kecilnya.”
Ry kini kembali ikut menatap langit. Dia ingin mendengarkan dengan jelas.
“Beberapa hari sebelum insiden itu, ada peristiwa buruk yang menimpa dia dan gue yakin itu pasti bikin Oza trauma, karena gue sendiri pun yang cuma lihat merasakan trauma itu, bahkan sampai sekarang. Karena itu gue bersyukur Oza lupa ingatan. Jadi dia bisa lupa apa peristiwa saat itu.”
Arik menarik nafasnya dalam, pikirannya kacau lagi karena mengingat apa yang terjadi di hari itu.
“Gue minta tolong sama Lo, jangan pernah bilang apa pun mengenai masa kecil Oza selama di sini, gue nggak mau dia ingat masa kecilnya. Jika itu terjadi, dampaknya akan buruk banget bagi dia. Tolong....”
“Setiap ibu Cia ke sini, dia selalu cerita tentang Zaza yang tinggal di luar negeri dan bahagaimana kehidupannya di sana. Berkali-kali aku minta sama dia buat ketemu Zaza, tapi balasannya kata tidak. Aku hanya ingin mengucapkan satu kalimat saat bertemu Zaza nantinya. Maaf aku tidak memegang tangannya saat dia akan jatuh.”
Kali ini Ry tidak menahan air mata yang turun dari kedua matanya. Arik menoleh lagi ke arah Ry, dia bisa melihat Ry yang menangis. Untuk pertama kalinya Arik melihat Ry menangis. Sebelumnya dia hanya tahu Ry yang tegas dan sepertinya enggan untuk menangis, tapi kali ini?
“Sampai sekarang, aku masih belum bisa melupakan bagaimana Zaza jatuh saat itu, bagaimana darah yang...” Ry menggelengkan kepalanya dengan mata terpejam, air matanya kembali mengalir, dia tidak bisa melanjutkannya lagi.
Arik kini mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping ke arah Ry. Tangan Arik terangkat dan menghapus air mata Ry yang terus mengalir. Ry merasakan tangan yang menyentuh pipinya dan dia membiarkan hal itu. Perasaan Ry hancur mengingat hal itu lagi.
“Jangan nangis Lia.”
Mendengar Arik menyebutnya dengan sebutan Lia membuat Ry malah menangis lagi. Dia duduk lalu menghapus air matanya sendiri. Arik pun ikut duduk saat Ry memilih untuk duduk.
“Bagaimana?” tanya Ry.
“Oza selalu cerita setiap kali dia pulang dari panti. Dia bilang dia banyak teman di sana, namun dia lebih suka bermain dengan Lia, walaupun Lia cukup sering mengacuhkannya.”