Buat aku percaya kalau dunia ini masih menyimpan banyak tawa
Buat aku mengerti bahwa setiap air mata membawa pelajarannya sendiri
Tumpukan buku yang ada di kamarku sudah terlalu banyak. Aku berniat untuk menyumbangkan sebagian buku ini ke perpustakaan yang tidak jauh dari rumahku. Aku memilah satu persatu buku yang sudah tidak menarik lagi untuk dibaca. Ada satu buku yang menarik perhatianku sejak tadi. Itu buku pertama yang aku miliki, buku itu adalah hadiah ulang tahunku yang ke tujuh tahun. Sebuah buku dongeng anak yang diberikan oleh ayah.
Perlembar dari buku itu aku buka. Tanpa disadari aku melengkungkan senyum, ayah pernah membaca bagian ini untukku “Hei tuan putri, kau akan ku kutuk jika membantah perintahku.” Lalu ayah melanjutkannya dengan suara khas perempuan yang dibuat-buat “Apa perintahmu?” Dilanjutkan dengan suara sebelumnya “Kau harus tetap tersenyum, berjanjilah padaku.” Seketika saja air mataku kembali deras. Aku telah mengingkari janji.
Di lembar terakhir, aku menemukan foto ayah bersama seorang lelaki yang terlihat sebaya dengannya. Foto zaman dulu yang hanya menghasilkan dua perpaduan warna, hitam dan putih. Dari foto itu aku bisa melihat keakraban mereka berdua. Di balik foto tertulis “Dari Yoga Pratama, terima kasih untuk Rudi Azhar.”
Sebentar, laki-laki ini adalah atasan ayah. Apa hubungan atasan dan bawahan bisa sedekat dan se-informal ini? Apa atasan ayah ini mengucapkan terima kasih karena jasa yang telah ayah lakukan pada keluarganya selama bertahun-tahun? Tapi, aku penasaran mengapa di hari pemakaman tidak ada satu pun dari mereka yang datang.
Aku segera memasukan foto itu ke dalam buku-buku yang akan di sumbangkan. Mencari ibu, untuk memi ta izin keluar. Tapi ibu tak kutemukan, mungkin ibu sedang mengantar pakaian pada pelanggan. Untuk itu, aku memutuskan untuk pergi tanpa berpamitan, lagipula ini hanya sebentar.