“Perkenalkan, nama saya Aksa Adyatama. Asal sekolah dari SD Bendera, alamat rumah saya di perumahan asri. Terimakasih.” Begitu singkatnya perkenalanku.
“Perumahan asri yang elit itu, kan?” Seorang perempuan yang duduk tepat dihadapanku memberi pertanyaan.
“Iya! Wah, kita tetanggaan, dong, Sa. Lo di blok mana? Nomor berapa?” Tiba-tiba Rubi menjawab sekaligus bertanya.
“Rubi ... kalian kan satu bangku, ngobrolnya bisa nanti, kan?” tanya ibu Hasna.
“Ih, aku nanya nggak boleh. Dia nanya aja boleh.” Ia mendengus dan mengibas-ngibaskan kipas-tangan tepat dihadapan wajahnya, helaian rambutnya yang beterbangan menambah kesan cantik seorang Rubi.
Hush! Cewek itu sombong. Cantik tapi sombong nggak ada menariknya, Sa!
“Gue kan cuman tanya satu pertanyaan. Lah, lo? Udah kek kereta cerobong asap.” Timpal perempuan yang bertanya padaku tadi.
“Sudah, sudah. Aksa silakan duduk. Selanjutnya ... ” kata ibu Hasna.
*
Aku membantu ibu membuat sambal andalannya, dengan menggunakan cowet –Sebutan cobek dan ulekan di daerahku– kuhaluskan beberapa bahan seperti bawang, cabai, cabe rawit, dan lain-lain.
Di era sekarang, kebanyakan orang menghaluskan bumbu masakan menggunakan blender supaya praktis dan lebih hemat energi. Namun, meskipun aku laki-laki, ibu selalu mengajarkan hal basic seperti ini. Beliau bilang, kalau kita tidak bisa menghaluskan bahan-bahan dengan cara tradisional dan malah terbiasa pakai alat yang lebih praktis, dan suatu saat alat itu rusak tapi keadaan kita sedang tidak ada uang untuk membeli yang baru atau minimal memperbaiki, kita akan kesulitan. Tapi, kalau kita sudah terbiasa pakai cobek dan ulekan, dijamin aman.
Tidak peduli jika katanya ini hanya tugas dan kewajiban perempuan, dengan belajar seperti ini, aku bisa membantu istriku memasak nantinya. Lagipula, tidak ada larangannya, kan?
“Jadi, gara-gara Abang banyak yang suka, terus anak cowoknya nggak ada yang mau duduk sama Abang?” Ibu tertawa.
“Iya, Bu. Abang sih nggak masalah kalau harus duduk sendiri. Tapi, cewek yang duduk sama Abang itu sombong banget, Bu.” Aku sibuk memukul-mukul bawang yang susah hancur.
“Sini, biar Ibu yang ulek kalau Abang nggak mau,” ujar ibu yang melihat caraku mengulek.
Aku masih merasa kesal dengan sosok perempuan yang berstatus ‘teman sebangku’. Hari pertama saja sudah kelewat sombong, gimana hari-hari berikutnya?
“Abang aja, Bu.” Aku mempertahankan cowet-ku.
“Yang betul nguleknya,” ucap ibu. Aku mengangguk.
“Orang tua-nya emang nggak marahin Rubi ya, Bu?” tanyaku. Kali ini aku mengulek dengan lebih baik.
“Kok tanya Ibu? Kan Ibu nggak tau Rubi sama keluarganya. Lagian, setiap orang tua itu mendidik dengan cara terbaik mereka. Satu hal yang pasti menurut Ibu, nggak ada orang tua yang mengajari anaknya keburukan,” kata ibu. Aku mengangguk-anggukan kepala. Membenarkan.
“Iya juga, ya, Bu.”
“Jangan langsung menyalahkan didikan orang tuanya, siapa tau memang anaknya yang keras kepala dan susah nurut.”
“Abang nggak nyalahin orang tuanya, Bu. Cuman aneh aja, masih kecil udah sombong banget.”
“Abang kan satu bangku sama Rubi, bantu Rubi buat nggak sombong lagi, lah.”
“Abang?” tanyaku sembari menunjuk wajah sendiri. Ibu hanya mengangguk santai.
“Ibu, nih. Rubi sama orang tuanya aja nggak nurut. Apalagi sama Abang, Bu, yang cuman temen sebangkunya.”
Ibu tertawa dengan renyah, beliau mengusap-usap rambutku. Sementara aku masih tidak habis pikir dengan ucapan ibu. Bagaimana bisa aku yang notabene-nya orang lain, tiba-tiba mengubah kehidupan Rubi. Tapi, aku juga tidak akan tahan dengan orang yang kelewat sombong seperti itu.
“Kalau memang benar Rubi nggak nurut sama orang tuanya, bukan berarti Rubi menutup kedua telinganya buat dapat teguran, kan? Siapa tau Rubi butuh orang yang tepat, dengan cara yang tepat buat bantu dia berubah jadi lebih baik,” ucap ibu. Aku mendengus.
“Bu, ini udah halus, kan? Abang mau main PS dulu, ya.” Tanpa menunggu izin dari ibu, aku langsung lari dari dapur.