AFFECTION

A Zahra Angelina
Chapter #3

c h a p t e r : 3

Hari ini menjadi hari yang tenang sekaligus tidak tenang bagiku. Tenang karena akhirnya telingaku bisa rehat dari ocehan Rubi yang tidak beres-beres, dan tidak tenang karena aku merasa bersalah pada Rubi. 

“Va, Rubi kemana?” tanyaku pada Iva yang sedang sibuk membaca novel.

"Lo nanya gue kemana tu bocah?” Ia menutup novelnya.

“Kamu juga bocah.” Aku menyenderkan tubuh ke tembok, dan melipat kedua tangan di dada.

“Oh, lo ada di pihak si Rubi sekarang?” Iva ikut menyenderkan tubuhnya.

“Aku nggak mihak siapa-siapa, kali. Cuman ngerasa bersalah aja, dia sekarang nggak masuk gara-gara aku tegur kemarin, kah?”

“Lo udah bener, kok. Negur dia biar nggak kebiasaan sombongnya. Sayang banget, cantik-cantik nggak ada akhlak.” Aku tersenyum mendengar ucapan Iva.

“Rubi cantik, ya, Va?” ucapku tanpa sadar.

“Diiih, lo naksir sama dia?” Iva memukul wajahku dengan novel tebalnya, sementara aku meg-aduh. “Bukan gue cemburu sama lo, ya. Yang cantik fisik itu banyak, tapi yang cantik hatinya itu langka, Sa. Cari yang berkelas, dong.” Sambungnya.

“Lhoh, memangnya Rubi nggak berkelas? Dia high class gitu perasaan.”

“Gini, dari status sosial bisa dibilang dia berkelas, orang kaya, cantik. Tapi, memangnya ... lo sebagai cowok, nggak ada kriteria buat ‘pasangan’ gitu? Ya, maksudnya ada keinginan buat punya pacar baik.” 

“Ada, lah.”

“Bukan bentukan kek tu bocah songong, kan?” 

Aku menggeleng dan tertawa mendengar pertanyaan Iva. Tidak ada yang salah, kan? Kalau aku bilang Rubi itu cantik dan high class, bukan berarti aku suka sama dia, aku tetap punya kriteria kalau soal perempuan. Ya ... seperti ibu, lah.

Drrt.

“Ngapain bocah songong ini telpon gue?” 

Aku menggidikkan bahu, seraya melihat layar ponsel dan sang empu-nya secara bergantian. Iva mengangkat kedua alisnya, aku menggelengkan kepala. 

Ck.” Iva mengangkat panggilan Rubi. 

Gue udah chat pak Dani, tugasnya beres,” ucap Rubi dari balik telpon.

“Terus kenapa lo nggak masuk?” tanya Iva.

Oh, itu, gue diajak nemenin ayah ke Paris. Seminggu-an gue baru balik.”

Aku dan Iva kompak membulatkan mulut dan menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata ada orang yang lebih mementingkan hal tidak penting, ketimbang ngurusin yang penting-penting. Aku heran sama Rubi, kenapa dia suka banget ngurusin yang nggak penting, sih?

Maksudnya, kami memang tidak tahu apa urusan keluarganya sampai Rubi harus ke Paris saat ini, namun, menurut pendapatku anak seusia kami seharusnya lebih mengutamakan pendidikan, bukan?

Udah, nggak usah sedih gitu gara-gara nggak gue ajak. Oh, iya, bilangin makasih ke Aksa. Ntar gue bawain oleh-oleh buat dia. ”

Tuut.

Lihat selengkapnya