Kubikel putih yang membatasi Divisi Legal dan Divisi Finance itu sudah puluhan kali dilirik Ikram. Sepuluh detik dilihat, tiga detik kemudian ia hampiri, tapi baru dua langkah maju, kakinya malah balik kanan. Ikram tidak pernah sebimbang ini. Keinginan menghampiri seorang perempuan di balik kubikel Divisi Finance itu memang besar. Namun entah kenapa nyalinya ciut.
Ketika tengah bergumam dengan dirinya sendiri, seseorang menepuk pundaknya keras.
“Allahuakbar!” Ikram kaget.
“Mas Ikram ini lagi ngapain, toh, dari tadi?” tanya Rachmat, teman satu divisinya.
“Haduh, ngagetin aja, Mat!”
“Sudah ngajakin Kia?” Rachmat memberondong Ikram yang masih kaget.
Ditanya seperti itu Ikram malah menunduk, merasa bersalah. Kepalanya perlahan menggeleng.
“Aduh! Piye toh, Mas? Mas kan sudah janji sama aku,” ucap Rachmat dengan logat medok khas Bantulnya.
“Iya, Mat, lo tenang aja. Ini tuh cuma butuh waktu,” jawab Ikram.
“Waktu buat opo? Aku pikir Mas Ikram sudah ngajakin Kia makan siang dari satu jam yang lalu. Kalau ndak jadi ngajak Kia, mending makan siang bareng Lidyanya aku batalin aja ya?”
Ikram hanya bisa menggaruk kepalanya meski tak gatal.
Ini adalah satu dari seribu kesempatan yang ada untuk mendekati Kia. Perempuan yang disukai Ikram waktu lima tahun lalu. Jika tidak sekarang, Ikram tidak bisa menjamin akan ada lagi kesempatan-kesempatan lainnya.
Tapi, kenapa susah sekali sih memberanikan diri? Padahal cuma nanya “Kia mau nggak makan siang bareng?”, gumamnya dalam hati.
“Hah! Cuma begitu aja gue nggak berani? Cemen,” lirih Ikram, yang terdengar sayup oleh Rachmat.
“Mosok ndak berani mulu, padahal sudah bertahun-tahun,” sindir Rachmat.
“Gue juga nggak akan terlalu bingung begini kalau nggak dipaksa lo, Mat! Lo pake acara nggak mau makan berdua bareng Lidya segala,” gerutu Ikram.
“Ya bukan muhrim, toh, aku sama Lidya. Mosok jalan berduaan begitu. Ndak baik. Aku ndak mau, Mas.” Rachmat membela diri.
“Halah! Jangan lo kira gue nggak tahu ya, lo juga pernah jalan sekali-sekali sama Poppy, Renata, Lala, terus itu anak magang juga. Siapa, tuh, namanya?”
Rachmat nyengir. “Tapi Lidya ini kan beda, Mas. Dia lebih agresif. Aku takut.”
“Takut opo?” tanya Ikram meniru logat Rachmat.
“Takut khilaf,” jawab Rachmat sambil nyengir.
“Semprul!” Ikram meraup wajah Rachmat dengan kesal.
Rachmat memang tidak terlalu religius meskipun dia anak dari seorang ustaz di kampungnya di Bantul sana. Hanya saja dia agak berhati-hati ketika berurusan dengan makhluk ajaib bernama perempuan.
Rachmat tidak mau teperdaya tipu dan muslihat dari pesona perempuan-perempuan itu. Karena sekalinya seorang pria terpukau pesona mereka, maka dapat dipastikan hidupnya tidak akan nyaman. Contohnya saja, teman di depannya ini. Lima tahun yang lalu sempat memendam perasaan pada perempuan, sekarang perasaannya itu muncul lagi, dan sampai saat ini ia tak pernah bisa ngapa-ngapain.
Meskipun bicaranya medok dan kalau didengarkan serasa meledak-ledak, tampang Rachmat ini guantengnya bisa ngalahin Aliando. Makanya tidak heran perempuan secantik Lidya tidak malu-malu mengejar laki-laki medok ini.
Lidya pernah bilang, usahanya yang sangat membutuhkan pengorbanan psikis, tenaga, dan waktu ini tak akan berarti lagi jika dia bisa mendapatkan hati Kangmas Rachmat. Semua itu ibarat utang yang terbayar lunas.
Kesempatan tak datang dua kali, Lidya paham betul filosofi ini. Saat Rachmat tanpa sengaja kehilangan ID Card-nya, dewi fortuna sedang berpihak pada Lidya. Rachmat meminta bantuan Lidya untuk membuatkan ID Card-nya yang hilang. Serasa mendapat durian runtuh, Lidya yang bekerja di bagian HRD langsung memanfaatkan momen tersebut. Dia memberikan pilihan pada Rachmat, jika Rachmat ingin ID Card-nya lagi, maka Rachmat harus mau makan siang bareng Lidya.
“Itu sih bukan pilihan, tapi ngancam namanya!” Sore kemarin, Rachmat berkisah pada Ikram.