Kia baru saja kembali ke tempat duduknya setelah sarapan nasi uduk di pantri. Ketika menyalakan komputer dan log in ke akun aplikasi kantornya, muncul keterangan bahwa password harus diperbarui. Seperti sudah terbiasa, Kia langsung mengetikkan password baru, log in dan menge-klik setting untuk mengubah password-nya lagi dengan password lama. Password yang sama dengan salah satu akun media sosialnya. Ia pernah diberi saran seperti itu oleh orang IT dulu. Sampai sekarang ia masih melakukannya.
Terdengar Cindy, juniornya di divisi Finance, menggerutu karena password yang dia masukkan salah. Begitu terus sampai beberapa kali dan akhirnya akunnya diblokir.
“Duh! Kok diblokir sih?” gerutu Cindy kesal.
Merasa terganggu, Kia menanyakan masalahnya. “Kenapa, Cin?”
“Akun gue diblokir, Mbak. Ah resek, deh.”
“Kok bisa diblokir?”
“Lupa password baru. Padahal kemarin masih bisa.”
“Lo password-nya tulisan yang aneh-aneh kali, makanya lo lupa.”
“Engg ... Iya, sih. Tapi kan katanya bikin password itu harus yang susah biar nggak gampang di-hack.”
“Yang susah tapi lo juga harus ingat. Lo telepon bagian IT aja buat pulihin.”
Cindy lalu membuka-buka buku telepon kecil di mejanya. Buku telepon yang isinya nomor-nomor telepon semua bagian di kantornya.
“Eh bagian IT? Bagian Mas Ikram bukan ya?” tanya Cindy lebih kepada dirinya sendiri.
Tiba-tiba air muka perempuan itu langsung berubah cerah. Seperti orang yang hilang akal ia senyum-senyum sendiri sambil memencet tombol telepon.
“Halo? Dengan bagian IT? Emm ... Bisa bicara dengan Mas Ikram?” sahut Cindy dengan nada suara yang dicentil-centilkan. Mendengar nama Ikram disebut, Kia menoleh perlahan dengan kening penuh kerutan, sedikit kepo. Tapi dia membiarkan Cindy melanjutkan aksinya.
“Halo Mas Iam,” sapanya manja. Membuat Kia ingin memutar bola matanya. Tetapi urung.
“Ih nggak apa-apa, dong, aku manggil nama kecilnya Mas Iam. Kan jadi lebih imut gitu.”
Kia langsung membalik badan menghadap komputer. Tidak tega pada kupingnya jika ia harus mendengar suara cempreng Cindy lebih lama lagi.
“Akun aku diblokir nih, Mas. Minta tolong pulihkan, dong. Mas Iam kan baik, hihihi,” rengek Cindy lalu terkikik semakin manja.
Ingin sekali rasanya Kia menjebloskan perempuan centil satu ini ke sekolah TK! Bukan jadi gurunya, tapi jadi muridnya!
“Lagian ngapain sih password itu harus diperbarui-perbarui segala. Jadinya nambahin kerjaan Mas Iam aja kan. Kasihan, Mas Iam pasti sibuk sama kerjaan yang lain.” Manjanya Cindy semakin menjadi. Dan Kia semakin sebal.
“Eh tapi nggak apa-apa juga sih. Jadinya aku bisa ngobrol sama Mas. Hihihi. Mungkin ini takdir. Semacam skenario yang diatur Tuhan melalui akun aku yang diblokir. Ya, kan?”
Kia langsung menyumpal mulut Cindy, dalam bayangannya. Tapi yang bisa Kia lakukan hanya menyumpal kupingnya dengan earphone dan langsung menyalakan musik hingga suara Cindy tidak terdengar lagi.
Kalau suara cempreng itu masih saja bisa ia dengar, Kia bersumpah akan menyumpal mulut Cindy dengan sandal jepitnya. Camkan itu!
Bukannya Kia iri atau cemburu karena Cindy bermanja-manja dengan Ikram. Lagipula Ikram pun bukan siapa-siapanya, meski Kia sepertinya tahu kalau Ikram mungkin sedang berusaha mendekatinya. Eh, Kia bukan gede rasa, tapi cara Ikram mengajak dirinya makan siang kemarin terasa berbeda. Cara lelaki itu berbicara dengannya juga seolah ia adalah hal yang istimewa. Sebenarnya Cindy bebas mau genit-genitan sama siapa pun. Dan Ikram pun bebas mau digodain sama siapa saja. Hanya saja Kia merasa sebal setengah mati dengan perempuan yang manja.
Bukan tanpa alasan Kia seperti itu. Melihat Cindy ia seperti bercermin. Karena dulu dirinya begitu. Bundanya bahkan sering sekali mengingatkan bahwa kalau sudah dewasa Kia harus menghilangkan kebiasaan manjanya. Tapi namanya juga anak bungsu. Sejak kecil sudah kadung dituruti semua keinginannya tanpa membiarkan Kia berusaha terlebih dulu. Sampai Kia menikah pun sikap manjanya masih menempel kuat di dirinya. Tanpa sadar sifat manja itulah yang membuat rumah tangganya berantakan.
Kini Kia sama sekali tidak menyimpan respek terhadap perempuan-perempuan manja. Menurutnya itu membuat mereka terlihat lemah dan tak berdaya. Atau malah sebaliknya, tampak memiliki power tapi aslinya tidak bisa apa-apa.
“Eh, Mas. Nanti siang mau makan bareng nggak? Kebetulan aku tahu tempat makan yang enak buat nongkrong,” ajak Cindy melanjutkan serangan-serangannya pada Ikram sambil memilin-milin rambutnya.
Hening sebentar, Cindy mendengarkan Ikram berbicara.
“Ya bukannya mau nongkrong pas jam maksi[1], sih. Tapi tempat makannya tuh oke. Menunya banyak dan enak-enak. Dijamin nikmat dan kenyang. Mau ya? Ya? Ya?”
Hening lagi sebentar, lalu, “Yes! Nanti samperin aku di meja ya.”
Cindy terdiam lagi mendengar balasan Ikram. Lalu mulutnya berubah manyun. “Iya deh, nanti ketemu langsung aja di lobi.”
Sedetik dari itu senyum Cindy mengembang lagi. “Eh akunnya udah bisa? Wah cepet banget. Mas Iam keren!” Lalu Cindy menuliskan password baru yang disebutkan Ikram.
“Oke! Makasih banyak ya Mas Iam. Sampai ketemu nanti siang. Daaah.”
***
Sebelumnya Ikram cuek-cuek saja ketika makan siang bareng Cindy. Cindy memang agak merepotkan sih. Banyak maunya dan rata-rata sulit banget untuk ditolak. Sudah gitu manjanya keterlaluan. Suka gelendotan juga di lengan Ikram. Bikin Ikram risi.
Selain itu selama makan siang tadi Cindy terus memainkam ponselnya. Foto selfie-lah, foto-fotoin makananlah, fotoin minumanlah, bahkan foto-fotoin dirinya juga.
“Ini mau makan atau mau menggelar sesi pemotretan sih?” protes Ikram ketika akan menyendok makanannya tetapi langsung dicegah oleh Cindy karena makanannya mau Cindy foto dulu.
Seperti tidak sadar dengan sindirian Ikram, Cindy malah terkikik geli. “Lucu, deh, Mas Iam ini.”
“Memangnya kamu nggak takut kalau nanti makanannya tiba-tiba senyum kemudian muncul dua jari dan teriak 'cheese!'?”
“Hahaha. Aduh, Mas Iam ini lucu banget sih. Mana ada makanan yang begitu. Hihihi.”
“Ya kali aja, saking seringnya kamu fotoin makanan-makanan ini. Nanti mereka jadi gede rasa, lho. Merasa foto model,” ucap Ikram sebal.
“Hahaha. Aduh sampe keluar air mata nih ketawanya. Mas Iam bisa aja deh. Cindy suka.” Lalu perempuan itu cengar-cengir dan mulai memakan makanannya.
Ikram hanya manyun. Inginnya sih menasihati atau bahkan memarahi perempuan ini. Tapi Ikram tidak bisa memarahi Cindy begitu saja. Tidak tega.
Ketika balik ke kantor, tiba-tiba satu kubikelnya heboh. Menggodanya silih berganti.
“Cie-cie. Yang abis lunch date,” goda Nadine.