Lagu That's What You Get milik Paramore berdentum pelan di speaker kecil komputer Kia. Nando ikut bernyanyi kecil sambil sibuk mengetik revisian skripsi milik Kia. Dua minggu lalu Kia baru saja selesai sidang skripsi. Jika bukan Nando yang terus memaksanya, perempuan itu tidak mungkin bisa menyelesaikan skripsinya dengan cepat. Itu saja sudah telat enam bulan dibandingkan skripsi Nando. Ketika Nando sibuk bekerja, Kia masih sibuk mengejar-ngejar dosen pembimbing.
“Gimana? Udah selesai?” Kia kemudian masuk ke kamar dan duduk bersila di lantai di samping Nando yang sedang sibuk menge-print revisian skripsi Kia.
“Kamu ini, kayak nanya apaan aja. Kan harus dicek lagi, dibenerin, dibaca ulang, baru di-print. Kebiasaan.” Nando menjawil hidung Kia.
Kia hanya terkekeh. “Ya udah cepetan dong. Katanya mau nonton ke bioskop.” Kia merajuk manja.
Nando pura-pura menghela napas lelah. Kia makin terkekeh geli. “Omong-omong ini skripsinya siapa ya? Yang punya malah santai-santai aja.”
Kia tertawa. “Nando, Sayang. Kamu tuh aura gantengnya semakin terpancar kalo bantuin ngerjain skripsi aku,” goda Kia sambil mengelus pipi Nando dengan kedua tangannya.
“Memangnya kapan aku nggak bantuin ngerjain skripsi kamu? Hm?”
Ketika Kia akan melepaskan tangannya dari pipi Nando, lelaki itu menangkap cepat tangan Kia. Lalu ia genggam tangannya, balik menggoda Kia dengan pura-pura mendekatkan wajahnya ke wajah perempuan itu sambil menyeringai. Seketika wajah Kia memerah.
“Di bawah ada Bunda, Nan,” lirih Kia mengalihkan penglihatannya ke arah lain selain wajah Nando.
Diperingatkan begitu, Nando bukannya menjauh malah menempelkan keningnya ke pelipis Kia. Mengusapkan hidungnya ke pipi Kia dengan lembut. Membuat keduanya memejam, menikmati sentuhan satu sama lain. Bulu kuduk Kia meremang tatkala wajahnya tertiup napas hangat Nando. Sekonyong-konyong jantung Kia berdebar hebat, sampai-sampai Kia takut degup jantungnya akan terdengar sampai lantai bawah. Gawat kalau Bunda sampai dengar, pikirnya.
Di sela-sela pejaman matanya, Nando bergumam. “Nikah sama aku ya, Ki?”
Kia langsung menarik kepalanya untuk menatap wajah Nando, terkejut. Alisnya terangkat, merasa tak percaya dengan ucapan yang didengarnya. Dicarinya raut canda di wajah Nando. Namun tak ia temukan. Hingga akhirnya ia terkekeh pelan. “Pffft. Bercanda kam—“
“Aku serius,” potong Nando cepat tanpa ekspresi bercanda.
Bola mata Kia masih bergerak-gerak, mencari ketidakseriusan di wajah Nando. Namun sekali lagi, ia tak menemukannya.
“Mau ya, Ki?” pinta lelaki itu sekali lagi.
Sekarang kening Kia berganti mengernyit. Ia bingung. “Tapi kapan? Dua tahun lagi? Tiga tahun lagi?” tanya Kia.
Nando menggeleng pelan. “Sekarang, Ki. Tahun ini.”
Kerutan di kening Kia semakin dalam. “Aku bahkan belum dapat kerja, Nando.”
“Setelah nikah kamu boleh kerja di mana aja. Mau nggak kerja juga nggak apa-apa. Terserah kamu.”
“Tapi ....” Kia memutar otak mencari alasan lain. “Tapi kita masih muda, Nando. Umur kita masih 22.”
“Justru mumpung kita masih muda.” Nando menjawab dengan senyum puas. Ia yakin Kia tidak bisa menemukan alasan lain lagi.
Kia tertawa. Tawa renyah yang selalu membuat Nando ingin terus mendengarnya dan menjadi tergila-gila.
“Hayo mau alasan apa lagi?” goda Nando, membuat Kia semakin tertawa.
Sedetik kemudian Kia memeluk Nando. Melingkarkan tangannya erat di leher lelaki itu. Senyum lebar masih tetap melekat di bibirnya. Entah bagaimana permintaan Nando itu bisa membuat hatinya bahagia melebihi perasaan bahagia yang pernah ia rasakan seumur hidupnya. Seperti ada kembang api meletup-letup di dadanya. Mengagetkan dengan suara dentumannya namun indah karena warna-warni percikannya.
“Mau, Ki?” tanya Nando sekali lagi.
Dan Kia hanya mengangguk dalam pelukan Nando.
***
Tuuut.
Matanya terbuka seketika. Namun masih ia rasakan degup jantung yang kencang seolah alat pemompa darah itu hendak keluar dari dadanya.
Kia terbangun dari tidurnya secara tiba-tiba karena mendengar suara "tut" yang panjang dari TV yang menyala. Saluran TV tertentu jika sudah lewat tengah malam dan tidak lagi menayangkan acara biasanya hanya bergambar garis warna-warni dengan bunyi "tut" yang panjang.
Kia tak sengaja tertidur di ruang tengah, di atas sofa di depan TV. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. AC ruangan masih di-setting dengan suhu yang sangat rendah. Ia menegakkan tubuhnya dengan kedua tangan memegang sofa. Kepalanya terasa pening, pundaknya pun sakit disebabkan posisi kepala yang terlalu tinggi ketika tidur. Ditambah suhu ruangan yang dingin, membuat kepalanya semakin berat.
Ia lalu mematikan TV di depannya, mengambil remote AC dan mengatur suhunya agar tidak terlalu dingin. Kepalanya yang berat dan pening berusaha mengingat mimpi yang baru saja ia alami. Ia memimpikan Nando setelah sekian lama. Ini yang pertama kalinya semenjak mereka berpisah sekitar delapan bulan lalu. Bagi Kia, meskipun ia sangat merindukan Nando, di saat yang bersamaan hal itu pun justru menambah torehan luka di hatinya.
How can you miss someone and hurt by them at the same time?
Bayangan Nando memintanya untuk menikahi lelaki itu masih hangat dalam ingatan. Hal yang seharusnya ia lupakan itu malah semakin kuat ia ingat. Namun sebelum ia memikirkan bagaimana cara untuk melupakan kenangan-kenangan sialan itu, ia harus terlebih dahulu membereskan hidungnya yang gatal dan ....
“Hatsih!”
Oh my, this is a disaster.
***
Layar monitor di depannya mulai meredup lalu gelap sepenuhnya. Ditutupnya laptop dengan perlahan untuk kemudian dimasukkan ke tas. Sementara itu lampu di sebagian kantor sudah dimatikan. Hanya tinggal beberapa kubikel saja yang masih menyala karena orang-orang harus lembur.
Lembur hari ini sebenarnya pilihan. Ia bisa saja pulang tepat waktu tadi sore. Namun sedari sore hujan deras mengguyur Jakarta. Ia pun memilih tinggal dulu di dalam kantor setidaknya sampai agak malam. Bukan takut kehujanan, karena ia kebetulan membawa mobil ke kantor. Tapi, malas kena macet. Hujan deras begini jalanan pasti macet parah. Belum lagi jika banyak genangan di beberapa titik yang sejalur dengan arahnya pulang. Itu yang biasanya jadi penyebab macet. Stuck. Susah move on. Engg ... okay. Itu “kenangan” bukan genangan.
Omong-omong soal kenangan, ia baru ingat bahwa ia sempat melihat perempuan dambaannya keluar musala pukul setengah delapan malam tadi. Entah mengapa jika menyinggung tentang kenangan, ia akan langsung teringat Kia. Ia tahu bahwa Kianya itu seharian tadi mengikuti meeting internal divisi dan baru selesai menjelang magrib. Dikiranya sudah pulang, tapi ternyata pukul setengah delapan tadi ia masih melihatnya. Nah, apakah perempuan itu masih ada di kantor? Pukul sembilan malam begini?
Ikram berjalan menghampiri meja Kia yang kosong, tapi komputernya masih menyala. Ia berhenti sejenak di sana untuk mengamati barang-barang milik Kia. Kemungkinan besar orangnya masih ada di sekitaran kantor. Tapi di mana? Sementara itu satu per satu lampu di ruangan ini mulai padam. Orang-orang mulai saling berpamitan untuk pulang. Tapi ada satu ruangan yang masih terang, yaitu ruang kerja Bu Ifa, Kepala Divisi Finance & Accounting. Ruangan itu tampak terang benderang sendiri di tengah gelapnya ruangan-ruangan lain yang mengapitnya. Bu Ifa masih ada juga?
Dilihatnya isi ruangan Bu Ifa melalui celah kaca. Tapi karena celahnya terlalu kecil, Ikram tidak bisa melihat banyak. Tak sengaja ia dorong pintu itu dengan telunjuknya hingga terbuka. Suasana di dalam ruangan membuat alis Ikram terangkat.
Surprise!
Perempuan dambaannya ada di situ, meringkuk lemah di sofa panjang dengan blazer hitam yang menutupi bagian kaki.