Batang rokok yang diisapnya masih panjang, mengepulkan asap yang sudah terbiasa bertandang ke paru-parunya. Orang-orang silih berganti keluar-masuk gedung perkantoran 21 lantai di belakangnya, dan dia hanya memerhatikan mereka. Biasanya ia merokok di depan lobi gedung perkantoran ini rame-rame bersama teman-temannya yang lain yang tidak terbiasa bermulut asam jika tak tersentuh nikotin. Tapi kali ini ia hanya sendirian. Temannya si Medok Jawa itu belum muncul juga padahal ia yang membuat janji untuk merokok sepagi ini di depan lobi.
Ikram baru saja menempelkan jempolnya di mesin presensi pukul delapan pagi tadi ketika Rachmat meneleponnya via aplikasi WhatsApp (WA). Si medok itu memaksa Ikram untuk menemaninya di depan lobi gedung sambil merokok. Terpaksalah ia turun lagi ke lobi. Niat utamanya bukan merokok, tapi untuk mencegat Lidya di depan gedung kantornya. Rachmat ingin menagih janji perempuan agresif itu karena ID Card-nya tak kunjung ia terima. Padahal Rachmat sudah menepati janji untuk makan siang bersama beberapa hari lalu sebagai persyaratan jika ia menginginkan ID Card-nya lagi. Namun Lidya seperti amnesia. Malah semakin banyak modus perempuan itu untuk bisa berkali-kali bertemu Rachmat. Bodohnya mengapa ia mau saja dikerjai begitu. Jadi kesal sendiri.
Sambil menunggu kedatangan Rachmat, Ikram iseng membuka aplikasi Instagram (IG) dan melihat-lihat unggahan terbaru dari akun Kia. Tidak ada yang berubah. Kia memang jarang mengunggah foto-fotonya. Berbeda dengan Cindy yang sangat aktif di media sosial apalagi di Instagram. Kalau Cindy, hal-hal yang tidak penting saja ia unggah. Seperti pagi ini, ia sampai tahu kalau Cindy sedang makan bubur ayam di kantin belakang. Dan Ikram juga sampai tahu kalau Cindy termasuk tim bubur diaduk! Ih nggak penting juga buat dirinya. Tapi, ya terpaksa, orang saat membuka aplikasi itu yang muncul di timeline IG-nya foto dari bubur ayam yang diaduk milik Cindy, dengan caption “Aku tim bubur diaduk. Kalau kamu?”. Iya, ini sama sekali tidak penting. Ikram sampai geleng-geleng kepala.
Ketika ia beralih untuk membuka aplikasi Facebook dan berinisiatif mencari akun Kia di sana, Rachmat datang dengan sebatang rokok yang belum dibakar terapit di antara telunjuk dan jari manisnya. Ikram langsung menyimpan ponselnya ke saku kemejanya.
“Jadi gimana?” tanya Ikram.
Rachmat menyalakan rokoknya yang kini beralih diapit bibirnya. “Kita tunggu saja dia di sini, Mas. Malas aku kalau harus nyamperin dia di mejanya. Pasti diresekin sama teman-temannya,” jawab Rachmat.
“Emangnya nggak bisa sendirian aja ngelabraknya? Gue belum sarapan, Mat.”
“Biar Mas bantuin aku buat bikin Lidya tersudut,” ujar Rachmat sedikit merengek.
“Kan cuma minta doang.”
"Itu kalau yang aku hadapi perempuan normal. Lha ini, Lidya bukan perempuan normal, Mas. Nenek lampir ganjen!”
Ikram langsung tertawa. “Jangan benci-benci banget sama cewek. Entar malah jatuh cinta,” ledek Ikram.
“Jatuh cinta ndasmu! Pokoknya Mas bantuin aku biar setidaknya si Lidya takut.”
Ikram hanya mengangguk asal sambil sedikit berpikir mengenai kegigihan Lidya. Gigih dan tidak tahu malu memang beda tipis. Merasa salut juga sama usaha Lidya untuk mendapatkan Rachmat, meskipun caranya memang bikin kesal orang. Tapi jika dibandingkan dengan dirinya, ia malah merasa kalah jauh dari Lidya. Ia tidak pernah segigih Lidya dalam usaha mendapatkan perempuan. Bukannya ia tidak pernah suka sama perempuan sampai-sampai tidak pernah berusaha segigih Lidya. Dulu ia pernah beberapa kali pacaran. Tapi kebanyakan dirinya yang ditaksir bukan dirinya yang naksir. Lalu momen ini datang. Momen di mana sebenarnya ia bisa saja mendapatkan perhatian lebih dari Kia. Tapi usahanya ya hanya segitu saja. Ia bahkan merasa bahwa ia tidak berusaha sama sekali.
Rachmat menyikutnya, memberik kode. Lidya akhirnya muncul juga. Perempuan yang mereka tunggu-tunggu itu datang dengan diantar ojek online. Ketika motor ojek berhenti di depan lobi, Rachmat dan Ikram langsung menghampiri Lidya. Dengan wajah innocent-nya, Lidya tersenyum girang ke arah Rachmat. Setelah memberikan helm kepada driver ojek, Lidya membenarkan letak tas ransel kecilnya yang ia sampirkan ke depan badannya. Melihat hal itu Rachmat langsung melabrak Lidya. Sampai membuat Ikram melongo. Kirain nunggu beberapa waktu dulu sebelum si Rachmat ngamuk-ngamuk, pikir Ikram.
“Lho itu tasmu kenapa di simpan di depan begitu?” tanya Rachmat penuh emosi.
Lidya cengengesan. “Pagi juga, Mas Rachmat. Jadi enak diperhatiin gini.”
“Ndak gitu! Mas, kemarin Lidya nebeng motor aku tasnya ndak disimpan ke depan gitu kayak tadi.” Rachmat jadi seperti mengadu pada Ikram. Ikram jadi bingung.
“Ya terus masalahnya apa, Mat?” tanya Ikram bingung.
“Mas harus tahu, kemarin dia maksa-maksa aku untuk nebeng pulang pas malam-malam. Dan jika boncengan di motor kemudian tasnya digendong di belakang, Mas tahu kan, apa yang terjadi?” jelas Rachmat.
“Ya ... bagian depan tubuh Lidya nempel di punggung lo?” ucap Ikram masih bingung.
Sementara itu Lidya masih cengengesan. Malah terlihat bangga dengan obrolan mereka.
“Terus barusan Mas lihat sendiri kan tasnya dia simpan di depannya. Berarti kemarin juga seharusnya kamu bisa simpan tas kamu itu di antara punggungku dan itumu!"
“Bahaha!” Ikram terbahak. Jadi itu permasalahannya. Si Rachmat ini sok-sok nggak mau nyentuh Lidya segala, batinnya.
“Yah, Mas Rachmat ini gimana sih? Masa aku harus nempel sama Kang Ojek? Mendingan aku nempel sama Kangmas tersayang dong," ujar Lidya.
“Hadeuh, kamu itu ya! Errrgh.” Rachmat mengerang menahan amarah, sampai membuat Ikram tak bisa berhenti tertawa.
“Gemas deh lihat Mas Rachmat bersemangat gini. Jadi pengin ngelamar duluan, tahu nggak,” goda Lidya dan itu membuat Ikram semakin terbahak. Asli, gokil abis si Lidya ini. Untung cantik jadi nggak malu-maluin banget.
“Sudah, sudah! Kamu jangan mengalihkan isu. Sekarang aku tagih janji kamu,” ucap Rachmat.
“Ya ampun!” pekik Lidya. “Baru aja aku kepikiran untuk ngelamar, udah ditagih aja. Sabar Kangmas. Aku laporan dulu sama ibu bapakku. Nanti baru aku datang sama orang tuaku ke rumahmu. Dan biar hemat waktu, kita langsung tentuin tanggal nikah aja ya.”
“Sembarangan! Awas ya kalau kamu berani datang ke rumahku bawa ibu bapakmu. Tak lapor polisi sekalian!” ancam Rachmat tak masuk akal.
Ikram masih cekikikan melihat tingkah dua makhluk ajaib di depannya.
“Daripada lapor polisi, mending kita lapor ke KUA aja. Lebih berfaedah,” ujar Lidya semringah.
“Ya udah, yok! Gue anterin kalian sekarang. Gue jadi semangat gini, nih!” kata Ikram membuat Rachmat mendelik tak suka. Rachmat pikir seharusnya Ikram berada di pihaknya. Bukannya malah membuat Lidya semakin merasa menang.
“Mas, gimana sih?” tegur Rachmat. “Bantuin aku,” desisnya.
Ikram hanya nyengir. “Oh iya. Eh, Lid. Si Rachmat butuh ID Card-nya, tuh. Kasihan dia, nggak bisa bebas di kantor.”
Mereka bertiga mulai memasuki gedung dan berjalan menuju lift.
“Gampang.” Lidya mengibaskan tangannya.
Rachmat langsung mencibir tak suka. “Kalau gampang seharusnya sekarang aku sudah terima ID-Card itu.”
“Sabar dong, Kangmas. ID-Card kamu masih diproses. Ya ... kalau mau cepat ada syaratnya sih.”
“Halah! Ndak mau aku syarat-syarat begituan. Ndak ada yang bener."
“Suuzon aja deh. Beneran ini syaratnya, Mas.” Nada suara Lidya melembut, membuat bulu kuduk Rachmat meremang. Syarat yang diberikan Lidya tidak pernah ada yang benar. Kebanyakan itu hanya modus Lidya untuk mendekati Rachmat. Laki-laki medok itu sudah hapal. Kini dia tidak mau lagi masuk jebakan Lidya.
“Ndak! Aku ndak mau!” teriak Rachmat. Tepat saat itu juga pintu lift terbuka. Mereka bertiga masuk bersama dengan beberapa orang lainnya yang ikut mengantri. Selama di dalam lift mereka semua terdiam. Baru setelah sampai di lantai kantor mereka, Lidya dan Rachmat kembali sebagai kucing dan tikus.
“Kalau minggu ini aku ndak terima ID-Card itu, aku bakalan laporin kamu ke polisi!" ancam Rachmat.
“Aku juga bakalan laporin kamu ke orang tuaku!” ancam Lidya balik.
“Kalau gitu aku juga laporin kamu ke bapakku!” balas Rachmat.
“Kalau gitu aku laporin kamu ke—” ucapan Lidya terhenti lalu wajahnya berubah senang. “Woah. Jadi nanti orang tua kita ketemu dong!” teriak Lidya girang.