After Broken

Diana Mahmudah
Chapter #6

Chapter 6 Numb

Satu lemparan bantal kursi mendarat di kepala Kia. Sontak kakak-beradik itu tertawa terbahak mengingat cerita yang baru saja disampaikan Kia. Kak Tara bahkan sempat meneteskan air matanya mendengar cerita Kia.

“Kamu nggak ngarang cerita kan soal cowok ini?” tanya Kak Tara masih sangsi.

Kia terkekeh geli. “Buat apa Kia ngarang?”

“Tapi kasihan juga,” ucap Kak Tara prihatin.

“Memangnya Kakak mau adiknya ‘jadi’ sama cowok ini?” goda Kia.

Kak Tara melirik waspada pada Kia dengan kening mengerut tampak berpikir, tapi kemudian tertawa lagi. “Ya nggaklah.”

Mereka berdua kembali menertawakan hal yang sama.

Beberapa menit yang lalu Kak Tara benar-benar dibuat penasaran mengenai si pengirim pesan via WA tadi. Ketika meminta konfirmasi, Kia malah senyam-senyum sok misterius. Sampai gemas dibuatnya.

“Ayo dong, Dek, kasih tahu Kakak itu siapa?” desak Kak Tara beberapa menit yang lalu.

Sementara itu Kia terlihat menahan tawanya yang membuat mukanya seolah bisa menularkan tawa yang ditahannya. Kak Tara semakin curiga.

“Heh, gebetan kamu ya?” tebak Kak Tara.

 Kia tertawa geli. Ia lalu menghabiskan buburnya lalu segera meminum obatnya bersamaan dengan mengunyah pisang.

“Jadi cowok ini tuh namanya ....” ujar Kia tiba-tiba, “Pak Abdulah.”

Kak Tara menoleh dengan kening mengernyit. “Kok manggil ‘Pak’ sih?”

“Ya karena beliau bapak-bapaklah.”

“Aku pikir dia nggak mungkin setua itu sampai-sampai kamu yang rekan kerjanya aja harus manggil ‘Pak’. Atau dia semacam atasan kamu gitu ya?”

Kia menggeleng mantap. ‘Umur Pak Abdulah mungkin sekitar empat puluh lima tahun atau lebih.”

Wow. Nggak kelihatan setua itu sih.”

“Masa Kia manggil dia ‘Mas’? Kegirangan entar dia."”

Kak Tara tertawa mendengarnya.

“Pak Abdulah ini hmm ... belum menikah, Kak,” lanjut Kia.

Kak Tara terkejut.

“Masih perjaka ting-ting. Eh nggak tahu, ding, masih perjaka atau nggak. Nggak minat ngecek.”

“Gimana ngeceknya, coba!” Jitakan pelan mendarat di kepala Kia. Cengiran terbit lagi di bibir Kia.

“Jadi setiap ada karyawan baru yang masih fresh, sudah pasti dia dekati. Dulu aja pas Kia baru masuk kerja di sana sempat juga didekati Pak Abdulah. Waktu itu Kia terlalu polos. Dia pernah ngajakin Kia makan siang beberapa kali. Terus pernah ngajakin jalan juga. Hmm ...” Pandangan Kia sedikit menerawang mengingat-ingat kejadian waktu dulu. “Dia juga pernah nanya alamat rumah Bunda.”

“Buat apa?” tanya Kak Tara ngeri.

“Buat datang ngelamar, Kak!”

“Seriusan?”

Kia mengangguk. “Tapi kemudian Kia mulai ngeh kalau dia lagi nyari calon istri dan mengira Kia belum menikah waktu itu.”

“Terus pas dia ngajakin kamu makan siang, jalan dan sebagainya itu, kamu iyain?”

“Nggaklah. Waktu itu karena alasannya males aja pergi makan siang berdua gitu. Kalau ajakan jalan tentu aja Kia tolak. Mau bikin si Nando ngamuk, apa? Kia baru ngeh ketika dia tanya alamat rumah Bunda dan bilang ‘Kia, nggak apa-apa kalau hari Minggu nanti saya datang ke rumah orang tua kamu sama orang tua saya?’ Dari situ Kia langsung curiga. Terus Kia jelasin aja kalau Kia sebenarnya sudah menikah. Dia langsung syok dan besoknya jadi canggung gitu kalau ketemu Kia.”

Kak Tara terkekeh geli. “Patah hati itu.”

Kia mengangkat bahunya kemudian melanjutkan. “Dulu pas Kia sama Nando lagi ngurusin perceraian, Pak Abdulah sering nyamperin Kia. Apalagi pas Kia lagi ngopi di pantri, hampir setiap hari mungkin dia ada. Sampai-sampai Kia mikir ‘Gila nih orang, setelah tahu gue lagi ngurus cerai—yang mana gue juga nggak tahu dia tahu dari mana—sekarang jadi rajin nyamperin pas lagi di pantri’. Hapal lagi jadwalnya. Nggak ngerti lagi.”

“Niat banget sampai ngapalin jadwal kamu ngopi di pantri,” sela Kak Tara geli.

“Setiap hari dia menghibur Kia, bilang bahwa ini adalah ujian, belum jodoh sama suami yang sekarang, Allah pasti ganti dengan yang lebih baik; tentunya bilang begitu sambil menyiratkan menunjuk dirinya sendiri.”

Kia jadi teringat kejadian-kejadian itu. Pak Abdulah yang tinggi tegap mungkin akan kelihatan gagah dan ganteng jika saja beliau tidak nyinyir dan jutek. Rambutnya yang selalu kelimis menandakan bahwa ia peduli pada penampilannya meskipun wajahnya biasa-biasa saja. Selalu berbicara dengan nada yang lembut pada Kia, namun selalu ketus jika berbicara dengan orang lain. Selalu memaklumi jika Kia membuat kesalahan di dalam pekerjaan. Tapi, selalu marah-marah kalau yang berbuat salah orang lain.

Hal-hal tentang Pak Abdulah yang dijabarkan Kia barusan mengingatkannya satu hal. Di satu sisi ada laki-laki yang dengan senang hati berperilaku lembut dan menganggapnya istimewa, di sisi lain laki-laki yang dimilikinya sendiri malah ‘membuangnya’. Dada Kia langsung nyeri mengingatnya.

“Kia menghargai niat baik Pak Abdulah untuk menghibur Kia. Tapi lama-lama risi juga dibegituin mulu. Terlebih lagi Kia tahu ada niat lainnya di balik itu semua.”

“Dia masih naksir kamu. Mau nyoba usaha lagi.”

Kia tersenyum getir. “Kelihatan, sih. Kemarin aja pas tahu Kia lagi sakit masa mau langsung nganterin Kia ke rumah sakit. Kan cuma flu doang. Lebay. Udah gitu sebal aja karena kayaknya semua cewek single di kantor dia deketin. Apalagi yang masih baru-baru, jangan harap bisa lepas dari Pak Abdulah, deh. Dikuntit terus!”

“Hihihi. Terus kenapa kamu nggak nyimpen nomornya di ponsel?” tanya Kak Tara.

“Males aja sih. Agak-agak nggak penting gitu.”

“Jahat.”

Kia tergelak. “Kia pernah lebih jahat lagi, lho.”

“Oh ya? Gimana tuh?”

“Dulu sempat mau jodohin Pak Abdulah sama Kak Tara.” Tawa Kia menyembur.

“Apa? Jahat kamu!”

Lalu mendaratlah bantal kursi di kepala Kia. Tetapi mereka masih terbahak.

“Eh, nggak jadi karena waktu itu Kakak tiba-tiba aja udah punya calon suami.”

Dulu Kak Tara dilangkahi nikah oleh Kia. Sehingga membuat Kia merasa harus “menebusnya” dengan memberikan Kak Tara calon suami.

“Jodoh kan nggak ada yang tahu, Dek. Jodoh, kematian, rezeki, semuanya misteri. Kamu yang lebih dulu menikah aja ternyata tidak membuat kamu memiliki anak lebih dulu dibandingkan Kakak, kan?”

Yeah, right. Tidak berarti juga bahwa pernikahannya lebih langgeng dibanding kakak yang dilangkahinya.”

Kak Tara melihat mata adiknya itu meredup.

“Jujur sama Kakak, kamu masih suka inget sama Nando?”

Binar di mata adiknya lenyap seketika, membuat dia sempat menyesal mempertanyakan hal yang mungkin dibenci oleh adiknya itu. Kia sempat terdiam, tampak berusaha merangkai kata di dalam benaknya untuk menjawab pertanyaan Kak Tara. Beberapa kali mata Kia mengerjap dengan cepat. Kak Tara tahu, itu cara Kia untuk menghalau tangis ketika berada berhadapan dengan orang lain. Tapi kemudian Kia mengangguk lantas tersenyum getir.

Lihat selengkapnya