After Broken

Diana Mahmudah
Chapter #7

Chapter 7 Melihat Perkembangan Perasaan

Tangannya yang sedari tadi sibuk menggeser-geser mouse, kini bergeser menyeret mug merah berisi kopi di atas meja. Keningnya mengernyit ketika mulutnya hendak menyeruput kopi, namun yang ia seruput hanyalah angin belaka. Kopi di mugnya habis. Ia menghela napas lelah. Menumpukan sorotan matanya pada penunjuk waktu di bagian bawah kanan layar monitor komputernya. Pukul 11.30. Matanya letih, butuh pemandangan lain selain deretan angka dalam tabel-tabel pada Microsoft Excel di hadapannya. Kemudian ia memilih mengecek ponselnya ketimbang melanjutkan mengotak-atik tabel-tabel angka itu. Ada notifikasi WA yang dengan segera ia buka.

Dari Ikram.

Ikram Salman: Padang atau warung Cirebon?

Kia tersenyum membacanya. Pesan-pesan WA semacam itu sudah menjadi hal rutin yang ia terima beberapa hari terakhir ini. Hampir setiap hari Ikram mengajak makan siang di luar dan anehnya ia tidak pernah menolak satu pun dari ajakan-ajakan itu. Sampai-sampai ia khawatir pendapatan tambahan OB yang sering ia mintai tolong membelikan makan siang akan berkurang. Ia malah sempat merasa tidak enak ketika Sudin, OB di kantornya, menghampirinya di meja dan bertanya mau dibelikan apa lalu Kia hanya menjawab, “Sori ya, Din. Saya makan siang di luar hari ini.” Dan uang tip jatah Sudin pun melayang.

Kia Amanda: Mau ngajak liburan maksudnya?

Canda Kia membalas chat Ikram.

Ikram Salman: Emangnya mau?

Kia langsung mengernyit. Bingung ditodong begitu. Tadinya dia yang ingin mencandai Ikram, tapi malah dirinya sendiri yang dibuat bingung.

Ikram Salman: Eh tapi kejauhan ah. Saya ganti jadi, Tanah Abang atau Ancol? =D

Kia tertawa membacanya.

Kia Amanda: Nah kalau makan siang ke Tanah Abang atau Ancol malah lebih jauh =)

Ikram Salman: Ya udah kalau gitu ke warung Padang aja ya? Saya lagi pengin makan otak

Kia Amanda: Serem ih. Nanti jangan kepengin makan orok ya, Mas. Susah nyarinya =P

Ikram Salman: Orok ikan masih boleh kan, Ki? Pliiisss ....

Kia tertawa-tawa sendiri sambil geleng-geleng kepala.

Kia Amanda: >.<

Ikram Salman: Hahaha

Ikram Salman: Seperti biasa ya, Ki, jam 12 di lobby =)

Kia Amanda: Oke

Kia lalu mengambil mug merah yang telah tandas isinya itu lantas berjalan menuju pantri dan menyimpan mug bekas kopinya ke wastafel. Ketika akan membuka pintu untuk keluar dari sana, tiba-tiba saja pintunya terbuka lebih dulu. Muncul Pak Abdulah di baliknya, tersenyum mendapati Kia.

“Hai, Kia.”

“Eh Pak Abdulah.” Kia berusaha sopan, meskipun ia tahu bahwa jika Pak Abdulah sudah mengajaknya ngobrol pasti basa-basinya lama.

“Lho, Kia mau ke mana? Nggak makan siang?” tanya Pak Abdulah.

“Bapak mau makan siang ya, Pak?”

“Tadinya mau nemenin Kia makan siang di sini.”

“Kok tahu saya lagi di pantri, Pak?” tanya Kia ngeri.

“Saya kan lihatin Kia tadi masuk sini. Saya pikir pasti sudah mau makan siang. Makanya saya samperin.”

“Lihatin saya banget?”

“Iyalah!”

Stalker nih orang!

“Hayu atuh kita makan. Saya sudah beli nih.” Pak Abdulah mengacungkan plastik berisi nasi kotak.

Kia mengernyit. Dilirikkannya matanya pada plastik bening di tangan Pak Abdulah.

“Cuma satu, Pak?” Usahanya untuk membuat Pak Abdulah mengurungkan niatnya.

Pak Abdulah menggaruk-garuk kepalanya malu. “Iya.”

Kurang niat nih pedekate-nya.

“Tapi porsinya banyak kok. Jadi kita bisa makan satu kotak berdua.” Pak Abdulah menyeringai, membuat Kia merinding.

Kalau ini niatnya kebangetan!

“Makasih, Pak. Tapi takutnya nanti Bapak nggak kenyang kalau makanannya dibagi sama saya.”

Kia berhasil keluar dari pantri, tetapi masih tertahan oleh obrolan Pak Abdulah di ambang pintu.

“Nggak apa-apa. Saya ikhlas. Yuk!”

Tanpa terduga ada Ikram lewat sehabis dari toilet di samping pantri. Melihat Kia di sana, Ikram pun berhenti sebentar untuk menyapa. Sekonyong-konyong Pak Abdulah melotot padanya. Ikram hanya bisa menelan ludahnya.

Kia yang menyadari celah tersebut, langsung merangkul lengan Ikram. Baik Ikram maupun Pak Abdulah keduanya terkejut melihat hal itu.

“Maaf ya, Pak. Saya sudah janjian sama Mas Ikram dari seminggu yang lalu.” Kia melemparkan cengiran lebar pada Pak Abdulah. Alasannya sedikit ngaco. Sementara itu si bujang lapuk malah manyun.

“Kami duluan ya, Pak,” pamit Ikram sopan kemudian mereka berdua segera melesat meninggalkan Pak Abdulah yang sampai sekarang masih melemparkan tatapan benci pada Ikram.

“Pedekate-nya nyeremin,” gumam Kia lebih kepada dirinya sendiri, namun Ikram mendengarnya dan langsung tersadar pada tangannya yang masih dirangkul Kia. Kia pun dengan refleks melirik pada tangan mereka. Bagai tersengat listrik, Kia langsung melepaskan rangkulannya, pun Ikram yang sedikit menjauh. Seketika mereka berubah canggung.

Ingin rasanya Kia mengucapkan terima kasih atas bantuannya untuk menghindar dari Pak Abdulah barusan. Namun, ia ragu dan malu.

“Hmm ... mau langsung ke bawah?” tanya Ikram canggung.

Kia menoleh pada Ikram dengan alis terangkat, baru teringat bahwa mereka berniat makan siang bersama. “Oh? Mas tunggu di lift aja.”

“Oke.”

Mereka berdua berpisah untuk pergi ke meja masing-masing mengambil beberapa barang yang diperlukan seperti dompet dan ponsel. Tak berselang lama keduanya berkumpul di tempat yang telah dijanjikan tadi.

“Yang tadi itu ....” Ikram berusaha tidak kepo ketika akan membahas kejadian di pantri tadi.

“Makasih ya, Mas,” potong Kia tulus.

Ikram terkejut.

“Tapi, kamu nggak diapa-apain kan tadi?” tanya Ikram yang kini khawatir.

Kia tertawa kecil. “Nggak kok. Pak Abdulah baik. Cuma tadi ngeselin aja karena maksa makan siang bareng.”

Ikram mengangguk. Lift berbunyi menandakan mereka telah sampai di lobi. Keduanya pun keluar. Embusan dingin AC langsung berganti dengan hawa panas ketika kaki mereka menapak di aspal.

“Agak risi aja sih tadi. Mas Ikram ngerti mungkin, perempuan seperti Kia lebih berpotensi menimbulkan gunjingan di lingkungan sekitar jika terlihat melakukan hal-hal yang tabu.”

Kening Ikram mengernyit tak suka mendengar kata-kata “perempuan seperti Kia”.

“Bahkan ketika kamu lagi sama saya?” tanya Ikram.

“Hmm ... beda, Mas. Orang-orang biasanya lebih tertarik menggunjingkan hal ganjil dengan hal ganjil lainnya.”

“Misalnya?”

“Ya, Kia ‘bekas istri orang’ kemudian Pak Abdulah bujang lapuk,” ucap Kia mengangkat bahunya. “Orang-orang pasti lebih tertarik menyimpulkan sesuatu.”

“Jadi kamu takut digosipin?”

Kia tertawa. “Nggak. Cuma status yang Kia sandang sekarang ini konotasinya selalu negatif. Coba Mas bandingkan konotasi janda dengan duda. Janda itu maknanya lebih banyak ke negatif. Apa pelengkap kata yang cocok untuk bersanding dengan kata ‘Janda’? Paling juga janda kembang."

Tanpa diduga Ikram malah tertawa. Entah kenapa ia langsung teringat film-film horor Indonesia zaman dulu yang biasanya dibintangi oleh Suzana.

Lihat selengkapnya