After Broken

Diana Mahmudah
Chapter #8

Chapter 8 The Ugly Truth

Ikram membantu Kia memindahkan makanan-makanan yang telah selesai dibuat Kia dari dapur ke meja makan. Karena meja makannya pun bersebelahan dengan dapur jadi Ikram mengerjakannya dengan cepat. Sementara Kia masih menyiapkan piring, gelas, dan yang lainnya.

“Mas Ikram duduk manis aja sana,” suruh Kia, tak enak melihat Ikram ikutan sibuk.

Ikram tertawa. “Biarin aja, sih, Ki. Orang mau bantuin juga.”

Setelah selesai menyiapkan semuanya, keduanya lalu duduk berhadapan.

“Harumnya enak nih. Untung tadi saya nggak makan lagi setelah makan siang. Jadi bisa habisin masakan kamu nanti.” Ikram menghidu aroma masakan Kia dengan penuh ekspresi nikmat. Kia tertawa.

Di atas meja ada Garlic Bread yang Kia sajikan sebagai appetizer. Lalu untuk main course Kia lebih memilih makanan berat dengan nasi dan lauk yang tidak terlalu banyak, yaitu Tofu Balacan yang ditambahkan taoge dan Chicken Teriyaki. Untuk dessert, karena Kia sudah terlalu sibuk menyiapkan main course ia hanya membeli Haagen-Dazs Macadamia Nut saja.

Ikram memerhatikan dengan wajah senang yang tak bisa ia sembunyikan ketika Kia mulai menyiapkan makanan untuk dirinya.

“Makasih ya, Mas, sudah mau makan malam bareng Kia.”

“Saya dong yang makasih, kamu sudah rela repot-repot bikinin saya makan malam.”

Kia tersenyum. “Ayo berdoa dulu.”

Ikram terkejut mendengarnya. Karena Kia bilang itu seperti kepada anak kecil. Ikram jadi salah tingkah. “Hmm ... Allahumma barik—"

Tak disangka Kia tertawa geli. Ikram langsung terdiam menatap Kia heran.

“Maksudnya, berdoa dalam hati saja sih, Mas.”

“Oh. Kirain nyuruh saya mimpin doa makan. Hehehe.” Mimpin kamu salat juga saya mau, Kia!

“Sekitar dua minggu lagi bakalan ada outing ke Yogyakarta,” ujar Kia di tengah kunyahannya.

“Sudah tahu kok. Kamu ikut?”

“Semua karyawan wajib ikut, Mas. Tapi outing-nya ini lebih kayak wisata gitu aja, sih. Jalan-jalan dipandu tour guide, belanja, foto-foto. Yang Kia lihat di rundown acara sih begitu."

“Nggak pakai acara games gitu, Ki? Biasanya sambil kayak outbound gitu, diabur di lapangan terbuka terus dikasih soal yang harus dipecahkan bareng kelompok.”

“Kayaknya nggak deh. Lebih kayak employee gathering kali. Lumayan jadi kayak liburan.”

Ikram mengangguk-anggukan kepalanya. “Kalau kamu lebih suka liburan di dalam atau luar negeri?”

“Hmm ... jarang liburan,” jawab Kia lalu tertawa.

Ikram jadi ikutan tertawa. “Saking sibuk kerja kayaknya.”

“Dulu sering. Tapi sekarang kayak udah males aja gitu. Udah nggak tertarik. Pasti sama aja sih. Sight seeing terus belanja oleh-oleh. Udah males aja,” papar Kia mengangkat bahunya.

“Kok gitu? Pariwisata di Indonesia sudah banyak kemajuan kan. Memangnya nggak mau snorkeling di Raja Ampat? Lihat sunrise di Bromo? Atau kulineran di Medan?”

“Bingung juga sih mau liburan sama siapa. Kakak-kakak Kia kan pasti sibuk. Kalau ngajakin Ayah sama Bunda, kasihan udah pada berumur,” Kia beralasan.

“Tapi kan bisa bikin itinerary yang ramah orang tua. Eh tapi, omong-omong soal kakak, ayah sama bunda, kamu tuh berapa bersaudara sih?” tanya Ikram.

“Lima bersaudara dan Kia anak bungsu. Mas Kafka, Mas Krisna, Kak Nina, dan Kak Tara," jawab Kia menyebutkan kakak-kakaknya, menghitungnya dengan satu tangan.

Wow. Keluarga besar. Apalagi kalau kakak-kakak kamu udah pada nikah.”

“Udah nikah semua, Mas. Mas Kafka anaknya udah dua, udah gede-gede juga. Terus Mas Krisna juga anaknya dua, yang satu udah sekolah SD dan yang kecil masih umur tiga tahunan. Kak Nina—namanya Karenina—anaknya baru satu, kelas dua SD. Yang terakhir Kak Tara, lagi hamil gede, bentar lagi berojol anak pertama.”

“Umur kalian terpaut jauh kayaknya.”

Kia membenarkan. “Perbedaan sama Kak Tara aja tujuh tahun. Kalau Mas Ikram gimana? Berapa bersaudara?”

“Saya tiga bersaudara dan semuanya laki-laki. Saya juga anak bungsu.”

“Duh, semoga ibunya Mas nggak stres deh.”

“Hahaha. Dulu keluarga saya sempat susah, Ki. Ayah cuma karyawan kantoran biasa yang gajinya nggak gede. Terus mama saya usaha buka warung kecil-kecilan gitu buat nambah-nambah.”

“Oh ya?”

“Waktu sekolah dulu saya sering bantuin Mama dengan bawa beberapa jajanan di warung untuk saya jualin di sekolah. Itu tiap hari jajanannya habis, Ki. Omsetnya lumayan. Hahaha.”

Wow. Tipe laki-laki pekerja keras ya,” canda Kia dan mereka tertawa.

“Makanya setelah lulus kuliah sarjana saya udah kepengin langsung kerja aja biar bisa meringankan beban orang tua. Karena waktu itu juga kakak-kakak saya langsung bekerja setelah selesai kuliah dan ikut membantu ekonomi keluarga. Saya jadi ingin ikut berkontribusi. Dari situ kondisi ekonomi keluarga saya membaik.”

Kia tersenyum, serasa mendengarkan cerita motivasi. Dia jadi terharu. Jauh berbeda dengan kehidupannya yang serba ada. Dari kecil bahkan Kia selalu dimanja oleh keluarganya. Minta ini-itu selalu langsung dikasih. Kalau Ikram kecil ingin beli sesuatu mungkin harus bekerja membantu ibunya dulu baru bisa membeli barang tersebut. Tak heran melihat Ikram tampak mengemong dan dewasa.

“Sebenarnya niat saya ingin sekali lanjut kuliah saat itu. Tapi lebih tertarik kerja. Dasar sudah niat sih, tahun ketiga kerja, ada beasiswa untuk lanjut S2 dari kantor. Ya langsung saya ambil.” Ikram terkekeh

“Keren deh. Kia malah males kalau harus lanjut kuliah.”

Ikram tersenyum. Tidak pernah ia menceritakan kisah hidupnya pada orang lain. Ia tidak pernah mau. Namun, entah kenapa ia bisa menceritakan semuanya di depan Kia dengan lancar.

“Dari tadi kamu bilangnya males-males terus, sih? Liburan males. Kuliah males. Tapi kerja mau.”

Kia tertawa. “Ya gimana. Kia udah nggak mengharapkan apa-apa. Udah bosan berekspektasi. Inginnya menjalani hidup ini seperti air mengalir aja yang tahu-tahu sudah bermuara di lautan.”

Duh, kok Ikram miris mendengarnya?

Tak sengaja Kia melihat Ikram menghabiskan taoge di menu makanan mereka. Habis tak bersisa. Kia jadi teringat sesuatu.

“Hebat nih Mas Ikram, taogenya habis. Nggak kayak si Nando kalau disuruh makan taoge susahnya minta ampun.”

Lihat selengkapnya