Ikram baru sadar bahwa Kia mungkin menghindarinya ketika tak da satu pun chat WA-nya yang dibalas. Lalu saat ia menelepon ke nomor extension meja Kia, perempuan itu selalu membuat percakapan mereka menjadi sangat singkat.
“Udah beberapa hari saya chat kamu tapi nggak dibalas. Kamu sehat kan, Ki?”
“Sehat kok, Mas. Kirain ada apa,” jawab Kia biasa-biasa saja, tanpa harus menjelaskan alasan kenapa chat Ikram tidak ada yang ia balas.
“Serius, Ki. Saya khawatir sama kamu.”
Terdengar Kia menghela napasnya. “Mas nggak usah berlebihan. Kia nggak apa-apa.”
“Siang ini makan siang bareng?”
“Maaf, Mas, nggak bisa.”
“Kalau gitu, pulangnya saya antar ya?”
“Nggak usah. Kebetulan Kia lagi ada perlu dulu ke Superindo.”
“Ya udah, sekalian saya antar ke Superindo.”
“Kia pergi bareng Dinda kok.”
“Ki—”
“Udahan dulu ya, Mas. Kia banyak kerjaan.” Kia memotong omongan Ikram dengan cepat.
Klik.
Tanpa menunggu balasan Ikram, Kia menutup teleponnya. Akhir-akhir ini Kia selalu menutup telepon lebih dulu. Ikram jadi bingung. Kenapa Kia menghindarinya? Maunya apa?
Di suatu pagi Ikram menemukan sweater putih miliknya di atas mejanya. Ia ingat sweater putih itu pernah ia pinjamkan pada Kia ketika mengantar perempuan itu pulang malam-malam karena sedang sakit. Butuh penjelasan, Ikram pun mengirim chat WA pada Kia yang tumben-tumbenan Kia balas dengan cepat.
Ikram Salman: Kok kamu nggak ngasihin sweater saya langsung?
Kia Amanda: Maaf
Kia Amanda: Kia buru-buru
Kia Amanda: Makasih ya sweater nya
Ikram Salman: Sama-sama
Kia Amanda: Jadinya Kia nggak punya utang lagi sama Mas Ikram
Ikram Salman: Maksud kamu?
Dan chat terakhir itu pun tidak memiliki tanda-tanda akan dibalas oleh Kia setelah berjam-jam tandanya hanya “read” saja.
Belum sempat Ikram mengirim lagi chat kepada Kia, Dion berteriak membuat semua orang di area IT menoleh padanya.
“Data Monev[1] berpotensi bocor ke luar nih.”
“Kenapa, Yon?” tanya Nadine.
“Divisi P&E[2] nggak bilang-bilang kalau pakai aplikasi baru untuk input monev,” jawab Dion setengah kesal.
“Aplikasi dari siapa?” Kini Ikram yang bertanya.
“Katanya dari konsultan. Aplikasinya sih gratis dan sudah sesuai standar yang diminta Kementerian Keuangan. Tapi kan itu bisa diakses di mana aja dan oleh siapa aja. Berisiko tinggi untuk bocor ke orang yang nggak bertanggung jawab," tutur Dion.
“Kita bikin VPN aja di aplikasinya, Yon. Biar masih bisa ke-protect,” usul Ikram.
“Aku curiga nih, bentar lagi Pak Danil bakalan koar-koar panik karena masalah ini,” ujar Rachmat.
“Bener banget! Gue membayangkan dia teriak kayak orang kebakaran jenggot sambil lari-lari ke kita, ‘Cepat selamatkan data perusahaan! Jangan sampai bochooor!’” canda Nadine dengan kocak.
“Bochor ... bochor,” timpal Dion menirukan iklan sebuah cat tembok yang diperankan pasangan bule.
“Tiarap!” tambah Nadine.
“Semprul kabeh!” teriak Rachmat tertawa terpingkal-pingkal.
“Makanya, Nad, pake yang wings kalau nggak mau bochor,” ledek Dion.
“Idih, tahu-tahuan aja lo masalah begituan. Gue curiga kalau malam nama lo ganti jadi Dian. Hahaha,” balas Nadine tak mau kalah.
“Asal harga cucok, cyiiin,” balas Dion semakin menjadi dengan gerakan tangan melambai.
“Tapi siapa juga yang mau bayar coba? Kamu jadi laki-laki saja menyeramkan apa lagi jadi perempuan,” celetuk Rachmat.
Nadine tergelak. “Mampus lo, Yon!” teriak Nadine bahagia.
“Eh ... jangan salah! Ada, tahu!” Dion membela diri. “Biasanya pria-pria kesepian yang haus belaian.”
“Haus belaian? Mending sama cewek aslilah daripada sama cewek jadi-jadian!” protes Nadine.
“Ya ... yang udah bosen sama ceweklah, Nad,” timpal Dion lagi sambil berpikir kemudian nyengir.
Tawa Nadine menyembur. “Najis! Ini kenapa jadi bahas lo, bencong?” teriak Nadine ketika tersadar bahwa obrolan mereka sudah melenceng jauh dari pokok permasalahan.
“Hahaha. Habis, lo yang duluan sih.”
“Eh, mazque kok diem aja?” tanya Rachmat pada Ikram.
Biasanya jika teman-temannya sedang saling melempar ledekan, semua orang ikut tertawa tak terkecuali Ikram. Kali ini Ikram hanya memelototi layar laptop tanpa ekspresi sementara ketiga temannya tertawa terbahak-bahak.
Nadine dan Dion beralih memerhatikan Ikram. Lalu mereka bertiga saling berpandangan heran. Mata mereka seolah bicara “Kenapa nih?”
Tiba-tiba saja Ikram menoleh pada semua temannya.
“Ada e-mail dari Pak Danil. Kayaknya bentar lagi nyuruh meeting sama Divisi P&E." Lalu kembali menekuni entah apa di laptopnya.
Rachmat, Nadine, dan Dion kembali saling berpandangan. Kali ini dengan kening berkerut. Kemudian ketiganya mengangkat bahu dan menggelengkan kepala.
***
“Bu Ifa, pinjam Kia dulu ya sebentaaar,” teriak Febby dengan suara yang dibuat manja.
Kia hanya terkekeh mendengarnya. Jam menunjukkan pukul tiga sore. Biasanya beberapa karyawan akan izin untuk salat Ashar sambil ngopi-ngopi dulu di warung kopi. Beberapa orang bilang untuk ngilangin kantuk. Kali ini sebenarnya Kia yang butuh ngobrol dengan Febby, tapi karena dokter itu sibuk sekali seharian tadi, akhirnya baru bisa free sore ini. Makanya Kia meminta tolong Febby untuk meminta izin pada Bu Ifa.