After Broken

Diana Mahmudah
Chapter #10

Chapter 10 Trying to Get Closer to You

Satu lembar boarding pass menuju Yogyakarta berhasil dikantongi Kia. Ketika sampai di Bandara Soekarno Hatta terminal 3, salah satu panitia outing langsung memanggilnya dan memberikan boarding pass atas namanya. Kia dan teman-teman sekantor lainnya masih menunggu teman yang lain di area check in. Meskipun sempat antusias akan outing keluar kota karena tidak melulu berkutat dengan pekerjaan, namun Kia kerap merasa risi ketika matanya tak bisa berhenti menangkap bayangan Ikram. 

Entah ada apa dengan alam semesta, semakin kuat usahanya untuk menghindari Ikram, malah semakin sering lelaki itu muncul tertangkap sudut matanya. Jika bukan kedua matanya yang menangkap sosok itu, kedua telinganya yang melakukan hal tersebut. Suara lelaki itu seolah ada di mana-mana.

Tanpa sadar Dinda menarik lengannya untuk memintanya bergabung dengan teman-teman satu divisinya yang lain.

Wefie kita, Ki!” ajak Dinda girang.

Kia ikut tersenyum girang kemudian menghampiri teman-temannya yang sudah bergerombol.

“Satu, dua, ti—” Cekrek!

“Lagi, lagi!” teriak yang lainnya.

Beberapa kali mereka mengambil gambar, tertawa cekikikan saat melihat hasilnya di ponsel. Cindy yang terlihat paling fashionable di antara yang lain mendapat banyak pujian. Ketika tersipu mendengar pujian teman-temannya, Cindy menoleh ke depan dan mendapati Ikram sedang memerhatikannya.

“Eh, Mas Ikram lihatin gue. Duh jadi grogi,” bisik Cindy tapi masih dapat terdengar oleh yang lain, dengan tangan yang tak mau diam merapikan rambutnya.

Tak terkecuali Kia yang langsung mencari sosok Ikram. Untuk apa? Memastikan perkataan Cindy benar atau tidak? Tapi tetap tak Kia hiraukan pertanyaan dalam benaknya itu. Beberapa detik kemudian Kia pun langsung mengutuk dirinya sendiri tatkala tatapannya bertabrakan dengan tatapan Ikram. Lama hal itu terjadi dan ketika Kia berpikir untuk membuang pandangannya, Ikram masih tetap menatapnya.

“Duh, Mas Ikram tuh, bikin gue deg-degan. Lihat deh dia pake baju flanel kotak-kotak gitu, lucu banget,” ucap Cindy pada teman-temannya, termasuk Kia yang masih ada dalam gerombolan divisinya.

“Lucu apa ganteng? Menurut gue sih ganteng tapi cute gitu. Gimana sih deskripsiinnya? Saking gemesnya jadi susah,” sahut Ina, teman Kia dan Cindy di Divisi Finance.

“Bukan dia doang lagi. Kayaknya semua orang di Divisi IT keren-keren deh. Nadine meskipun tomboy begitu tapi dia manis, berasa betah aja lihatinnya. Gue aja yang cewek mikir begitu, apalagi cowok ya? Terus lihat aja si Rachmat, ganteng abis,” timpal Dara.

“Tapi Rachmat udah ada yang nge-tag. Jangan diganggu. Entar lo digantung,” balas Ina.

Cindy dan Dara menghela napas pasrah. “Males deh kalo udah gitu. Lama-lama stok cowok ganteng dan single habis,” ucap Cindy penuh penyesalan.

“Yang single boleh habis, tapi kalau buat cuci mata doang, Mas Dion nggak kalah oke. Meskipun rada om-om, tapi lumayanlah. Masih ada sari-sari papah muda gitu. Ya, nggak?” ucap Dara diiringi gelak teman-temannya.

“Tapi gue tetap setia sama Mas Ikram. Pokoknya dia tuh the best-lah gantengnya. Gue bakalan susah berpaling,” aku Cindy terang-terangan.

Mendengar hal itu, Kia tak bisa bohong bahwa ia merasa terganggu. Ada sedikit perasaan tak rela mendengar hal itu diucapkan perempuan lain.

Ketika akan berpindah tempat ke samping papan penunjuk arahKia melihat Ikram berjalan menghampirinya. Oh, bukan. Mungkin menghampiri Cindy yang sedari tadi ribut mengoceh bahwa lelaki itu memerhatikannya. Ikram berjalan perlahan sambil menenteng botol air mineral.

Serasa mendengar genderang ditabuh di depan telinganya, Kia hanya bisa mematung ketika Ikram menyapa dirinya. “Hai, Kia.”

***

Ikram menutupi kertas yang tengah dilihat Lidya, berharap Lidya mau mengalihkan perhatian padanya.

“Ayo dong, Lid. Gue cuma minta ini doang sama lo,” rengek Ikram.

Lidya mendecak kesal lalu melotot pada Ikram. “Aduh! Kan udah gue bilang ini tuh udah nggak bisa. List-nya udah disebar pula sama semua orang.”

“Ya lo tinggal ngelobi satu orang dari kelompoknya dia supaya bisa tukar sama gue. Biasanya juga cingcai,” pinta Ikram.

“Ya cingcai sih. Masalahnya lo mintanya telat banget! Gue nggak bisa ngubah kelompok mendadak. Mau lihat gue dikeroyok sama orang satu kantor?”

Ikram mendengus sebal. Padahal ia hanya minta dipindahkan menjadi satu kelompok dengan Kia yang artinya ia bisa berada dalam satu bus dengan Kia selama perjalanan mereka di Yogya nanti. Dengan begitu ia bisa mendekati dan mengobrol dengan Kia lagi sepanjang perjalanan di Yogya nanti. Tetapi, Lidya yang menjadi salah seorang panitia acara outing ini, sangat sulit untuk dimintai pertolongan.

Kertas berisi rundown acara tiga hari ke depan dan nama-nama orang per kelompok ia lihat kembali. Seketika ia menyadari sesuatu. Ia seakan memiliki celah untuk mendesak Lidya.

“Gue yakin pasti lo yang ubah nama di kelompok ini,” tuduh Ikram menunjuk salah satu nama di sebuah kelompok. “Lo kok bisa satu kelompok sama Rachmat?”

Lidya menghela napas perlahan, memejamkan matanya sejenak. “Demi dewa ganteng yang entah siapa namanya, gue bikin list nama-nama kelompok itu jauh-jauh hari. Seharusnya kalau lo mau minta dijadiin satu kelompok sama Kia, lo minta dari jauh-jauh hari dong.”

“Ssst. Bisa nggak sih suara lo nggak kayak toa masjid begitu?” ucap Ikram semakin kesal.

“Abisnya lo ngeyel banget dibilangin,” ujar Lidya dengan suara memelan. Lidya lalu menarik Ikram ke pinggir, menjauhi kerumunan teman-temannya yang lain. “Gue ngerti, Mas, maksud lo gimana. Gue juga merasakan hal yang sama kok. Tapi jangan kerjaan gue lo acak-acak juga. Seharusnya kalau lo mau minta satu kelompok sama Kia, maksimal lo mintanya tiga hari yang lalu, sebelum gue nyebar rundown dan list kelompok sama yang lain. Kan jadi aneh kalau misalnya lo tiba-tiba tukeran sama satu orang di kelompok dia.”

Ikram menggaruk kepalanya. “Gue baru kepikiran. Tapi itu beneran lo sengaja bikin Rachmat satu kelompok sama lo?"

Dengan tersipu malu karena merasa terciduk, Lidya mengangguk. “Iya. Hehehe.”

Ikram mendengus sebal sekali lagi. “Curang, lo!”

“Namanya juga usaha, Mas.”

Dengan langkah lesu, Ikram kembali berjalan ke tengah kerumunan teman-temannya bersama Lidya.

“Lid!” panggil Ikram membuat Lidya menoleh. “Gue isiin saldo Go Pay lo deh. Atau lo mau minum apa? Air mineral? Teh botol? Fruity?” tawar Ikram di depan vending machine yang mereka lewati. Tanpa terduga teman-temannya yang lain mendengar hal itu dan keadaan jadi semakin tak terkendali.

“Wah, kok Lidya doang yang ditawarin?” teriak Dion tak terima.

“Saldo Go Pay gue juga udah abis nih, Mas. Lo nggak nawarin ngisiin punya gue juga?" teriak Airin, anak QC.

“Ya Allah, Kram, gue juga haus. Tega banget kalau teman satu divisi lo ini nggak lo tawarin,” sambar Nadine.

“Woooh. Gue juga haus, Kram,” teriak yang lain dan suasana pun menjadi rusuh.

“Aku mau Teh Botol dingin dong, Mazque!” pinta Rachmat seenaknya.

“Gue juga!”

“Gue air mineral aja!”

Teriak yang lain membuat Ikram tersudut, sementara itu di pojok sana Lidya cekikikan dengan puas. Sial, batinnya.

“Kenapa teman-teman gue mendadak jadi pengemis semua ya?” sindir Ikram kesal.

“Ah, perasaan Mas Ikram aja,” balas yang lain.

“Resek!” umpat Ikram.

Ikram semakin tersudut dan mau tak mau akhirnya ia keluarkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan untuk membeli minuman-minuman itu di vending machine supaya keadaan tidak menjadi semakin ribut. Padahal tadi itu kan cuma upaya Ikram menyogok Lidya agar perempuan itu bisa meloloskan permintaannya. Tapi malah begini. Kia tetap tidak satu kelompok dengannya, yang ada ia malah tekor.

Dengan berbotol-botol minuman di tangannya, ia memanggil temannya-temannya untuk mendekat. Ikram lalu membagikan botol-botol minuman itu seakan-seakan ia membagikan uang santunan ke anak-anak yatim. Atau seperti ia membagikan kupon pengambilan daging saat qurban di depan masjid di dekat rumahnya.

“Nih! Belajar yang rajin ya, kalian!”

“Si kampret! Dikira kita anak panti asuhan,” balas Dion.

“Hahaha. Thank you, Mas Ikram,” ucap Airin.

“Asik-asik jos!” Nadine menyambar botol dari tangan Ikram.

Meskipun agak kesal, namun tak disangka perasaan Ikram jadi senang. Memberi selalu membuat Ikram bahagia walau dia pura-pura memaki tak rela. Tetapi di dalam hati sebenarnya ia senang bisa berbagi dan membuat teman-temannya tersenyum.

Tak sengaja ia melihat kerumunan anak-anak Divisi Finance tengah berfoto beberapa meter di depannya. Cewek-cewek itu tampak geli sendiri ketika setiap kali berfoto dan melihat hasilnya di ponsel salah satu teman mereka. Lalu mereka mengulanginya hingga beberapa kali. Tanpa sadar Ikram tersenyum tatkala melihat Kia. Perempuan itu ikut tertawa geli bersama teman-temannya, berpose lucu-lucu juga. Ia kemudian berinisiatif untuk memberikan Kia minum juga. Masa teman-temannya yang lain ia belikan tapi Kia tidak, batinnya.

Ia pun memasukkan selembar uang sepuluh ribu dan membeli dua botol air mineral. Satu untuknya dan satu untuk Kia. Semoga berhasil, doanya dalam hati. Lalu ia hampiri Kia di tengah kerumunan teman-teman satu divisinya.

“Hai, Kia,” sapanya sopan yang hanya dibalas dengan senyuman dan anggukan dari Kia.

“Hai,” balas Kia singkat.

Ampun deh. Kia masih nggak mau ngomong sama gue.

“Minum, Ki? Buat di perjalanan nanti,” tawarnya dengan menyodorkan botol air mineral pada Kia.

Tetapi langsung Kia tolak tanpa basa-basi. “Nggak usah, Mas. Kia punya sendiri kok di tas.”

“Hai, Mas Iam. Aku juga haus lho,” ucap Cindy manja memotong pembicaraannya dengan Kia. Terpaksa ia ladeni Cindy dan tanpa sengaja telah mengabaikan Kia.

“Eh, iya. Ini buat kamu.”

Lihat selengkapnya