Ballroom hotel tempat diadakannya acara pembukaan outing mulai ramai dipenuhi seluruh karyawan yang mengikuti acara ini. Setelah acara dibuka oleh perwakilan dari pihak manajemen, MC dari Event Organizer (EO) mengambil alih pengacaraan dan memulai sesi ice breaking. Orang-orang duduk berdasarkan kelompoknya masing-masing. Ada lima kelompok dengan per kelompok berisi 10 hingga 11 orang. Dan Ikram sudah bersiap untuk memenangkan setiap games receh yang akan dimainkan. Ia melirik pada Kia yang duduk dengan santai dan terkadang ikut berceloteh dan tertawa bersama teman-teman satu kelompoknya. Ia menghela napas berat.
Iya, ini lumayan berat baginya. Sebenarnya ketika ia menantang untuk taruhan dengan Kia, dia hanya gambling. Dia juga tidak tahu games seperti apa saja yang akan mereka mainkan. Ia juga bukannya jenius banget sampai-sampai yakin akan memenangkan games ini. Namun, hanya ide itu yang terpikirkan olehnya ketika menyadari bahwa Kia tidak serius menanggapi ajakannya untuk bicara tadi. Kia mungkin menganggapnya hanya sebagai pengganggu yang selalu mencari celah agar bisa mengobrol lama dengannya. Mungkin lebih mirip lalat; terus menerus nyamperin, tapi orang yang disamperin merasa risi dan kerap mencoba mengusirnya. Namun, permintaan Dokter Febby beberapa hari yang lalu selalu terngiang di telinganya. Ia masih ingin berusaha untuk setidaknya dekat dengan perempuan itu.
Acara dimulai dengan games kecil-kecilan semacam menjawab sapaan “Hai” dengan “Halo” dan sebaliknya. Kemudian mengurutkan umur dari yang paling muda ke yang paling tua dalam sebuah kelompok. Skor sementara Kia dan Ikram masih belum signifikan karena ini melibatkan orang-orang di dalam kelompok. Mengingat taruhan ini hanya untuk dirinya dan Kia, maka Ikram meminta Lidya secara pribadi untuk menghitung skor yang didapat oleh masing-masing mereka. Tentu saja tanpa sepengetahuan Kia. Selain itu supaya uang lima ratus ribu yang dikeluarkan Ikram tidak mubazir amat. Jadinya ia merasa hal ini sama sekali tidak merepotkan Lidya. Orang si Lidya dia bayar kok.
Kemudian MC melemparkan tantangan dengan meminta satu orang perwakilan dari setiap kelompok untuk maju. Dengan sigap Ikram maju untuk mewakili kelompok dan langsung mendapat tepuk tangan heboh dari anggota kelompoknya. Setelah itu diikuti oleh perwakilan dari kelompok lain. Sementara itu di kelompok Kia bukan perempuan itu yang maju. Ini bisa jadi kesempatan, pikirnya. Kalau dia menang di games yang ini sementara Kia tidak ikut, itu berarti ia bisa unggul satu skor di atas Kia. Ikram pun menyeringai penuh arti pada Kia, membuat perempuan itu merasa was-was karena Ikram benar-benar memegang omongannya serius.
“Permainan kita kali ini adalah Bapak dan Ibu yang di depan ini harus mengulangi setiap kata yang saya ucapkan. Gampang, kan?” ucap si MC.
Semua peserta yang di depan menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
“Ingat ya harus mengulangi yang saya ucapkan. Kita mulai sekarang.”
Seluruh sudut ruangan bergemuruh dengan suara tepuk tangan dan sorak sorai peserta outing.
Si MC berdeham sebelum memulai permainan. “Karung,” ucapnya.
“Karung,” ulang peserta di depan termasuk Ikram.
“Kuring, kurang, karung,” lanjut si MC.
“Kuring, kurang, karung,” balas peserta, masih lancar.
“Karung, karung, kurang, kuring,” si MC meneruskan dengan kata yang lebih banyak.
Pada kata-kata yang ini, beberapa orang mulai ngaco. Tapi, tidak dengan Ikram.
Permainan ini hanya mengandalkan konsentrasi saja, pikir Ikram, jadi seharusnya tidak sulit dan ia bisa memenangkan ini.
Selagi ruangan ribut karena menertawakan peserta yang salah ucap, si MC melemparkan kata-katanya lagi.
“Karung, kuring, kurang, karung!” teriak si MC.
“Karung, kuring, kurang, karung!” ulang semua peserta di depan.
“Ada berapa jumlah karung?” tanya si MC tiba-tiba membuat peserta di depan gelagapan. Sebagian dari mereka berteriak meminta kata-kata tadi diulangi untuk menghitung jumlah karung. Namun, tiba-tiba Ikram nyeletuk sendirian dengan percaya diri.
“Ada berapa jumlah karung?” teriak Ikram.
Si MC langsung bertepuk tangan dan menunjuk Ikram sebagai pemenang.
“Hebat banget, nih, Masnya. Masih konsentrasi berarti. Di awal permainan saya bilang aturannya harus mengulangi yang saya ucapkan. Bukan menjawab pertanyaan saya.” jelas si MC.
Semua orang tertawa dan berteriak heboh. Ikram tersenyum lebar pada Kia. Sementara itu di sudut ruangan Kia melotot pada Ikram dengan tangan bersedekap.
Jadi taruhan ini beneran? batin Kia. Dirinya masih tidak habis pikir. Kalau begini terus itu artinya Kia akan kalah dan ia harus bersedia Ikram mengajaknya bicara dengan topik pembicaraan yang sama sekali tidak ia tahu. Ia pun mulai panik. Bukan karena takut kalah, tetapi karena takut Ikram meminta hal-hal yang tak bisa Kia sanggupi.
Setelah selesai permainan karung-karungan tadi, seluruh peserta kembali senyap. Si MC bersiap untuk melemparkan permainan lagi.
“Ini agak sedikit mikir mainnya. Semacam tebak-tebakkan. Jangan terpaku pada jawaban yang benar, tapi fokus pada clue yang saya berikan. Mengerti?”
“Yaaa.” teriak semua peserta.
“Clue-nya ‘Bumi itu Bulat’. Pertanyaannya adalah ‘1+80?’. Ingat ya perhatikan clue-nya. Ada yang sudah tahu jawabannya?”
Beberapa orang mengangkat tangannya hendak menjawab.
“Seratus delapan puluh?”
“Salah!”
“Delapan puluh satu?”
“Salah!”
“Apaan dong?” peserta mulai gaduh.
Sementara itu Ikram masih berpikir keras. Ia benar-benar memikirkan tentang clue yang si MC katakan. Itu artinya ada hubungannya dengan bumi dan bulat. Hampir saja Ikram menyerah karena pertanyaan ini seperti di luar jangkauannya. Namun, ketika ia melihat Kia yang tengah berdiskusi dengan teman-temannya mengucapkan kata “bulat” dan membentuk jari-jarinya menjadi bentuk bulat, seketika itu juga ia mendapat ide. Meski tidak yakin sepenuhnya, tetapi ia beranikan diri untuk menjawab.
Ikram pun mengangkat tangannya dan menjawab pertanyaan setelah dipersilakan si MC. “Tiga?”
Tanpa disangka, si MC bertepuk tangan dan membenarkan jawaban Ikram. Semua orang terheran-heran dengan jawaban itu. Ada yang tidak terima bahkan.
“Lah, tiga dari mana, Bambank?” tanya Dion heran.
“Saya bilang fokus pada clue, bukan pada jawaban yang benar. Clue-nya kan ‘Bumi itu Bulat’. Dari pertanyaan 1+80 tadi yang berbentuk bulat ada 3 buah, kan? Angka satu sudah jelas-jelas bukan bulat. Kemudian angka delapan mempunyai dua bulatan, lalu angka nol juga bulat. Jadi jika ditotal ada tiga buah bentuk bulat dari pertanyaan itu.”
Para peserta tertawa karena merasa terbodohi oleh pertanyaan ngawur juga tapi membenarkan jawaban reasonable si MC.
Ikram tersenyum lebar lagi pada Kia membuat perempuan itu mendengus kesal. Eh? Kesal? Kenapa dirinya harus kesal? batin Kia.
“Bapak, Ibu, lagi ya permainannya?” tanya si MC.
“Lagi!”
“Lanjut!”
“Sikat!”
“Apaan yang disikat?”
“Emang WC disikat?”
“Lho, kok jadi ngaco? Ayo lanjut lagi,” ucap si MC.
“Pertanyaan ini sedikit mikir, nggak apa-apa ya? Bapak Ibu harus ngitung dikit nih.”
Terdengar riuh rendah suara orang-orang mengeluh.
“Seorang ayah umurnya 20 tahun lebih tua dibandingkan anaknya. Dan ayahnya ini 3 kali lebih tua dari anaknya. Pertanyaannya, berapakah umur si ayah?” tanya si MC.
“Mampus! Ini mah pelajaran matematika SD,” celetuk yang lain.
“Lah iya ya? Gimana caranya deh? Lupa lagi.”
“Hahaha. Udah pada tua gini disuruh ngitung!”
Sementara yang lain mengeluh, Kia langsung mengambil selembar tisu dan pulpen dari tasnya. Ia langsung mencoreti tisu itu dengan hitung-hitungan matematika dasar. Beberapa detik kemudian Kia mengangkat tangannya.
“Umur si ayah adalah 30 tahun!” jawab Kia setelah dipersilakan si MC.
“Benar!” teriak si MC senang. “Wah, wah, mbaknya pasti orang keuangan nih. Ngitungnya cepat banget.”
“Emberan!” teriak Dion berisik.
Kali ini Kia yang menyeringai menatap Ikram dari sudut ruangan. Ikram tersentak ketika menyadari Kia bisa saja menggagalkan rencananya.