After Broken

Diana Mahmudah
Chapter #12

Chapter 12 Perjalanan ke "Surga"

Pagi sekali Kia mendatangi Ikram di parkiran hotel. Laki-laki itu sedang bercengkerama dengan seorang bapak-bapak yang sepertinya tengah menginstruksikan sebuah rute pada Ikram. Firasat Kia langsung buruk ketika Ikram menyadari kedatangannya dan langsung nyengir tak jelas.

“Pagi, Ki.” Cengiran pria itu masih lebar, semakin tampak ragu. Kia jadi ikut ragu.

“Gimana?” tanya Kia memastikan.

Ikram malah menggaruk-garuk tengkuknya yang Kia yakini tidak gatal. Bapak-bapak yang ngobrol dengan Ikram tadi kemudian menyerahkan kunci mobil dan menepuk bahu Ikram pelan. Si Bapak pun berlalu dari hadapan mereka. Kia hanya sempat membalas dengan anggukan dan senyuman pada Bapak tadi.

“Ayo! Sebelum terlalu siang,” instruksi Ikram sedikit menarik lengan Kia untuk masuk ke Avanza putih yang Kia yakini itu berhasil Ikram sewa dari bapak-bapak tadi.

“Kamu nyalain google maps ya,” pinta Ikram ketika menyalakan mobil.

“Hah? Kia buta arah, Mas.”

Ikram menoleh cepat. “Serius kamu?”

Dan Kia mengangguk lemah, menggigit bibir bawahnya.

“Ya ... gimana, dong?” Ikram menggaruk-garuk lagi tengkuknya.

“Kalo tanya bapak yang tadi gimana?”

“Puyeng, Ki.”

Kia malah tertawa. “Jadi gimana?”

“Kamu buka aja google maps. Terus suaranya nyalain biar saya juga bisa dengar arahnya. Lagipula pakai google maps itu gampang kok.”

“Gitu ya.” Kia pun membuka aplikasi tersebut dan melakukan hal-hal yang diperintahkan Ikram. Sedikit terkejut karena jarak tempat tujuan mereka sampai 70 km.

“Nanti jarak tempuh yang jauh ini bakalan terbayar setelah kita sampai. Saya janji ini bakalan seru,” ucap Ikram menenangkan Kia.

Avanza putih pun melesat di jalanan Yogyakarta yang masih tampak lengang. Tepat pukul enam pagi mereka meninggalkan hotel dengan detak jantung yang bertalu kencang di balik dada Ikram tanda dirinya terlalu bersemangat tetapi takut. Takut salah. Takut Kia tidak berkenan. Takut akan penolakan yang kemungkinan perempuan itu berikan. Takut akan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan harapannya.

***

Ikram sibuk mengetuk-ketuk layar ponselnya untuk memastikan peta berjalan dengan baik. Tanpa sepengetahuan Ikram, Kia memerhatikan dalam diam. Laki-laki itu selalu tampak tulus melakukan apa pun. Melakukan pekerjaannya, membantu orang-orang di kantor yang bermasalah dengan koneksi internet, bahkan pada saat berbicara dengan dirinya pun laki-laki itu selalu terlihat tulus. Kia tidak bisa untuk tidak tersenyum melihatnya.

Ikram terkejut ketika tanpa sengaja menoleh dan mendapati Kia tengah tersenyum padanya. Ikram membalas senyum itu. Jadi salah tingkah, batin Ikram.

Avanza putih kembali membelah angin menuju wilayah tenggara Yogyakarta, tepatnya di daerah Gunung Kidul. Sawah hijau yang menghampar luas di kanan kiri jalan, langit yang biru terpoles awan putih, penduduk lokal dengan beberapa perkakas kerja mereka di tangan, menjadi pemandangan yang melenakan mata.

“Kia sempat mikir, enak juga kali ya tinggal di daerah pedesaan kayak gini. Tanpa polusi, tanpa hiruk pikuk pekerjaan, tanpa politik,” ujar Kia tiba-tiba. “Tenang sekali.”

“Mungkin kalau untuk sekadar liburan sih oke, Ki. Tapi kalau untuk sehari-hari kayaknya gimana gitu. Saya nggak pernah membayangkan hidup seperti mereka,” ucap Ikram, menunjuk pada penduduk lokal yang berjalan kaki.

“Kalau setelah pensiun?” tanya Kia serius.

“Saya nggak tahu. Tapi kalau tinggal dengan orang-orang yang saya cintai, kayaknya nggak masalah. Di mana pun itu asal bersama orang-orang yang disayang, saya rasa kita bakalan senang-senang aja.”

Kia menangkap poin dari perkataan Ikram. Laki-laki itu benar. Di mana pun berada asalkan bersama orang yang dicintai, itu tak jadi masalah. Masalahnya tidak ada lagi orang seperti itu dalam hidupnya setelah Nando.

Kia membuka kaca di samping kirinya merasakan angin yang menerpa wajahnya. Pikirannya melayang. Dulu ia sangat menggebu menunaikan semua hasratnya. Namun, saat ini ia bahkan baru menyadari bahwa sebenarnya ia tak lagi punya tujuan.

“Di depan ada persimpangan, Mas.”

Lihat selengkapnya