Kia terperangah ketika ojek mereka sampai di tempat tujuan. Suara ombak menghantam karang terdengar riuh. Langit biru yang cerah dengan guratan awan putih membuat rahang Kia tak kuasa menutup. Mereka berdiri di atas batu-batu besar, menghadap lautan luas dengan air yang biru, sebiru langit di atas mereka. Berada di puncak daerah pegunungan, angin yang menerpa tubuh mereka kencang sekali. Rambut panjang Kia berkibar liar.
Ini ... surga, batin Kia. Di sebelahnya Ikram tersenyum senang memerhatikan Kia.
“Mas ... ini ... indah banget,” seru Kia hampir memekik.
“Belum, Ki. Ini baru luarnya. Kita harus masuk.”
Dengan impulsif, Ikram menarik tangan Kia untuk masuk ke wahana Pantai Timang di Gunung Kidul itu. Agak kesusahan karena jalan di sana masih berupa tanah dengan bebatuan tajam. Ikram tetap menggenggam tangan Kia sambil membantunya berjalan.
Ketika masuk mereka langsung menuju loket penjualan karcis dan membeli dua karcis. Di hadapan mereka membentang lautan luas dengan ombak yang ganas, membelah pantai yang mereka pijak dengan bukit karang besar di pulau seberang. Satu-satunya cara untuk menuju ke bukit karang di seberang adalah dengan gondola yang menjadi wahana wisata di tempat tersebut. Tapi tidak ada peralatan canggih seperti di Dunia Fantasi atau Trans Studio. Hanya sebuah gondola kecil yang mampu menampung maksimal dua orang di dalamnya dengan tali temali yang simpulnya terlihat sederhana mengikat kayu-kayu penyusun gondola. Agak-agak ngeri sih. Dengan peralatan seadanya, Kia meragukan keamanannya. Tapi justru itulah daya tarik wisata ini; memacu adrenalin. Bukankah manusia selalu seperti itu? Sudah hidup tenang-tenang, malah mencari situasi menegangkan.
“Kamu berani kan, Ki?” tanya Ikram.
Kia masih merasa takjub dengan pemandangan di depannya. “Maksudnya, kita nyeberang ke pulau di sana pakai itu?” tunjuknya pada gondola kecil yang tengah mengangkut wisatawan lain.
Ikram tertawa. “Iyalah! Kalau nggak, ngapain kita ke sini?”
"Kita? Yang mau kan Mas Ikram,” canda Kia pura-pura tak terima.
Ikram tertawa geli. Gemas juga melihat Kia seperti ini. Wajahnya itu ... hmm ... apa ya ... priceless? batin Ikram. Jarang-jarang dia melihat Kia dengan wajah seekspresif ini. Membuatnya ingin mencubiti pipi Kia.
“Tapi ... itu aman kan?” tanya Kia ragu.
“Kenapa? Paling kalau jatuh ke laut sana,” jawab Ikram santai sambil menunjuk pada lautan pantai selatan dengan ombak yang ganas. Kia langsung membayangkan tubuhnya dihantam ombak kencang bertubi-tubi jika jatuh ke sana.
“Paling? Berasa kucing ya punya sembilan nyawa. Jangan sompral deh.”
Ikram tertawa. “Ya sudah, kita naik gondolanya berdua kalau gitu. Mau?”
Kia memerhatikan beberapa wisatawan lain yang silih berganti menaiki gondola ekstrem itu. Kebanyakan dari mereka naik sendiri-sendiri.
“Emang boleh?” tanya Kia mirip anak kecil yang mengonfirmasi sebuah izin dari orang tuanya.
“Bisa. Gondolanya bisa dinaiki maksimal dua orang. Kalau kamu takut, saya temenin. Ayo!” Ikram mengulurkan tangannya yang disambut tanpa ragu oleh Kia.
Sebenarnya Kia tidak takut, tetapi ada rasa ngeri. Ia hanya terlalu menikmati “bermanja-manja” pada Ikram. Atau bisa jadi dirinya terlalu senang “dimanjakan” oleh orang lain. Setelah sekian lama berusaha untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri tanpa bantuan orang lain, inilah kali pertama ada orang lain yang membuat Kia merasa berarti kembali. Laki-laki di sampingnya inilah yang selalu tulus memberikan perhatian padanya. Meskipun ia tidak mau berharap terlalu tinggi, setidaknya izinknlah ia merasakan dirinya “ada”.
“Nggak usah tegang gitu, sampe pegang tangan saya kencang banget,” ledek Ikram.
“Eh jangan dilepas ya, awas!”
Mereka tertawa. Duduk di dalam gondola dengan tangan Kia yang masih menggenggam tangan Ikram erat. Wajahnya pun sedikit pucat, meski berkali-kali ia ucapkan bahwa ia tidak takut. Ketika gondola meluncur, refleks Kia menjerit sebentar, tapi lalu tertawa.
“Kok seru sih?” teriak Kia sambil tertawa.
“Lihat deh lautnya. Ombaknya kencang banget,” ucap Ikram menunjuk ke bawah.
“Tapi bagus pemandangannya.”
“Tunggu sampai kamu lihat semuanya di pulau seberang.”
Entah sejak kapan Kia mulai menyukai “janji-janji” yang selalu Ikram ucapkan. Seperti ketika lelaki itu menjanjikan sebuah “surga” saat masih di bawah tadi. Karena dirinya serasa kembali dimanja.
Gondola pun menepi di bukit karang di pulau seberang. Dengan hati-hati Ikram membantu Kia turun. Di pulau itu sudah banyak wisatawan yang sampai sebelum mereka. Selain wisatawan domestik, banyak juga wisatawan asing seperti dari Malaysia, Tiongkok, bahkan Eropa. Kebanyakan dari mereka berfoto rame-rame atau selfie. Saat Kia dan Ikram sampai di depan papan bertuliskan PANTAI TIMANG berwarna kuning tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya mendatangi mereka. Sepertinya warga setempat yang ikut mengurus wahana wisata di sini.
“Mas dan Mbaknya mau saya fotoin?” tanya laki-laki itu menawarkan.
Kia dan Ikram spontan saling menatap, kemudian tanpa menunggu lama mereka mengangguk senang. Ikram langsung menyodorkan ponselnya.
“Lebih dekat, Mbak!” teriak laki-laki itu pada Kia. Kia pun mendekat satu langkah pada Ikram. “Kurang dekat. Masnya geser, coba,” suruhnya lagi membuat Ikram menggeser satu langkah mendekati Kia. Setelah beberapa kali memotret, laki-laki itu berteriak lagi. “Dempet gitu lho, Masnya,” teriaknya menginstruksikan dengan kedua tangannya seolah menyuruh mereka berdua lebih berdekatan.
“Rangkul gitu dong mbaknya, Mas,” intruksinya lagi tampak gemas.
Ikram dan Kia mendadak canggung.
“Gini aja, Mas. Udah, foto aja!” teriak Kia pada si laki-laki "fotografer".
Setelah selesai laki-laki itu menyodorkan ponsel Ikram sambil berkata, “Yang mesra gitu, lho.”
“Nggg ... ma–kasih ya, Mas," ucap Ikram terbata. Diliriknya Kia di sebelahnya. Perempuan itu hanya tersenyum canggung dan cepat-cepat melemparkan pandangannya ke arah lain. Ikram jadi malu. Bukan malu sih, Ikram hanya takut Kia salah paham dan mengira bahwa dirinya memang ingin merangkul Kia. Meskipun itu bisa dibilang jadi salah satu bucketlist-nya ke depan sih, tapi kan tidak seperti tadi juga. Bisa-bisa setelah pulang dari sini Kia kabur lagi.
Kia memotret sana-sini dengan ponselnya sendiri. Pemandangan laut yang sebiru langit di atasnya ini memang lebih indah jika dilihat langsung, bukan melalui lensa kamera seperti ini, batin Kia.
“Bagusan kalau lihat asli ya, Mas,” ucap Kia memerlihatkan hasil jepretannya pada Ikram.
“Tapi hasil motret kamu juga bagus nih.”
“Nggak, ah, bagusan kalau Kia lihat langsung gini.”
“Sama kayak kamu gitu ya,” tutur Ikram.
“Maksudnya?”
“Bagusan aslinya daripada di foto.”
“Idih, jayus.”
Mereka tertawa.
“Kadang yang kita lihat dari jauh selalu berbeda dengan kalau kita lihat dari dekat. Sama kayak ekspektasi. Semakin kita berekspektasi, semakin jauh dari kenyataan. Kayak saya lihat kamu dulu.”
“Maaf ya kalau Kia ternyata jauh dari ekspektasi Mas,” canda Kia, tapi mereka tahu bahwa kata-katanya itu bukan sekadar candaan biasa.
Ikram tersenyum sekadarnya. “Kamu nggak bisa membiarkan seseorang masuk ke kehidupan kamu untuk kemudian kamu tinggalkan dia begitu aja.” Suaranya lembut dengan intonasi yang rendah, tapi mampu menusuk tepat sasaran ke hati Kia.
Kia menunduk, menumpukan pandangannya pada bebatuan yang ia pijak.
“Saya pernah bilang kan kalau kamu butuh, saya akan selalu ada. Saya serius dengan itu.”
“Kenapa?”
“Ya karena saya peduli. Saya—”
“Jangan, Mas. Please,” potong Kia.
“Kenapa?”
Kia menggeleng.
“Kasih saya alasan.”
“Nggak pernah ada yang mau disakiti, Mas. Jadi lebih baik tidak memulainya.”
“Niat kamu itu?”
“Ya, nggak. Tapi Kia nggak punya apa-apa untuk dijanjikan. Kia takut cuma bisa nyusahin Mas dan nggak bisa membalas apa yang sudah Mas kasih.”
“Saya ngerti kok kalau kamu nggak tertarik sama apa yang saya ‘tawarkan’. Saya juga ngerti bahwa kamu mungkin tidak mau menggantikan yang lama.”
Deg. Kia bagai ditembak tepat di inti hatinya.
“Tapi tiba-tiba diabaikan seperti ini saya ... saya bingung. Kasih tahu salah saya di—”