Hari ini Ikram berencana datang ke acara akikahan anaknya Kak Tara atas undangan Bunda Kia Jumat lalu. Pukul sembilan pagi Ikram sudah memacu mobilnya ke arah Bogor dan tiba satu setengah jam kemudian. Perasaannya campur aduk antara nervous dan excited.
Ikram memarkirkan mobilnya agak jauh dari rumah orang tua Kia karena tidak enak di sana bergerombol banyak orang. Sepertinya itu para tamu dan beberapa ibu-ibu pengajian yang menghadiri akikahan. Ikram pun berjalan agak jauh sambil sesekali memantau ponselnya, menunggu Kia membalas pesan WA-nya yang mengabarkan bahwa ia sudah sampai.
Belum juga sempat masuk ke rumah Kia, perempuan itu sudah muncul duluan di depan pagar rumah, menjemput Ikram. Gamis putih panjang yang dikenakan Kia terasa seragam couple dengan baju koko putih yang dipakai Ikram. Ikram jadi senang tak jelas. Mereka jadi kayak pakai baju sarimbit gitu, bikin Ikram mengulum senyum.
“Kirain nggak datang,” ucap Kia.
“Datang, dong. Nggak enak, yang ngundang Bunda kamu soalnya,” balas Ikram.
Kia tertawa. “Jadi cuma formalitas nih karena nggak enak sama Bunda?” goda Kia.
“Ya nggak, Ki,” kata Ikram tak enak. “Kan mau ngasih kado juga buat dedek bayi.”
Kening Kia mengernyit lalu melihat bingkisan rapi berbungkus kertas kado di tangan Ikram. “Ya ampun ampe segitunya,” ia lalu tersenyum, merasa terharu.
Ikram tersenyum memamerkan giginya yang rapi.
“Ini kenapa ibu-ibu pengajian pada keluar?” tanya Ikram heran.
“Akikahannya udah selesai sih. Ini lagi pada makan.”
“Wah, saya telat, dong,” ucapnya menyesal. “Kamu kok nggak ngasih tahu mulainya jam berapa?”
Kia tersenyum. “Nggak pa-pa. Kia nggak ngasih tahu karena takut Mas terbebani dan merasa harus datang. Padahal waktu itu Bunda cuma basa-basi ngundang Mas Ikram.”
“Tapi jadi nggak enak, Ki.”
“Nggak pa-pa. Makasih udah datang," ujar Kia tulus sambil menyentuh lengan Ikram sekilas. “Masuk, yuk!”
Ketika masuk, berbaur dengan ibu-ibu pengajian yang sedang makan bergerombol sambil mengobrol, Ikram dan Kia diserbu empat orang anak kecil yang berlarian menghampiri mereka. Tiga orang anak laki-laki yang umurnya kira-kira tujuh sampai delapan tahunan dan satu anak perempuan yang masih balita.
Salah satu dari mereka bahkan terlihat girang, tapi kemudian berhenti di depan mereka dengan kening mengerut lalu wajahnya berubah kecewa.
“Yaaah, kirain Om Nando,” ucap anak laki-laki itu lalu memeluk pinggang Kia manja.
Mendengar nama itu Ikram langsung menoleh pada Kia, ingin mengamati reaksinya. Namun Kia tak tampak terganggu. Ia malah tersenyum dengan air muka yang terlihat normal.
“Ayo, salim dulu sama Om Ikram,” suruh Kia pada anak lelaki yang bergelayut manja di pinggangnya, kemudian menyuruh anak-anak kecil lainnya melakukan hal yang sama.
Ikram tersenyum senang disalami anak-anak yang ia yakini keponakan-keponakan Kia itu. Suasana kemudian menjadi riuh. Anak-anak itu kembali mengoceh dan berlarian di sekitar rumah. Kecuali anak lelaki yang tadi bergelayut manja pada Kia. Anak itu masih berdiri di depan mereka.
“Azka! Dihabisin dulu makannya!” teriak seorang perempuan yang menghampiri mereka.
Anak lelaki di depan mereka langsung menjawab, “Iya, Ma!” Kemudian berlari ke dalam.
“Anak-anak pada heboh pas tahu antinya bawa teman,” ucap perempuan itu lalu tertawa. “Halo, saya Nina, kakaknya Kia.”
“Eh iya. Saya Ikram, Kak. Teman kantornya Kia.”
Mulailah suasana kembali gaduh. Bunda dan Ayah serta kakak-kakak Kia ikut menghampiri Ikram.
***
Tamu-tamu sudah pulang. Meski begitu, rumah tetap ramai dengan ocehan anak-anak, obrolan para lelaki dari tentang kantor masing-masing sampai obrolan bola, dan rumpi ala ibu-ibu yang super-genggeus.
Kia tengah bermain bersama Nana, anak bungsu Mas Krisna, kakak keduanya, ketika Mbak Rahmi, istrinya Mas Krisna, mulai menggodai Kia soal Ikram.
“Sudah berapa lama sama Ikram, Dek?” tanya Mbak Rahmi.
“Berapa lama apanya?”
“Pacaranlah,” serobot Kak Nina.
“Sembarangan kalo ngomong,” elak Kia.
“Mbak kira Ikram pacar kamu,” ucap Mbak Rahmi.
Kia menggeleng tapi mengulum senyumnya.
“Emangnya kenapa sih? Ikram kayaknya baik. Dia juga kayaknya suka sama kamu gitu. Kamu nggak tertarik apa gimana?” tanya Mbak Rahmi.
“Nggak dulu aja, Mba.”
“Berarti nanti mau, gitu?” Kak Nina mendesak.
“Nggak tahu,” jawa Kia, mengangkat bahunya, tapi merasa terpojok.
“Harus dicari tahu. Kalau kelamaan nanti keburu basi,” kata Kak Nina.
Mereka bertiga tertawa.
“Kayak nasi, basi,” ujar Kia.
“Iya dong. Kalau nanti kamu udah suka sama dia tapi dianya udah nggak suka sama kamu, gimana?” ucap Kak Nina.
“Kok horor ya, Nin?” tanggap Mbak Rahmi.
Kak Nina terkekeh. “Kamu nanti nyesel, lho,” lanjutnya.
Kia mendecak sebal.
“Biar Bunda nggak khawatir terus. Bunda tuh sering banget nelponin aku buat tanya-tanya kamu. Lah, kamu mana ada kasih kabar ke aku. Kalau ada Ikram yang direcokin Bunda nanti dia bukan aku lagi.” Kak Nina lalu tertawa jahil.
“Dicoba dulu, Dek,” saran Mbak Rahmi.