Gelas dengan posisi miring itu akhirnya menumpahkan isinya. Cappucino Latte yang tak lagi hangat menggenangi meja. Semua tangan mengangkati barang-barang penting seperti ponsel, laptop, dan tentunya gelas kopi masing-masing. Dikira marah, alih-alih semua orang di meja tersebut tertawa konyol. Nadine, si penyiku gelas, malah orang yang paling terbahak di antara ke tiga temannya yang lain. Menertawakan kecerobohannya.
“Sorry, sorry, guys!” seru Nadine dengan sisa tawanya.
Akhirnya ada juga waitress yang datang untuk membantu membersihkan meja mereka.
“Maafin temen saya ya, Mbak. Dia lagi sawan soalnya,” cetus Dion menyebalkan pada mbak-mbak waitress bertampang datar.
“Tadi sempat nginjek eek ayam dia, Mbak,” tambah Rachmat.
“Sama digigit kucing dan anjing berbarengan,” seru Ikram.
“Plus diseruduk soang di depan masjid samping tower Telk*msel,” lanjut Dion lagi.
Nadine malah tertawa mendengar teman-temannya meledeknya. Perempuan itu sadar bahwa ia punya teman-teman ajaib dengan moncong tanpa penyaring. Tanpa terduga Mbak Waitress menahan senyumnya.
Setelah selesai membersihkan meja mereka, Mbak Waitress pun kembali ke tempatnya semula, di dalam coffee shop ini, di belakang tempat barista meracik kopi, atau di mana pun sesuka Mbaknya, Nadine dan teman-temannya tidak tahu.
“Guys, gue pengin banget maki-maki kalian, tapi aduh, perut gue sakit banget ketawa mulu dari tadi,” ucap Nadine. Sudut matanya bahkan sampai mengeluarkan air mata.
Beberapa menit yang lalu mereka berempat tengah mengobrolkan film bertema superhero kesukaan masing-masing. Giliran Nadine yang mencerocos tanpa henti ketika membicarakan film superhero dari DC seperti Superman, Batman Begins, The Dark Knight, dan film-film sejenis yang tentunya ada Batman-nya. Karena superhero kesukaan Nadine ternyata adalah Batman.
“Kenapa lo malah suka Batman? Dia kan sebenarnya manusia biasa, bukan superhero asli kayak Superman gitu,” protes Dion.
“Gue suka karena dia humanis dan berusaha banget menegakkan keadilan gitu. Pemikirannya idealis banget,” papar Nadine.
“Dia jadi kayak gitu kan mau balas dendam karena orang tuanya dibunuh,” balas Ikram.
“Iya sih. Tapi kerennya tuh karena dia manusia biasa. Jadi superhero itu hanya dengan mengandalkan kemampuan intelegensi, keterampilan detektif, pemanfaatan teknologi, sama kekayaannya. Nggak ujug-ujug jadi super kayak si Clark Kent,” jelas Nadine.
“Itu mungkin alasan dibuatnya film Superman v Batman: Dawn of Justice, untuk membandingkan lebih hebat mana antara Superman sama Batman. Latar belakang mereka kan beda,” duga Dion.
“Nggaklah!” protes Rachmat. “Di film itu kan mereka berdua duel. Itu karena si Batman kesel sama si Superman.”
“Lah anjir kesel kenapa deh?” tanya Ikram.
“Karena setiap kali si Superman berantem sama musuhnya, dia suka ngerusak fasilitas umum di kota. Perhatikan saja, sekali pukul musuhnya mental ke tembok gedung, terus temboknya rusak parah bahkan nggak jarang langsung roboh. Terus suka ngerusak mobil-mobil warga. Aspal-aspal pada retak. Pokoknya kota jadi ancur deh kalo si Superman berantem. Aku saja kesel, apalagi si Batman,” papar Rachmat konyol.
Kontan semua teman-temannya terbahak.
“Anjir! Gue juga kesel banget dengerin lo ngomong!” pekik Nadine refleks menggaplok lengan Rachmat.
“Untung si Superman kagak tinggal di Indonesia,” balas Dion kemudian.
“Janganlah! Infrastruktur kita belum stabil. Jangan ditambah mereka berantem di sini. Nggak beres-beres pembangunan infrastruktur kita,” jawab Nadine dengan sisa-sisa tawanya.
“Kebayang nggak kalau mereka ada di Jakarta. Kalau kebetulan lagi berantem di Jalan Sudirman gimana? Macet parah pasti. Bukan macet karena gedung-gedung roboh, tapi orang-orang pada selfie di tengah batu dan kerikil yang saling terlempar. Tahu sendiri orang Indonesia. Ada teroris tembak-tembakan sama polisi aja bukannya pada lari, tapi malah foto-foto,” ucap Ikram.
“Terus Simpang Susun Semanggi kebelah dua!” balas Rachmat.
“Halte TransJakarta roboh semua!” tambah Dion.
Mereka berempat terbahak sampai memukul-mukul meja, menimbulkan keributan kecil.
“Terus ... terus pas si Batman sama Robin lagi ngejar musuh naik mobil, si Robin pasti geregetan mampus karena di depan mereka ada emak-emak naik motor jalannya lambat, udah gitu nyalain lampu sein kiri tapi belok ke kanan!” sambung Dion semakin menyebalkan.
Mereka berempat kembali terbahak. Apalagi Nadine membayangkan superhero kesayangannya ngomel-ngomel karena ulah emak-emak naik motor nggak pake aturan.
Saking hebohnya Nadine tertawa, perempuan itu tak menyadari ada gelas berisi Cappucino Latte di dekat lengannya dan ketika lengannya bergeser, ujung sikunya menyenggol keras gelas tersebut hingga isinya tumpah memenuhi meja.
Sore tadi mereka diajak ngopi sama Pak Danil. Ketika jam pulang tiba, Pak Danil pamit pulang duluan. Namun, kadung malas balik ke kantor, mereka akhirnya lanjut ngopi di coffee shop di lobi gedung lantai satu itu.
Sudah hampir Magrib dan coffee shop ini malah semakin ramai. Orang-orang yang datang sehabis pulang kantor silih berganti. Berbeda dengan keempat orang ini yang sebenarnya belum pulang dari kantor tapi malah sengaja menunggu hari hingga larut.
Sementara itu niat Ikram berlama-lama di kantor adalah untuk menunggu Kia yang sedang lembur. Ia sibuk memonitor ponselnya, menunggu Kia membalas pesan yang ia kirimkan siang tadi. Namun, ia hanya bisa menghela napas lelah ketika layarnya masih bersih dari notifikasi pesan.
Kia and her unpredictable emotions. Terlebih setelah kejadian di rumah Kia beberapa hari lalu. Ajaibnya, keesokan harinya Kia sama sekali tidak menghindari Ikram. Bisa dibilang sebuah prestasi?
Setiap hari, setiap siang, ia mengirimkan pesan WA pada Kia. Isinya sederhana, menawarkan diri mengantarkan Kia pulang. Jawaban Kia hanya berbunyi Oke atau Iya. Sangat singkat, padat, dan jelas. Ikram sampai curiga jangan-jangan Kia pemilik salah satu stasiun televisi ber-tagline serupa. Apakah kekhawatiran Ikram hanya sebatas itu? Ikram bahkan harus menahan untuk tidak meringis ketika di sepanjang perjalanan pulang mengantar Kia yang ia dapatkan hanya keheningan. Iyaaa, Kia mendiamkannya sepanjang perjalanan.
Tak jarang Kia bersikap seolah Ikram tidak ada. Misalnya, ketika sedang membuat kopi di pantri dan kebetulan mereka berdua bertemu. Kia tidak menyapanya sama sekali.
Atau saat mereka berpapasan ketika berjalan ke warung belakang kantor untuk makan siang. Seringnya ketika mereka berdua sedang bersama rombongan masing-masing. Ikram dengan Dion dan Rachmat, sementara Kia dengan beberapa orang teman di Divisi Finance. Ketika berpapasan, Kia tak sedikit pun melirik ke arah Ikram. Seperti tidak menganggapnya ada. Ikram sampai geregetan ingin berteriak, “Salah gue apa lagi?”
“Balik yuk! Magrib dulu kita!” ajak Dion, menepuk pundak Ikram.
Ikram beranjak dari duduknya sambil memantau ponsel dan sesekali melihat jam tangannya. Akhirnya Ikram memberanikan diri untuk menelepon perempuan itu.
“Halo, Ki? Kamu masih lembur atau udah mau pulang?” tanyanya.
“Masih. Kalau Mas mau balik duluan nggak pa-pa,” jawab Kia datar.
“Nggak kok. Saya tungguin kamu aja,” balas Ikram.
“Okay!” Klik. Telepon ditutup.
Seperti biasa, selalu Kia yang menutup duluan tanpa meminta persetujuan Ikram.
Mereka berempat pun beranjak menaiki lift menuju ke lantai kantor mereka. Mengganti sepatu dengan sandal jepit untuk kemudian pergi ke musala dan salat Magrib. Saat Ikram selesai, berbarengan pula dengan Nadine, saat itulah Ikram berpapasan dengan Kia yang baru akan masuk ke musala. Ikram sengaja berhenti dari jalannya untuk berjaga-jaga kalau saja Kia menyapanya, atau minimal tersenyum seperti biasa kalau berpapasan dengan orang yang dikenal. Namun, Kia hanya melewatinya begitu saja, tanpa sapaan. Boro-boro nyapa, senyum saja tidak. Tampaknya tadi Ikram sudah menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada Kia.
“Gue mau tanya, kali aja nih lo sebagai sesama perempuan tahu,” ucap Ikram.
“Sesama perempuan sama siapa?” tanya Nadine.
Ikram menolehkan kepalanya ke arah Musala, “Tuh, cewek yang barusan lewat gitu aja depan gue.”
Nadine tertawa. “Kia? Kenapa dia?”