Seperti yang sudah Ikram duga, mamanya senang sekali Kia datang. Apalagi mendapat bingkisan spesial, buah tangan hasil Kia sendiri.
“Ini kuenya bikin sendiri?” tanya Mama Ikram semringah.
“Iya, Tante. Iseng-iseng aja bikin sambil belajar,” jawab Kia.
“Pintar banget. Masuk yuk. Tante udah masak banyak. Tinggal nunggu Akbar sama Vira, katanya masih di tol.”
Ikram menyentuh punggung Kia untuk mengarahkannya masuk. Hari ini penampilan Kia berbeda dari biasanya. Biasanya yang Ikram maksud adalah penampilan Kia dengan setelan kantor. Siang ini Kia terlihat lebih manis dan cute dengan setelan dress vintage berwarna pastel. Sebagai makhluk visual, ia tentu merasa dimanjakan dengan penampilan itu. Jujur saja, Ikram jadi semakin suka pada Kia.
“Hai, Kia,” sapa Isal di sofa depan TV.
“Hai, Mas Isal,” balas Kia.
Berbeda dengan mamanya dan Ikram, Faisal masih terlihat lusuh. Kaus kedodoran, celana pendek, dan rambut kusut menandakan bahwa mungkin saja Faisal belum mandi.
“Kamu mandi sana! Bentar lagi Akbar sama Vira datang,” omel ibunya.
“Isal udah mandi! Nuduh mulu nih Mama,” gerutu Faisal.
“Ngelawan mulu ya, sama Mama. Awas lho Mama teror minta cucu, tahu rasa kamu!”
Tanpa terduga Kia malah tertawa. Nggak anaknya, nggak ibunya, pada senang bercanda semua. Ikram melirik pada Kia yang masih tertawa geli. Ia jadi ikut tertawa.
“Gini deh, Ki,” ucap Ikram menggaruk belakang kepalanya, malu. “Maaf ya harus lihat pertunjukan sirkus di kunjungan pertama kamu ke sini,” canda Ikram.
“Baru kali ini Kia dengar ancaman minta cucu,” ujar Kia dengan sisa tawanya.
Kia dan Ikram duduk di ruang tamu. Tak lama ART keluarga Ikram menyuguhi Kia minum dan beberapa camilan di meja. Disusul mamanya Ikram yang kemudian duduk bersama-sama mereka. Mengobrol sebentar seperti menanyakan Kia tinggal di mana, kerja di bagian apa, dan asli keturunan mana. Begitu Kia bilang bahwa ia asli dari Bogor, mamanya Ikram berseloroh.
“Wah, USA. Urang Sunda Asli,” seloroh mamanya Ikram.
Kia tertawa mendengarnya.
“Sekarang kamu tahu kan, kenapa saya norak? Ini asal muasal kenorakan saya. Faktor gen, susah dihilangkan,” kelakar Ikram.
“Tuh, gitu deh, Ki. Masa mamanya dikatain norak coba.”
Obrolan ringan pun terus mengalir. Sampai akhirnya mamanya Ikram teringat akan masakan yang tengah disiapkannya di dapur.
“Mumpung Akbar belum datang, Tante ke dapur dulu, nyiapin makan siang,” pamit mamanya Ikram.
Kia lalu ikut berdiri dan menawarkan diri untuk membantu di dapur.
“Nggak usah. Kamu di sini aja. Kasihan kalau harus ikut repot,” tolak mamanya Ikram halus.
“Nggak pa-pa, Tan. Kia bantu ya,” ucap Kia berkeras sambil mengikuti mamanya Ikram menuju dapur. Sementara itu Ikram yang ditinggalkan sendirian tersenyum mengangguk ketika Kia meminta izin untuk pergi ke dapur.
Di dapur Kia membantu menyiapkan makanan yang lumayan banyak. Ini kayak mau pesta aja, batin Kia. Padahal penghuni rumah ini sepertinya tidak banyak. Bisa dihitung jari malah.
“Tante pintar masak banget sih,” puji Kia melihat berbagai makanan rumit yang dimasak mamanya Ikram. Ada opor ayam, rendang, gulai sapi, tahu, tempe, dan beberapa tumisan sayuran hijau. Sudah kayak lebaran.
“Kamu juga pintar bikin kue,” puji mamanya Ikram.
“Masih belajar sih, Tan.”
“Kalau Kia suka masak nggak?”
“Suka. Apalagi kalau makanan kesukaan dan yang resepnya gampang.”
“Iam sama Isal itu sifatnya bertolak belakang. Malah lebih dewasa Iam ketimbang Isal. Tapi soal makanan, mereka sepakat untuk suka masakan rumahan. Terkadang manja-manja banget. Apalagi kalau habis pulang dinas luar kota, pasti minta dimasakin makanan kesukaan masing-masing. Tapi mereka sih suka semua makanan kayaknya. Disodorin apa aja pasti habis.”
Kia tersenyum. Lalu seperti merasakan kejanggalan setelah mengamati keluarga Ikram dengan singkat. “Kalau ... Om di mana, Tan?” tanya Kia meski sedikit canggung.
Mama Ikram meletakkan perlahan wadah berisi opor ayam di atas meja. Tatapan matanya tiba-tiba meredup.
“Papanya Iam sudah nggak ada, Kia,” jawabnya.
Kia terkejut. Merasa tidak enak karena sudah menanyakan hal itu. Jika Kia tahu tentu saja ia tidak akan menyinggungnya. Kenapa Ikram tidak pernah memberitahukannya tentang hal itu?
“Maaf, Tante. Kia nggak tahu,” ujarnya panik.
Mama Ikram lalu tersenyum maklum. “Tante ngerti kenapa Iam nggak cerita hal ini sama kamu.”
Kia memerhatikan dengan kening mengernyit. Raut wajah Mama Ikram mulai berubah sedikit muram.
“Keluarga Tante tidak seperti keluarga lain, Kia. Kamu nggak usah heran dengan semua keanehan yang kamu temui nanti.” Mama Ikram masih sempat bercanda.
Kia tertawa pelan.
Mama Ikram melanjutkan, “Kamu tahu, nggak? Iam dulu nggak bertegur sapa dengan papanya bahkan sampai di detik-detik terakhir Om meninggal.”
Napas Kia hampir tercekat mendengarnya. Sisi gelap Ikram yang tidak pernah Kia ketahui. Selama mengenal laki-laki itu, Kia menganggap bahwa Ikram selalu ceria. Tidak pernah menyangka ia akan mendengarkan sisi yang ini dari mamanya Ikram.
Lalu Mama Ikram tertawa kecil dengan tatapan menerawang. “Susahnya meluluhkan hati anak laki-laki. Apalagi yang keras kepala seperti Iam.”
Mereka kembali menyiapkan makanan di meja makan. Sambil terus menata meja, Mama Ikram kembali bercerita.
“Akbar dan Faisal, anak sulung dan anak tengah Tante, mencintai perempuan yang sama.”
Kia kembali terkejut. “Maksudnya gimana, Tante?”
“Akbar dan Faisal sama-sama mencintai Savira. Beberapa tahun lalu, Vira itu pacaran sama Isal. Entah bagaimana Tante kurang paham, mereka akhirnya putus. Nggak lama setelah itu malah Akbar yang pacaran sama Vira. Tante sebenarnya bingung. Tapi itu kan pilihan anak-anak Tante. Tante nggak mau ikut campur terlalu banyak, apalagi persoalan kehidupan asmara mereka. Sudah dewasalah mereka itu."
Kia tertegun. Secara refleks berhenti dari kegiatannya. Entah mau menanggapi apa obrolan mamanya Ikram ini.
“Kia ... speechless, Tante," ucap Kia jujur yang diikuti oleh tawa canggung.
Mama Ikram menanggapi dengan tawa yang lepas. “Ini memang persoalan yang tidak biasa. Kia jangan berubah ya setelah mendengar ini.”
Kia menggeleng. “Nggak, Tante. Kia dan keluarga Kia juga punya permasalahan. Dan Kia yakin setiap orang pasti punya masalah bahkan rahasia yang tidak ingin orang lain tahu demi bisa menjalani hidup dengan normal.”