After Broken

Diana Mahmudah
Chapter #20

Chapter 20 Pertemuan Pertama Setelah yang Terakhir

Dedaunan kering berjatuhan, menutupi permukaan kolam renang sehingga menjadikan kolam tampak kotor. Sepasang anak SMA duduk di pinggirannya, masih mengenakan seragam putih-abu, menenggelamkan kaki sampai lutut ke dalam kolam. Yang satu melamun, satunya lagi memerhatikan si pelamun. Riak air muncul kala dedaunan kering menyentuh permukaan air di kolam renang.

“Aku dimarahi Bapak,” celetuk si pelamun, laki-laki kurus jangkung yang warna kulitnya sepucat orang kena DBD.

“Kenapa?” tanggap yang satunya, perempuan manis berambut sebahu dengan mata sayu yang membuat orang yang melihatnya seolah terhipnotis dan merasa ingin mengiba padanya.

“Padahal aku cuma bilang kemungkinan kalau nggak lolos tes jadi TNI AU,” lanjut si kurus jangkung.

“Memang ... tesnya susah ya?” tanya si perempuan.

Si Kurus Jangkung mengangkat bahu.

“Aku mau kok nemenin kamu latihan lari setiap Jumat. Atau setiap hari juga aku mau. Ada tes larinya, kan?”

Si Kurus Jangkung tersenyum. “Kalau aku nggak lolos tes dan nggak jadi TNI AU, kamu masih mau nggak sama aku?”

Si Perempuan tertawa. “Justru aku yang mau tanya, kalau aku nggak lulus UN kamu malu nggak punya pacar aku?”

“Hus! Kamu pasti luluslah! Kita pasti lulus.”

“Tapi Eyang Uti bilang nggak apa-apa kalau kamu nggak jadi TNI juga. Uti malah pengin kamu jadi pegawai Bank. Atau Pegawai Negeri!”

Si Kurus Jangkung tertawa. Dicubitnya hidung Si Perempuan dengan gemas.

“Kamu aja yang jadi pegawai Bank. Akuntansi kamu kan bagus. Aku pengin lolos jadi TNI AU, biar Bapak nggak ngomelin aku terus.”

“Tapi aku nggak masalah kamu jadi apa aja. Asal sama kamu, aku mau.”

Dua pasang bola mata saling bertubrukkan, memantulkan bayangan rupa masing-masing.

Si Kurus Jangkung mendekatkan wajahnya pada Si Perempuan. Dikecupnya bibir ranum merah muda itu. Mungkin hanya tiga detik lamanya, tapi membekas selamanya.

Ciuman pertama mereka.

***

"Asholatu khairum minannaum...."

Kedua mata Kia membuka perlahan. Lama ia tatap langit-langit kamarnya, berusaha tetap menyimpan isi mimpinya barusan di dalam memori otaknya. Mimpinya tentang Nando. Namun, itu bukan hanya sekadar mimpi. Kejadian di mimpi tadi memang sungguh terjadi bertahun-tahun lalu. Dirinya dan Nando, serta ciuman pertama mereka.

Tangannya mengepal, menekan kuat dada kirinya, menyuruh gemuruh yang mengusik di dalam dadanya untuk diam.

Suara azan Subuh terdengar merdu di pengeras suara masjid dekat rumahnya. Ia pun bangkit, duduk tegak di pinggiran tempat tidur, mencoba mengatur napasnya yang sejak membuka mata tadi memburu ganas.

Semalaman ia tak bisa tidur setelah mendengar kabar bahwa Eyang Uti Nando meninggal dunia. Namun, sekalinya tidurr malah memimpikan Nando. Tidurnya tentu tak nyenyak. Sejak kapan mimpi yang ada Nandonya membuat ia tertidur nyenyak? Tidak pernah. Kini ia risau. Gelisah. Bagaimana kalau nanti, ketika melayat Eyang Uti, ia bertemu laki-laki itu? Bertemu di dalam mimpi saja dadanya bergemuruh, apalagi bertemu langsung.

Pintu kamar terbuka, kepala Bunda menyembul di celah pintu.

“Dek, salat dulu. Setelah itu kita siap-siap melayat.”

Lihat selengkapnya