After Ecstasy

Varenyni
Chapter #2

1. Bocah Aneh

Januari 2018.

Aku mendongakkan kepala, menatap tetes air hujan yang membasahi atap halte bus, percikan air mengenai seragam dan rambutku yang kukucir kuda. Aku kembali menundukkan kepala, melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Selalu saja, busnya tidak tepat waktu, padahal sebentar lagi sekolah akan masuk.

Setelah beberapa menit menunggu---sembari melamun menatap hujan yang tak henti-henti---bus akhirnya datang dan berhenti di depanku, karena posisiku paling dekat dengan bus daripada orang lain. Aku buru-buru melangkahkan kaki masuk dan duduk di kursi nomor tiga dari belakang, di dekat jendela. Tempat favoritku.

Seragamku sedikit basah karena tampias air hujan, tetapi aku tidak peduli, nanti juga kering sendiri. Aku menengok jendela sembari menunggu orang-orang yang berebutan masuk bus.

Lantas aku melihat seorang pemuda yang berlari menembus hujan dan menjadi penumpang terakhir bus sebelum bus berangkat. Tunggu dulu, apa aku tadi bilang seorang pemuda? Ternyata bukan, di belakang pemuda yang kehujanan tadi, ada pemuda lain yang memakai seragam SMP.

Pemuda yang mungkin saja adiknya itu tidak ikut naik bus, entah karena dia tidak mau ikut atau karena busnya sudah jalan. Aku memandang pemuda yang memakai seragam SMP itu dari jendela, pandangan matanya yang tadinya tampak kosong itu tiba-tiba balik menatapku.

Aku bisa melihat matanya yang memancarkan kemarahan, dan aku menyadari sesuatu, aura pemuda itu berbeda dari orang-orang. Maksudku, dia bukan lagi orang, dia sudah meninggal. Dengan kata lain dia arwah dan sialnya aku mempunyai kemampuan untuk melihat mereka.

Aku buru-buru mengalihkan pandangan dari jendela, arwah yang penuh kebencian itu cukup berbahaya. Aku terlonjak saat melihat sebelahku, kursi di sebelahku kini diduduki pemuda yang tadi kehujanan, walau aku tidak langsung bisa mengingat wajahnya. Namun jika dilihat dari seragam dan bajunya yang basah, dia pasti pemuda yang kehujanan tadi.

Beberapa titik air menetes dari rambut pemuda itu, wajahnya datar dan tidak berekspresi---mungkin saja hari ini dia bad mood karena kehujanan---itu fokus memandang ke depan. Aku menyadari sesuatu, dia sekilas mirip sama arwah yang ada di halte tadi. Atau hanya aku saja yang menganggap wajah mereka sama karena baru pertama kali berjumpa?

Pemikiran lain menghampiriku, bagaimana jika pemuda yang duduk di sebelahku itu arwah seperti pemuda tadi? Bagaimana kalau dia bukan manusia?

"Ada yang salah?" tanya pemuda itu dengan suara serak, dia sepertinya sedang flu. Ia menoleh dan menatap mataku. "Kenapa dari tadi melihatku?"

Aku gelagapan dan buru-buru mengalihkan pandangan. Dengan wajah jutek kujawab, "Ada yang salah. Kau terlalu dekat dan bajumu basah."

Dia menunduk memperhatikan lengan atasnya yang bersentuhan dengan lenganku---aku juga baru menyadarinya---yang mana membuat lengan seragamku menjadi basah. Pemuda itu menggeser duduknya agar jauh dariku.

Aku fokus membaca bagde yang tertempel di seragam pemuda itu. Dia tidak satu sekolah denganku, tetapi dia berasal dari sekolah yang terkenal di kota ini, sekolah yang elit dan terfavorit, dulu aku ingin masuk sekolah itu, tetapi tidak bisa karena aku gagal tes.

"Maaf, aku tidak sengaja," ujar pemuda itu dengan suara pelan.

Aku hanya bergumam sebagai jawaban dan percakapan pun berakhir. Setidaknya hal itu meyakinkanku bahwa pemuda itu manusia, bukan arwah, karena aku bisa menyentuhnya.

Bus berhenti di halte dekat sekolah. Aku mengambil tas yang ada di pangkuanku dan berdiri. Pemuda di sebelahku tadi sudah tidak ada, aku mencari keberadaannya dan dengan ajaibnya dia sudah berdiri di dekat pintu keluar bus.

"Dasar bocah ajaib," decakku seraya turun dari bus.

Aku berlari kecil dari bus menuju halte agar terhindar dari hujan. Sangat sedikit orang yang memilih turun di halte dekat sekolah, sehingga memungkinkanku melihat keberadaan pemuda itu. Namun sekarang aku tidak menemukan sosoknya di manapun, bukannya aku tertarik atau apa, hanya saja dia benar-benar ajaib. Bagaimana bisa dia menghilang secara tiba-tiba?

"Dia mungkin orang jadi-jadian," gumamku lantas berlari masuk ke sekolah, bertepatan dengan bel masuk yang berbunyi.

***

Walau sudah berusaha keras dengan berlari menyusuri lorong-lorong---walaupun licin karena hujan, menaiki tangga dengan langkah cepat dan mengabaikan sosok-sosok yang ada di lorong-lorong sepi, aku tetap terlambat masuk kelas.

Lihat selengkapnya