Sebuah pensil mencolek punggungku, aku terkejut dan refleks melempar pandangan jengah ke arah belakang. Si bocah Ailan itu sedari tadi menggangguku, padahal pelajaran Pak Sela belum berakhir. Baru hari pertama sekolah, dia sudah menyusahkan.
“Apa lagi?” tanyaku sembari memutar bola mata.
“Kau duduknya agak ke samping, aku tidak bisa melihat papan tulis,” jawab Ailan sembari menunjuk papan tulis.
Aku menggeser pelan kursi ke samping kanan dengan tidak ikhlas. “Dasar bocah, banyak permintaan.”
“Hey, kau bisa menunduk sebentar, aku tidak bisa melihat angka yang ada di bawah,” ujar Ailan, padahal belum genap dua menit aku menggeser kursi tadi.
Aku mendengus dan langsung menempelkan dagu di meja, menyalin tulisan di papan tulis sebelum Pak Sela kembali menghapusnya karena kekurangan tempat. Padahal ada dua papan tulis di kelasku.
Baru beberapa menit menulis, apalagi dengan posisi yang tidak enak seperti ini. Sebuah pensil menyentuh bahuku. Lagi-lagi dia menggangguku.
“Hey, aku mau—” aku menoleh ke belakang dan melempar pelototan tajam. “Aku mau tanya sesuatu.”
“Apa lagi, Bocah? Dan ya, namaku bukan hey, aku punya nama,” balasku jutek.
“Nggak jadi tanya.” Ailan memasang wajah dingin seperti saat kami pertama jumpa di bus tadi pagi. “Dan aku juga punya nama.”
Aku memutar tubuh ke belakang. “Begini saja, kita akhiri masalah ini di sini. Namaku—”
“Falyn Renalisa.” Ailan memotong perkataanku, aku bertanya lewat tatapan mata, kenapa dia bisa tahu namaku. Dia melirik name tag-ku. “Dan aku Ailan, jadi panggil sesuai nama.”
Aku hampir menyemburkan tawa, walau tidak ada yang benar-benar lucu di sini. “Namamu aneh, seperti nama perempuan. Ailan.”
Ailan memasang wajah masam, dia mengetuk pensil ke meja dan memandangku dengan wajah serius. “Ailan itu nama laki-laki, kau saja yang tidak tahu. Kalau Ailani, baru nama perempuan.”
“Oh, jadi begitu. Aku baru tahu. Terima kasih, Ailani,” ujarku sarkas, lantas kembali menghadap ke depan, takut jika Pak Sela mengetahui kami berbicara di pelajarannya, habislah.
Di belakangku, Ailan mengomel panjang lebar dan hanya sedikit ucapannya yang tertangkap indra pendengaranku. “... namamu juga aneh. Falyn, fall in, kau itu jatuh atau apa ....”
Kalau saja Pak Sela tidak ada di sini dan kalau saja aku lebih kuat, ingin rasanya aku melempar mejaku pada Ailan, biar saja jidatnya benjol. Aku tidak peduli.
***
Aku akan menjelaskan sedikit tentang SMA Laverna. Saat pembuatan sekolah ini, katanya terinspirasi dari sekolah-sekolah yang ada di Korea—aku tidak tahu bagaimana sekolah di Korea, karena aku tidak pernah ke sana.
Meja-meja dan kursi yang ada di kelas terdiri dari empat baris dan masing-masing berisi satu tempat duduk dan meja kecil. Berbeda dengan meja saat aku masih SMP, di mana kita bisa duduk berdua bersama teman sebangku.
Lalu di belakang kelas ada loker, masing-masing murid mendapat satu loker. Biasanya aku menaruh bekalku di sana, juga pakaian olahraga—jika hari itu ada kelas penjas. Kami memegang masing-masing satu kunci. Dan masih banyak lagi kemiripan dari segi bangunan dengan sekolah-sekolah yang ada di Korea—aku pernah nonton drama Korea yang berjudul School 2017 dengan teman-temanku, jadi aku tahu sedikit-sedikit tahu sekolah di sana.
Hanya saja di sini tidak ada acara makan siang dari sekolah dengan urutan rangking. Kami biasanya membawa bekal sendiri atau beli makanan di kantin. Satu hal yang tidak kusukai dari sekolah ini, seragamnya. Walau kuakui memang cantik, seperti sekolah-sekolah elit yang ada di Korea, tetapi tetap saja, roknya terlalu pendek. Itu menurutku sih.
“Falyn, ayo makan bersama. Kau bawa bekal?” tanya Azhel.
Aku mendongak. Di depanku ada Azhel dan Alisa, mereka berdua membawa bekal di tangan kanan dan tangan kirinya menenteng botol minuman. Mereka berdua teman-temanku sekaligus partner makan siang, kami selalu makan bersama-sama seperti ini.