“Kenapa sih kau memilih duduk di belakangku?” tanyaku pada Ailan, posisiku kini membalikkan kursi ke belakang dan menghadap Ailan.
“Kan Pak Sela yang menyuruhku, lagi pula tidak ada tempat lain,” jawab Ailan. “Memangnya aku tidak boleh duduk di sini?”
“Bukannya tidak boleh, tapi karena kau selalu menggangguku, tanya ini-itu,” jawabku kesal. “Dan orang lain juga tidak mau duduk di tempat itu karena dulu tempatnya Alfi, dia meninggal beberapa bulan lalu.”
“Kau merasa terganggu ya saat aku tanya ini-itu? Maaf ya, aku memiliki sedikit masalah dengan mataku,” ujarnya pelan, aku baru sadar kalau dia mudah sekali mengucapkan maaf, tidak seperti kebanyakan orang.
“Matamu minus ya?” tanyaku, Ailan sepertinya enggan menjawab.
“Kenapa tidak ada yang mau duduk di tempat ini?” Ailan mengalihkan topik pembicaraan.
“Orang-orang biasanya takut karena Alfi sudah tiada, dia kecelakaan, mereka takut kalau duduk di tempatmu itu nantinya akan digentayangi, padahal arwahnya tidak gentayangan aku—” Aku membekap mulut, hampir keceplosan bilang sama Ailan kalau aku bisa melihat arwah.
Di kelasku tidak ada yang tahu kalau aku punya kemampuan itu, hanya beberapa orang saja yang tahu. Katanlah aku aktris yang berbakat, karena saat melihat penampakan dan di sana ada teman-temanku, aku bisa dengan baik berpura-pura tidak melihat mereka, walau arwah-arwah itu mengangguku.
Ailan tersenyum kecil. “Ada-ada saja mereka, mana ada arwah penasaran seperti itu, jika orang sudah mati ya mati.”
“Kau tidak percaya kalau mereka ada?” tanyaku.
Ailan menggeleng. “Di zaman modern seperti ini, mana ada yang begituan. Kalau Falyn percaya atau tidak?”
Aku tersenyum miris, mau bilang tidak percaya tetapi aku bisa melihat mereka. “Aku percaya kok mereka itu ada.”
“Kita beda pemikiran,” ujarnya.
Percakapan kami terhenti karena guru bahasa Inggris telah datang. Aku buru-buru membenarkan kursi dan kembali menghadap ke depan.
***
Bel pulang sekolah berbunyi. Aku buru-buru membereskan buku-buku dan memasukkannya ke tas. Aku menoleh ke belakang, menunggu teman-teman yang lain selesai mengambil barang-barang mereka di loker. Kalau aku biasanya membereskannya terakhir karena tidak mau berdesak-desakan di sana.
“Falyn, aku duluan ya,” ujar Alisa.
Aku mengangguk sebelum Alisa keluar dari kelas, sepertinya dia sengaja meninggalkan Azhel. Aku tidak tahu kapan mereka bisa akur, semoga dalam waktu dekat ini. Walau ikatan persaudaraan mereka kuat, tetapi pertikaian tidak pernah luput dari keseharian mereka. Begitulah saudara, apalagi mereka seumuran.
Aku menoleh ke tempat duduk Azhel. Pemuda itu masih sibuk mencari sesuatu di tasnya, kemudian dia merogoh saku seragamnya lantas berlutut dan melihat-lihat di bawah meja. Azhel berdiri kembali, ia menggaruk kepala dan mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas, dan pandangan kami bertemu.
Aku baru sadar kalau hanya ada aku, Azhel dan Ailan yang tersisa di kelas.
Azhel mengambil tasnya dan berjalan ke arahku. “Falyn, kaulihat Alisa?”
“Dia tadi pulang duluan.” Aku hampir tertawa. “Apa kau mencari Alisa di tas, saku dan bawah meja?”
Azhel tertawa, lalu dia menggeleng. “Bukan begitu, aku mencari kunci lokerku, mungkin Alisa yang membawanya.”
“Ah, begitu.” Aku mengangguk-anggukan kepala. “Alisa baru saja pergi, mungkin dia masih ada di sekolah, kau bisa mengejarnya.”
“Begitu ya? Kalau begitu aku duluan, Falyn. Hati-hati saat pulang nanti, kalau bisa jangan pulang terlalu larut dan jangan pulang sendirian,” ucapnya sebelum keluar kelas.
Aku berdiri, berjalan pelan menuju lokerku. Sekilas kulirik Ailan, dia sepertinya sedang mencari sesuatu di tasnya. Aku mengedikkan bahu tidak peduli dan memilih untuk membuka kunci lokerku.
Ceklek!