After Ecstasy

Varenyni
Chapter #5

4. Kunci dan Luka

Pukul sembilan malam. Aku membereskan buku-buku yang berserakan di meja belajar. Aku menguap lantas merenggangkan badan. Sekilas aku melirik pigura foto yang terletak di sebelah buku-buku tadi, itu fotoku dan kakakku, Eri.

Kalau membahas kakakku, dia sudah tiada dua tahun lalu karena kecelakaan kereta. Kereta yang dia naiki terbakar. Saat itu Eri bersama teman seangkatannya di SMA Laverna---kini mereka kelas dua belas---naik kereta untuk pergi ke museum kota---atau tempat lain, aku tidak terlalu ingat---dalam rangka pembelajaran sekolah. Dan tahu-tahu, aku mendengar kabar bahwa ada kebakaran di stasiun.

Setibanya aku di sana bersama kedua orang tuaku, stasiun dan dua kereta hangus terbakar, kejadian itu banyak memakan korban, termasuk kakakku. Itulah alasan mengapa angkatan 2016 menjadi angkatan dengan jumlah murid tersedikit sepanjang sejarah SMA Laverna berdiri, karena banyak siswanya yang meninggal saat kejadian itu.

Bagian menariknya, jenazah kakakku sampai sekarang tidak ditemukan. Jenazahnya menghilang---itu pun kalau dia sudah tidak ada. Namun kalaupun Eri masih hidup, lalu di mana dia sekarang? Ini sudah lebih dari dua tahun sejak kebakaran itu. Kami sekeluarga memutuskan untuk mengikhlaskan Kak Eri.

Jika orang lain bisa mengunjungi makam orang yang sudah meninggal, aku tidak bisa. Jika aku rindu Kak Eri, aku hanya bisa memandang fotonya dan setiap tahun mengunjungi stasiun tempat kereta itu dulu pernah terbakar.

Aku tidak tahu lagi cerita lengkapnya karena enggan meriset dan mencari tahu lebih dalam, karena itu membuka luka lama di hatiku.

Sial! Mataku berair karena tiba-tiba teringat Eri. Walau aku punya kemampuan bisa melihat mereka yang sudah tiada, aku sekalipun belum pernah melihat kakakku dalam wujud arwah, jadi kukira dia sudah tenang bersama Tuhan di atas sana. Atau ... mungkin saja kakakku masih hidup? Aku tahu itu mustahil.

Aku terlonjak kaget saat ponselku yang ada di sebelah pigura itu berbunyi. Ada sebuah panggilan masuk dari nomor tidak dikenal.

Siapa yang berani menangguku di saat sedih-sedih begini? Awas saja kalau itu telepon salah sambung yang biasanya bilang, "Mama, aku minta pulsa." atau bilang, "Kakakmu kecelakaan.". Aku sudah kebal dengan telepon seperti itu.

Aku menekan tombol hijau di ponsel dan mendekatkan benda pipih itu di dekat telinga. "Halo? Siapa ini?"

"Halo. Maaf menganggumu malam-malam." Suara laki-laki terdengar di seberang sana.

Tunggu, aku sepertinya mengenali suara itu. Tidak salah lagi, itu suara si bocah yang suka mengangguku.

"Ailan? Kenapa telepon malam-malam? Dan kau dapat nomorku dari mana?" semburku, maaf Ailan, kau jadi pelampiasan rinduku pada Eri.

Ya beginilah aku, akan marah-marah tidak jelas jika rindu seseorang dan maaf Ailan, kali ini kau yang jadi pelampiasan rinduku.

"Em ... anu, aku dapat nomormu dari grup kelas," jawabnya.

Aku menurunkan intonasi bicaraku. "Oh, kau sudah masuk grup kelas? Jadi, kenapa meneleponku malam-malam?"

"Aku ... mau tanya jadwal pelajaran besok," jawabnya dengan suara pelan dan lemah.

Aku mengerutkan dahi, ada apa dengan bocah itu? Tidak biasanya dia bicara seperti orang tidak berdaya, malahan biasanya seperti orang kelebihan daya.

Aku menyebutkan jadwal pelajaran besok yang sudah kuhafal di luar kepala. "Nanti aku akan mengirimkan jadwal lengkapnya."

"Baiklah, terima kasih, Falyn. Simpan nomorku ya dan selamat malam," ujar Ailan.

Aku memutar bola mata. "Iya iya, Ailan. Sudah tidur sana, kau besok jangan sampai terlambat lagi."

Ada jeda beberapa detik sebelum Ailan berkata, "Sebentar."

Aku mendengar suara rintihan pelan dari sana. "Ailan? Kau tidak apa-apa kan?"

"Aku ... sedikit pusing," jawabnya dengan suara kecil dan lemah, aku tidak akan mendegar suara Ailan kalau saja di rumahku tidak sesunyi ini.

Lalu jeda panjang. Aku pikir sambungan telepon terputus, tetapi telepon terus menyala saat aku memeriksanya. "Hei, Ailan, kau tidak apa-apa kan? Kau tidak ketiduran kan?"

Bukan suara sahutan Ailan yang terdengar, melainkan suara gemeresik dan suara langkah orang yang berlari-lari, kemudian terdengar suara ponsel yang diketuk ke benda padat. Aku mengernyitkan dahi, ada apa ini? Apa ada penculik di rumah Ailan?

Lantas suara orang muntah terdengar. Sepertinya itu Ailan, dan dari suaranya, Ailan terdengar sangat menderita.

"Ailan? Kau tidak apa-apa kan?" tanyaku pelan, sembari menggigiti kuku karena cemas.

Pikiranku melayang saat di sekolah, Ailan tadi tidak sengaja makan dan minum yang sudah kedaluwarsa. Apa dia sakit karena itu?

Dan sekarang sudah jam sepuluh malam, berarti sudah enam jam sejak Ailan memakan makanan kedaluwarsa itu. Berarti gejala mual dan muntah mulai terlihat saat enam jam pertama sejak tidak sengaja memakan makanan kedaluwarsa. Jika Ailan tidak segera ditangani bisa fatal.

Suara muntah-muntah terus terdengar, membuatku semakin panik. Aku di sini tidak bisa apa-apa selain merasa cemas berlebihan.

Beberapa detik kemudian suara muntah itu berhenti, digantikan suara napas Ailan yang terengah-engah. Lantas suara gedebuk terdengar dan suara ponsel terjatuh menyusul kemudian. Dan sambungan telepon terputus.

"Ailan? Ailan!"

Aku yang panik langsung menghubunginya lagi. Bukan suara Ailan yang kali ini kudengar, melainkan suara kakak-kakak operator yang mengatakan kalau nomer yang kuhubungi sedang tidak aktif. Sial!

Aku mencoba membayangkan apa yang terjadi pada Ailan tadi. Awalnya kami mengobrol, lalu dia merasa pusing. Mungkin Ailan berlari menuju toiletnya saat dia merasa mual dan dia muntah di sana. Lalu suara gedebuk tadi, kalau tidak salah, mungkin dia tumbang dan ponselnya terjatuh.

"Ailan pingsan," gumamku. "Di kamar mandi."

Oh tidak! Dari semua tempat, kenapa harus kamar mandi? Di sana menakutkan, apalagi jika ada sosok yang menunggui tempat itu---walau aku tidak tahu apakah di toilet Ailan ada penunggunya. Aku takut Ailan diapa-apakan penunggu di kamar mandi, apalagi tampangnya yang oke. Dia sasaran empuk bagi penunggu yang suka menggoda pemuda tampan sepertinya.

***

Keesokan harinya saat aku berangkat ke sekolah pagi-pagi, aku berjalan melewati kelas X IPA 1. Tiba-tiba ada yang menghalang jalanku, aku mendongak sembari tangan mengenggam erat pegangan tasku.

"Kau anak kelas IPA 3 ya?" tanyanya, kalau tidak salah namanya Rudi, dia kemarin yang berbicara dengan Ailan saat di kantin.

Lihat selengkapnya