Lagi-lagi Azhel memberitahuku sesuatu yang tidak aku mengerti. Sesaat sebelum kami masuk kelas, dia berbisik padaku seakan-akan dia tahu apa yang akan aku lakukan.
“Apapun yang ingin kaulakukan, Falyn, jangan sekarang. Lakukanlah sepulang sekolah saat kelas kosong,” bisiknya.
Pemuda itu masuk kelas sebelum aku bertanya lebih lanjut. Terkadang aku berpikir, apa Azhel seorang cenayang? Dia selalu tahu apa yang akan aku lakukan. Seperti sekarang, dia secara tidak langsung tahu bahwa aku akan membuka loker Alfi dan mencari surat untuk orang tua Alfi.
Seperti saran Azhel, aku menunggu sampai kelas bubar dan teman-teman sudah pulang untuk bisa membuka loker Alfi.
“Syukurlah kau membuka lokernya sekarang, aku pikir kau sudah membukanya sejak tadi,” ucap Alfi yang tiba-tiba muncul di sebelahku. “Aku lupa memberi tahumu kalau tidak ada yang boleh tahu soal ini.”
Aku mengangguk, saran Azhel benar-benar berguna. Dia mungkin benar-benar cenayang, jadi dia tahu apa yang hendak Alfi katakan padaku.
Ceklek!
Suara kunci terbuka terdengar. Aku mengintip ke dalam loker, hanya ada selembar amplop cokelat seperti ampop yang digunakan orang-orang untuk melamar kerja. Aku mengambil amplop itu dan menunjukkannya pada Alfi.
“Iya, yang ini,” ujar Alfi bersemangat.
“Sekarang kita ke mana? Ke rumahmu?” tanyaku sembari menutup loker dan menguncinya kembali.
Alfi menggeleng, wajahnya yang tadi bersemangat kini berubah. “Kita ke rumah sakit, orang tuaku ada di sana.”
***
Aku sampai di rumah sakit setelah sekitar tiga puluh menit perjalanan dengan bus, sebelumnya aku sudah meminta izin ke orang tuaku kalau aku harus ke suatu tempat untuk membantu teman, dan untung saja Mama langsung mengizinkanku tanpa banyak tanya.
Aku menghela napas sebelum melangkahkan kaki ke dalam rumah sakit. Aku tidak suka rumah sakit sejak dulu, bukan karena takut berobat atau apa, tetapi di rumah sakit itu tidak pernah sepi ... dari penampakan. Di sini banyak sekali arwah yang berkeliaran dan aura mereka begitu kuat.
Kami naik lift menuju lantai tiga, kata Alfi orang tuanya ada di sana. Dalam diam aku berjalan di lorong bersama Alfi sembari berdoa agar arwah-arwah itu tidak menggangguku. Setidaknya di lorong lantai tiga ini mereka tidak terlalu menampakkan diri, entah karena apa.
Alfi berhenti di depan sebuah ruang rawat inap, membuat langkahku juga terhenti. Apa kami sudah sampai?
“Sebenarnya siapa yang sakit?” tanyaku sembari menoleh pada Alfi yang masih diam di depan pintu rawat inap.
“Adikku,” jawab Alfi pelan. “Dia kecelakaan Desember lalu dan sekarang koma.”
“Adikmu kecelakaan sebulan setelah kepergianmu?” gumamku. “Aku merasa ada yang aneh di sini.”
Alfi hanya mengangguk, dia menunjuk pintu ruang rawat inap.
Aku mendekap erat amplop Alfi. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam amplop ini, tetapi apapun isinya, pasti hal itu penting untuk Alfi yang mana sampai membuat kematiannya tidak tenang. Aku menghela napas, yang perlu kulakukan hanya memberikannya pada ibunya Alfi lalu pulang.
Aku mengetuk pintu, menunggu beberapa saat tetapi tidak kunjung ada jawaban.
“Masuk saja, hanya ada Rey di dalam, orang tuaku lagi keluar, sebentar lagi mereka ke sini,” ujar Alfi.
“Rey itu adikmu yang koma?” tanyaku.
“Iya, Reyhan adikku,” gumamnya.
Alfi melayang rendah ke sebelahku, menungguku membuka pintu. Aku menghela napas sebelum memutar kenop pintu dan mendorong pelan pintu.
“Permisi,” ucapku sembari melangkahkan kaki ke dalam.