After Ecstasy

Varenyni
Chapter #9

8. Petunjuk Lain

Aku hari ini tidak naik bus, tetapi diantar Papa saat berangkat sekolah, kebetulan ia tidak begitu sibuk sehingga tidak buru-buru pergi ke kantor.

Aku berjalan di antara pertokoan, sebenarnya tadi Papa ngotot ingin mengantarku sampai sekolah---aku memintanya diturunkan di jalan setapak dekat toko-toko. Aku mau beli sesuatu dan jarak toko dengan sekolah juga dekat.

Aku melihat-lihat keadaan sekitar, jalan setapak pagi ini sudah ramai oleh siswa-siswi sepertiku, bahkan banyak anak Laverna yang masih berkeliaran, beberapa dari mereka menyempatkan diri untuk singgah di toko, membeli sesuatu.

Aku mencari-cari toko roti yang kata Alisa rasanya paling enak. Aku mau beli brownies, nanti bisa dimakan sama teman-temanku saat di kelas---waktu istirahat maksudnya.

Aku melewati gang-gang yang ditempati kucing liar, atau bahkan arwah yang terlantang-lantung, untung saja mereka tidak menggangguku.

Bugh!

Bugh!

Suara pukulan terdengar, lantas disusul suara gedebuk orang jatuh. Aku buru-buru berlari ke gang sebelah toko roti---tempat suara itu berasal.

Belum sempat aku melihat apa yang terjadi di sana, tiba-tiba seorang laki-laki yang memakai seragam SMA dilemparkan hingga kepalanya teratuk sepatuku.

Di dalam gang sana terdapat empat atau lima pria yang terlihat bengis, mereka berwajah menyeramkan. Pemuda yang tadi terlempar masih tidak bergerak, posisinya terkelungkup, hingga aku tidak bisa melihat wajahnya.

"Hei! Kalian beraninya main keroyokan! Sini kalo berani rame-rame! Aku panggilin polisi, komnas perlindungan anak, sekalian orang sekompleks!" Entah dapat keberanian dari mana, aku berani membentak mereka.

Padahal mereka melotot saja aku sudah ketakutan dan badan gemetar.

"Kau anak kecil, jangan ikut campur kalau kau masih sayang nyawamu," ujar salah satu dari mereka.

Aku menahan napas dan berkeringat dingin. Untung saja mereka tidak benar-benar mau menghabisiku, mereka pergi begitu saja, melewati gang sempit yang entah ke mana tujuannya.

Aku berjongkok, menepuk pelan bahu pemuda itu. "Hei, kamu tidak apa-apa?"

Aku sedikit menggoyang bahu pemuda itu karena tidak mendapat respons darinya.

Tiba-tiba saja tangan pemuda itu menggenggam tanganku yang tadi menggoyang-goyangkan bahunya.

"Jangan disentuh, Falyn, masih sakit," ucapnya dengan suara lemah.

"Azhel!?" seruku.

Aku buru-buru membantunya duduk. Keadaannya sangat buruk, Azhel terlihat lemah, bahkan tadi dia tidak sanggup duduk, jadinya aku membantunya menepi dan menyandarkan punggung Azhel di dekat toko roti.

Wajah Azhel penuh lebam dan darah, seragam putihnya ternodai darah di bagian dada dan bahu yang tadi aku sentuh---pantas saja dia tadi mengaduh kesakitan. Seragamnya juga kotor terkena tanah.

"Kenapa kau bisa sampai begini? Kita ke rumah sakit ya? Aku panggil ambulans dulu."

Tanganku dihentikan Azhel saat hendak mencari ponsel. Azhel menggeleng lemah, dia membuka mulutnya, hendak bicara tetapi terlihat kesusahan.

Aku mengambil air minumku dan memberikannya pada Azhel. Pemuda itu meminumnya beberapa teguk dan aku sekalian menyuruhnya mencuci muka agar tidak ada sisa darah-darah di wajahnya.

Aku mengambil tisu di tasku. Aku hendak membantunya membersihkan luka, tetapi Azhel mencegahku. "Tidak usah, Falyn, kau tidak boleh menyentuh darahku. Nanti tanganmu kotor."

Aku hanya bisa memandangnya saat dia dengan telaten membersihkan luka di wajahnya. Aku membereskan tisu-tisu dan botol air minum tadi.

"Jangan beri tahu siapa-siapa, apalagi Alisa. Aku baik-baik saja, nanti bisa sembuh sendiri," ujar Azhel, lantas dia mencoba berdiri, untung saja dia tidak oleng.

"Ayo ke sekolah sekarang, nanti terlambat," ucap Azhel, suaranya sudah tidak selemah tadi.

"Yakin? Atau mau bolos dulu? Ke rumah sakit?" tanya Falyn.

Azhel menggeleng, lalu dia tersenyum tipis dan mengelus pelan kepalaku. "Kau baik sekali sampai rela bolos, tapi tidak perlu, Falyn. Aku baik-baik saja, nanti sembuh sendiri. Percayalah, aku kuat."

Dengan ragu aku akhirnya menurut saja. Aku melepaskan hoodie yang kupakai dan memberikannya pada Azhel, dia tampak bingung.

"Pakai saja, apa kau mau dikira habis digigit zombi?" tanyaku.

Lihat selengkapnya