Masih dengan seragam putih abu-abu yang melekat di tubuhku, padahal jam pulang sekolah sudah berlalu sejam yang lalu.
Aku sekarang duduk di sofa rumahku dengan Vino yang ada di depanku.
Setelah kejadian menguras emosi di rumah sakit kemarin, esoknya aku sudah bersekolah. Alisa heboh menanyaiku karena mataku sembab. Semalam aku juga habis menangis karena lagi-lagi aku teringat Eri, aku memang tidak bisa mudah melepaskan seseorang, apalagi orang seperti Eri. Dia kakakku yang kusayangi, walau dia menyebalkan.
Di sekolah tadi mood-ku benar-benar buruk, hingga tidak ada yang berani cari gara-gara denganku, terutama Ailan.
Aku bertemu Vino saat pulang sekolah. Aku mengajaknya ke rumahku, karena tidak mungkin kalau kita bicara di cafe atau tempat tongkrongan lainnya, bisa-bisa mereka menyeretku ke rumah sakit jiwa karena aku kedapatan bicara sendiri.
Alasan lainnya karena hari ini orang tuaku pergi ke luar kota, jadi aku di rumah sendirian. Lebih enak jika bicara di rumah dengan Vino.
Vino duduk di sofa yang berhadapan denganku. Dia menyisiri pandangan ke sekitarnya.
Keadaan Vino masih seperti terakhir kali aku melihatnya, ia memakai seragam SMA Laverna, rambutnya acak-acakan, dia tampak lebih ceria daripada saat aku terakhir kali melihatnya.
"Apa Kak Vino tidak ingat apa yang terjadi semasa hidup Kakak?" tanyaku, memulai pembicaraan.
Vino menggeleng. "Aku bahkan tidak ingat namaku, keluarga dan teman-temanku."
Aku menghela napas kecewa, kenapa Vino tidak bisa ingat siapapun? Dia seperti terlahir kembali dengan ingatan baru.
Apa arwah bisa amnesia? Aku menggeleng. Pemikiran aneh mulai muncul di kepalaku.
"Aku akan membantu Kak Vino agar ingat, tapi aku tidak terlalu kenal Kak Vino," ucapku.
Vino tersenyum. "Tidak apa-apa, Falyn. Sedikit bantuanmu sangat berarti untukku."
Tolong, untuk oknum yang bernama Vino, jangan tersenyum. Aku nantinya akan semakin sulit untuk melepaskanmu dan melupakanmu.
"Aku bertemu Kak Vino pertama kali itu Januari 2016 di rumah ini." Aku mengawali cerita.
"Di rumah ini?" Vino terkejut. "Pantas saja aku merasa familier dengan rumah ini, suasana dan tata letak ruangan ini."
Aku terkekeh melihat wajah terkejut Vino. "Kak Vino waktu itu kelas sepuluh semester dua, kalian baru jadian dengan Kak Eri."
"Eri itu siapa?"
Pertanyaan Vino membuatku terdiam. Kalau saja Eri mendengar langsung pertanyaan itu, dia mungkin akan sedih, karena Eri sangat menyayangi Vino, begitu juga sebaliknya.
"Dia kakakku dan dia sudah tiada," jawabku dengan suara pelan.
"Maaf membuatmu sedih," balas Vino.
Aku tersenyum seperti orang tolol dan geleng-geleng kepala. "Hahaha, aku nggak sedih kok Kak. Mungkin sedikit rindu."
Aku mengambil kotak yang ada di atas meja---kotak itu tadi kuambil dari kamar Eri. Aku membuka kotak itu dan mengeluarkan semua foto Eri, di sana banyak sekali foto Vino saat di sekolah, juga foto Eri dan Vino saat berdua.
Aku mengeluarkan satu foto Eri dan satu foto mereka berdua. "Ini foto kakakku, dan ini foto saat kalian ke sini, aku yang memfoto, jadi hasilnya tidak terlalu bagus."
Vino memandang foto Eri begitu lama sampai-sampai dia tidak berkedip, lantas kedua sudut bibir Vino terangkat ke atas, dia bergumam, "Cantik, sekali melihat fotonya aku bisa jatuh cinta."
Aku tersenyum pedih mendengarnya. Vino memang sesayang itu sama Eri. Kakakku bahkan pernah cerita kalau Vino sudah suka Eri saat pandangan pertama.
Saat itu Eri cerita bagaimana pertemuannya dengan Vino. Waktu sekolah dulu, Vino pernah dihukum guru biologi dan hukumannya yaitu berdiri di pinggir papan kelas IPA 1, yang mana kelasnya Eri.
Eri saat itu tepat duduk di bangku depan, langsung menghadap Vino. Saat Vino tidak sengaja bertemu pandang dengan Eri, pemuda itu tersenyum. Dan kata Eri, Vino sudah jatuh cinta sejak itu.
"Kenapa Kak Vino dihukum?" tanyaku pada Eri waktu itu.
Eri tertawa bahkan sebelum dia menceritakan sebabnya, selalu saja. "Kata Vino sih dia dihukum karena tulang rangka di lab biologi dia pakaikan baju."
"Tengkorak putih itu?" tanyaku.
Eri mengangguk, dia masih tertawa. "Katanya kasian kalau nggak diberi baju, nanti dia kedinginan."
Aku saat itu tertawa terbahak-bahak karena pemikiran polos Vino.
"Aku seperti pernah melihat Eri," ucapan Vino membuatku tersadar dari lamunanku.
"Hah? Kakak melihat Eri dalam bentuk arwah?" tanyaku sekali lagi, sedikit berharap.
Walau dalam bentuk arwah sekalipun, aku berharap bisa bertemu Eri. Aku ingin meminta maaf padanya, seperti Rey yang meminta maaf pada kakaknya.
Vino menggeleng.
"Aku pernah melihat dia, bukan arwah, tapi manusia." Vino memandangi foto Eri. "Benar, aku yakin, dia orangnya."
"Di mana dan kapan Kak Vino melihatnya?" tanyaku cepat.