Februari 2018
Aku mematut diri di depan cermin yang ada kamar. Kutatap pantulan diriku. Aku memakai dress hitam selutut dengan gaya feminim, rambut kubiarkan tergerai bebas. Aku menaburkan sedikit bedak di wajahku, dan terakhir, kugoleskan sedikit liptint di bibir.
"Kenapa aku berdandan seperti ini? Aku kan hanya menghadiri pesta?" gumamku.
Tadi pagi aku sudah izin Mama agar diperbolehkan menghadiri pesta temanku, dan Mama mengizinkannya, asalkan tidak pulang terlalu malam.
Aku melirik bingkisan kado yang ada di atas ranjang. Tadi sepulang sekolah, aku mampir untuk beli kado. Dan kuputuskan untuk membeli jam beker Doraemon.
Aku tahu hadiah itu terlalu kekanakan untuk Ailan, tetapi aku tidak tahu lagi harus memberi apa. Jadi, kurasa jam itu cocok untuk Ailan.
Ponselku berdering. Aku mengambil ponsel yang terletak di atas nakas.
Si bocah Ailan memanggil ...
Aku menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel di dekat telinga.
"Cepat keluar rumah, aku sudah di depan rumahmu," ucap Ailan.
"What? Kau sudah sampai?" tanyaku terkejut. "Oke-oke, aku ke sana."
Aku membuka pintu rumah setelah izin Mama kalau aku akan berangkat. Di depan rumahku sudah ada Ailan yang duduk di motornya.
"Tumben kau tampak cantik, Falyn," ucap Ailan.
Aku cemberut. "Jadi biasanya jelek gitu?"
"Iya, jelek. Banget. Apalagi saat marah," jawab Ailan lantas tertawa lepas.
Tangan Ailan terulur, lantas dengan gerakan lembut dia mengelus rambutku. Aku sedikit tersentak.
Senyum terpatri di wajah Ailan membuat hatiku menghangat.
"Sudah, jangan cemberut lagi, nanti cantiknya hilang," ucap Ailan.
Pipiku memerah. Aku menggeleng, sudah cukup! Ailan tidak boleh mempermainkan perasaanku!
Aku menoyor kepala Ailan, tidak terlalu keras tetapi membuat dia terkejut. "Udah deh jangan sok romantis-romantisan, ayo nanti terlambat."
Ailan tertawa. "Falyn yang galak telah kembali."
Aku mengacamnya akan memberi bogeman kalau saja Ailan masih menggodaku.
"Oke-oke, aku diam. Sekarang ayo naik, nih helmnya." Ailan menyerahkan helm bergambar Doraemon padaku. "Selain ada hati yang harus kau jaga, kepalamu juga harus kau jaga."
Aku yang sudah duduk di boncengan Ailan, refleks menyolek pinggang Ailan, membuat pemuda itu menggeliat seperti ulat. Ailan itu tidak tahan geli.
"Bilang hal nggak masuk akal lagi, kutendang kau ke sungai," ancamku.
Tentu saja ancamanku tadi hanya main-main. Tenangaku tidak akan kuat kalau menendang Ailan, yang ada malah dia yang akan memegangi kakiku dan melemparku duluan ke sungai.
"Di sini kan nggak ada sungai," ujar Ailan sembari mulai menjalankan motornya. "Ingat jalan ke rumahku Falyn, suatu saat kau mungkin ingin ke rumahku lagi."
"Untuk apa aku ke rumahmu?"
"Rindu Ailan, mungkin," jawab Ailan sembari mengedikkan bahu.
***
"Akhirnya pemain utamanya datang!"
"Hei! Ailan datang!"
Seruan itu kudengar saat Ailan membuka pintu rumahnya. Aku masih berdiri di ambang pintu, takut-takut untuk masuk.
"Ailan ini, dia yang ulang tahun malah menghilang." Seorang pemuda tiba-tiba muncul di depan Ailan. "Eh, Falyn sudah datang?"
Aku mengerutkan dahi, sepertinya aku mengenal pemuda itu. "Rudi?"
Rudi, anak kelas IPA 1, yang juga anak basket. Aku menduga kalau Deny dan Alfa pasti juga datang, mengingat ketiganya orang yang aku tahu paling dekat dengan Ailan saat di sekolah.