Menit-menit terakhir sebelum bel istirahat berbunyi, aku tidak lagi mendengar celotehan Ailan. Tepat setelah bel berbunyi, aku menoleh ke belakang dan mendapati kepala Ailan yang terkelungkup di meja.
Aku memperhatikan wajah Ailan yang tertidur pulas, wajah pemuda itu tampak damai. Kacamata yang dipakai Ailan sepertinya mengganggu tidurnya.
Entah karena dorongan apa, aku mengulurkan tangan untuk mencopot kacamata Ailan dengan gerakan perlahan agar si empunya tidak terbangun.
Aku menghela napas lega setelah berhasil melepas kacamata Ailan tanpa membuat pemuda itu terbangun. Mungkin tadi malam Ailan sibuk dengan urusannya di rumah sakit hingga larut malam, jadi dia kurang tidur.
Aku tersenyum kecil saat memperhatikan wajah Ailan yang terlelap. Saat pertemuan pertama kami dulu, kami sering sekali bertengkar, mendebatkan sesuatu yang tidak jelas dan saling melempar tatapan sinis saat bertemu. Ailan dulu selalu berwajah jutek dan tidak pernah bersikap halus.
Namun Ailan sekarang berbeda. Entah setan apa yang merasukinya, dia sekarang begitu peduli padaku, yang mana kepeduliannya itu membuatku salah paham.
Kami juga sudah jarang bertengkar lagi, kalaupun bertengkar, Ailan akan mengalah lalu mencubit hidungku. Dia juga mau membantuku mengajari materi matematika jika aku masih belum paham. Dulu dia mana mau mengajariku, malahan sering mengajak bertarung agar mendapat nilai tertinggi.
Aku tidak tahu perasaan apa ini, tapi aku nyaman diperlakukan seperti itu oleh Ailan.
Aku menunduk, memperhatikan kacamata Ailan yang masih kupegang. Aku iseng mencoba kacamata Ailan, mau membuktikan sesuatu, apakah mata Ailan benar-benar minus atau ini hanya kacamata biasa.
Saat memakai kacamata Ailan, bukan buram atau kemungkinan lainnya yang sempat aku kira. Aku terkejut saat melihat sekelilingku dipenuhi asap berwarna-warni.
Aku buru-buru melepas kacamata Ailan untuk memastikan apakah ada kebakaran di sekolah sehingga kelas dipenuhi asap.
Aku menganga tak percaya saat tidak menemukan satupun asap saat melepas kacamata Ailan.
"Kacamata apa ini?" gumamku.
Aku lantas mencoba kembali kacamata bulat Ailan dan kini menghadap ke tembok---di sana ada beberapa makhluk halus yang sedari tadi memperhatikanku. Aku hampir memekik kaget saat melihat makhluk-makhluk itu tiba-tiba menghilang dan saat kulepas kacamata, mereka kembali muncul.
"Falyn, ada ap---" Kurasa Ailan terbangun, ia dengan cepat berdiri di depanku, tubuhnya menghalangiku sehingga aku tidak bisa melihat keberadaan makhluk-makhluk itu.
Ailan menunduk, ia medekatkan wajahnya dengan wajahku, lantas dengan lembut ia melepas kacamata yang kupakai, lantas dia memakainya. "Kenapa kau memakai kacamata ini? Kau tidak memerlukan kacamata ini."
"Kacamata apa itu Ailan? Kenapa saat aku pakai tadi jadi banyak asap, lalu aku nggak bisa melihat mereka," tanyaku.
"Ini hanya kacamata biasa, Falyn, bukan kacamata aneh-aneh, padahal saat kupakai nggak ada tuh asapnya," jawab Ailan.
Setelah berkata demikian, Ailan kembali duduk di kursi, ia memandangku sejenak.
"Tumben nggak makan bareng Alisa sama Azhel?" tanya Ailan.
"Mereka masih ada urusan, sebentar lagi datang," jawabku.
Padahal biasanya Ailan akan mengajakku makan di kantin, jadi aku akhir-akhir ini jarang makan bersama si kembar.
"Aku nggak ke kantin dulu, ada urusan sama anak IPA 1," ujar Ailan seakan-akan membaca isi pikiranku.
Aku hanya mengangguk kecil. Aku melirik pintu kelas, Azhel dan Alisa belum kembali karena mereka bilang ada urusan dengan salah satu guru.
"Semalam siapa yang sakit? Kau sampai begadang gitu."
Ailan menggeleng. "Nggak ada yang sakit. Aku begadang karena menunggu orang tuaku."
"Hah? Kau ke rumah sakit tapi tidak ada yang sakit, tapi kau sampai begadang karena menunggu orang tuamu?" Aku memiringkan kepala.
"Aku memang sering ke rumah sakit, sekalian nunggu orang tuaku pulang, mereka kan dokter di sana," jawab Ailan.
Aku takjub mendengar bahwa kedua orang tua Ailan berprofesi sebagai dokter. Profesi itu impian mamanya.
"Mereka kan jarang pulang karena sibuk, dan sekalinya pulang pasti larut, jadi aku sekalian nunggu di rumah sakit," lanjut Ailan.
"Kenapa kau tidak pernah bilang kalau orang tuamu dokter?" Aku tidak tahu kenapa menayanyakannya.
"Memangnya harus?"
"Setidaknya cerita padaku, jadi dokter itu keren tahu," jawabku bersemangat.
Ailan hanya menanggapi dengan senyum tipis, dan aku tahu ada luka tersembunyi di balik senyumnya. "Keren apanya? Mereka sampai lupa pulang."
Pemuda itu mengulurkan tangan dan mengelus pelan rambutku. Perlakuan itu entah kenapa membuatku nyaman, aku tidak lagi membentaknya karena Ailan biasanya merusak tatanan rambutku.
"Aku pergi dulu ya? Tuh Azhel sama Alisa sudah datang." Ailan menunjuk si kembar yang baru tiba di kelas.
"Jangan terlalu dekat dengan Azhel ya? Nanti aku cemburu," bisik Ailan sebelum berlari kecil.