Ini mungkin salah satu hal gila yang pernah kulakukan dalam hidup. Aku mondar-mandir di rumah sakit tempat dulu Rey dirawat hanya untuk melihat satu per satu pasien yang ada di sini.
Jadi begini, aku datang bersama Vino. Pemuda itu yang memeriksa kamar satu per satu dengan cara menembus pintu atau tembok sedangkan aku menunggu di luar kamar.
Aku tidak mau mempermalukan diri dengan memeriksa sendiri satu persatu kamar rawat inap. Nanti yang ada, orang-orang di dalam sana malah menatapku dengan pandangan aneh.
Setelah beberapa jam mengelilingi rumah sakit, dari lantai satu sampai lantai empat, kami memutuskan untuk beristirahat di taman yang lumayan sepi.
Aku tidak tega melihat keadaan Vino. Wajahnya yang biasanya pucat kini bertambah parah, tubuhnya juga semakin transparan, dia sekarang duduk di sebelahku dan terlihat kelelahan.
"Kak Vino istirahat dulu, kita lanjutkan pencariannya besok," ujarku.
Vino dengan napas yang masih terengah-engah mengangguk. "Iya, aku kehilangan banyak energi."
Aku tersenyum tipis, tidak tahu harus melakukan apa.
"Mau mati rasanya," kata Vino, lantas dia menggeleng. "Aku kan sudah mati."
Aku menggeleng, hendak menyentuh bahu Vino, tetapi malah menembus tubuhnya, yang mana malah membuat Vino kesakitan.
"Maaf, maaf. Kakak jangan bilang gitu lagi," ujarku dengan nada sedikit ngambek.
Vino terkekeh. "Aku kan emang sudah mati, Falyn."
Aku menggeleng keras. "Kakak belum mati, Kakak hanya koma. Jangan bilang gitu lagi, Kak."
Vino tersenyum tipis.
"Maaf, Kak. Aku nggak bisa bantu banyak, lain kali aku akan coba untuk memeriksa satu persatu kamar rawat inapnya," kataku sembari menunduk.
Vino tiba-tiba jongkok di depanku, yang mana membuatku mau tak mau mengangkat kepala.
"Nggak, Falyn. Kau sudah banyak membantuku, kau juga nggak perlu satu persatu memeriksa semua rumah sakit di negeri ini. Aku yang akan melakukannya," ujar Vino.
"Tapi aku kan mau membantu, Kak Vino." Aku memasang wajah melas.
"Iya, Falyn juga harus membantu. Saat Falyn sibuk sekolah, aku yang akan keliling rumah sakit, jadi kita tidak buang-buang waktu," kata Vino lembut, dia lantas kembali duduk di sebelahku.
Aku mengangguk.
"Asal Kak Vino tahu, kau itu cinta pertamaku," ujarku tanpa sadar. "Aku jahat banget kan Kak sampai-sampai mencintai orang yang Eri cintai. Aku tuh adik yang nggak tahu diri banget."
Vino tersenyum tipis. "Hati nggak bisa dipaksakan, Falyn."
"Apa Kakak nggak marah?" tanyaku.
Vino menggeleng. "Itu kan pilihan hatimu. Tapi sekarang bagaimana? Perasaanmu masih sama atau tidak?"
Aku menggeleng. "Aku nggak tahu, Kak. Ada orang yang membuat perasaanku terombang-ambing."
"Aku tebak, pasti Ailan kan?"
Entah mengapa, mukaku terasa panas, pipiku pasti memerah sekarang.
Vino tertawa. "Kalau cewek sudah malu-malu, berarti jawabanku benar. Lelaki yang membuat perasaanmu yang terombang-ambing itu pasti Ailan."
"Kakak ini." Aku menutup muka karena malu.
"Walau aku nggak kenal Ailan, tapi sepertinya dia lelaki yang baik." Vino menatapku. "Selama aku mengikutinya beberapa bulan ini, dia tidak pernah dekat sama cewek lain selain kau, dia juga nggak ada catatan kenakalan, yang terpenting, dia anaknya penurut, apalagi sama orang tuanya."
***
Di kelas sedang ramai, tidak terkontrol, aku sampai pusing melihat kelakuan teman-temanku.
Jam pelajaran kali ini kosong dan tidak ada guru piket yang menggantikannya. Bukankah situasi ini seperti mendapat jackpot bagi murid-murid? Dan tentu saja aku menyukainya, aku tidak sesuka itu pada pelajaran atau belajar sama seperti Ailan.
Bicara tentang Ailan, dia dan Azhel sibuk mengurus sesuatu dengan anak IPA 1. Tumben sekali mereka berdua akur.
Karena bosan, aku menumpang di bangku Alisa, sedangkan si pemilik bangku sedang sibuk menulis sesuatu di lembaran kertas.
Alisa sangat serius menulis, ia sampai mengabaikanku, padahal dia tidak pernah begitu sebelumnya.
Aku hanya menakutkan satu hal.