14 Februari 2018
Aku menatap kalender di atas nakas. Hari ini tanggal empat belas, di kalender aku sudah melingkari tanggal itu dengan spidol berwarna merah.
Seharusnya hari ini hari valentine yang menyenangkan seperti tahun-tahun sebelumnya, tetapi tidak bagiku semenjak tahun 2016.
Hari ini bertepatan dengan dua tahun kematian Eri, atau mungkin menghilangnya Eri? Aku tidak yakin, karena kabar tentangnya sama sekali tidak ada.
Aku hanya berharap suatu hari Eri mengetuk pintu rumah dan pulang, tentunya aku akan memeluknya paling erat. Atau setidaknya aku bisa menemuinya walau dalam bentuk arwah sekalipun.
"Kau pandai sekali bersembunyi ya, Eri?" gumamku sembari menatap pantulan wajah di depan cermin. "Sampai sekarang aku bahkan nggak bisa menemukanmu."
Aku mengambil tasku yang tergeletak di atas ranjang, lantas memeriksa penampilanku sebelum bersiap untuk berangkat sekolah.
"Di permainan petak umpet ini, kau yang menang, Eri."
***
Saat perjalanan menuju kelas, kudengar cewek-cewek di kelas sebelah berteriak kegirangan, lalu saling memberi selamat. Memangnya ada yang menikah?
Aku menoleh karena rasa penasaran. Mereka berteriak karena loker mereka banyak berisi cokelat, bunga dan surat.
Aku menggeleng pelan sembari melanjutkan langkah menuju kelasku.
Baru saja aku hendak bersyukur karena kelasku tidak serame kelas lain, tetapi tiba-tiba saja Alisa menarik tanganku dan menyeretku ke pojokan kelas.
"Ada apa sih?" tanyaku.
Alisa cengengesan, dia lantas menunjukkan sesuatu yang dia sembunyikan di balik punggungnya.
"Taraaa!" Alisa mengeluarkan beberapa cokelat seperti yang pernah kulihat di kelas sebelah dan sebuah surat dengan gambar-gambar kelinci yang imut.
"Kakak kelas itu membalas suratku, Falyn!" serunya bahagia, dia bahkan melompat-lompat saking bahagianya.
Aku tersenyum. "Kalau begitu selamat, itu artinya cintamu tidak bertepuk sebelah tangan."
Aku lantas merangkul Alisa dan membawanya kembali ke mejanya, sedangkan aku duduk di tempatku sendiri.
"Falyn," panggil Ailan, tetapi aku tidak menemukan keberadaannya.
"Di belakang."
Aku menoleh ke belakang, Ailan berdiri memunggungiku, ia sibuk mengurus sesuatu lokernya.
"Kenapa, Ailan?" tanyaku.
"Kemari sebentar," jawab Ailan.
Aku mendengus, padahal baru saja aku duduk. Walau begitu, aku tetap berdiri dan melangkahkan kaki menuju Ailan.
"Ada apa?" tanyaku malas.
"Sebentar," jawab Ailan, dia masih sibuk mengotak-atik sesuatu di lokernya.
Aku heran, kenapa Ailan suka sekali menyembunyikan sesuatu di lokernya? Aku curiga, jangan-jangan loker itu seperti kantung ajaib Doraemon, yang bisa mengeluarkan apa saja. Karena Ailan sangat menjaga loker itu, bahkan dia tidak membiarkan orang lain tahu isi lokernya.
Setelah beberapa menit menunggu, Ailan selesai berurusan dengan lokernya yang sangat menyebalkan di mataku itu.
Ailan mengeluarkan banyak cokelat dan beberapa buket bunga, ia lantas memberikannya padaku.
"Woah, apa ini? Kenapa kau memberikannya padaku?" tanyaku.
"Ya karena aku ingin memberikannya untukmu, kasihan nggak ada yang memberikanmu cokelat dan bunga," jawab Ailan.
Aku mengerucutkan bibir. "Kau ini menyebalkan, Ailan. Tapi terima kasih bunga dan cokelatnya."
Aku tersenyum lebar.
Ailan mengelus pelan rambutku. "Udah sana, sebentar lagi guru datang."
Aku mengangguk, lantas menaruh bunga yang diberikan Ailan di loker dan aku mengambil satu cokelat untuk nanti aku makan saat pelajaran berlangsung.
Tepat saat aku menutup pintu lokerku, aku dikejutkan dengan kedatangan Azhel.
"Mau cokelat?" tanyanya sembari menyodorkan beberapa batang cokelat.