After Ecstasy

Varenyni
Chapter #20

19. Erina Renalisa

Aku berlari menuju halte, untung saja masih sempat naik bus, kalau tertinggal sudah dipastikan aku akan terlambat ke sekolah dan dihukum.

Tanpa melihat-lihat orang-orang di sekitar, aku duduk di bangku depan yang tersisa.

Aku masih berusaha mengatur napas, tetapi orang di sebelahku tiba-tiba menepuk bahu dan memanggilku, yang mana membuatku tersentak kaget.

"Falyn? Apa aku mengejutkanmu?" tanya orang yang duduk di sebelahku, yang tidak lain adalah Ailan.

Tanganku refleks menepuk keras punggung Ailan. "Kaget tahu! Kirain setan!"

Ailan tertawa, ia meraih tanganku yang masih menempel di punggungnya, lantas ia menggenggam tanganku dan menaruh di atas pahanya.

Entah kenapa, akhir-akhir ini aku sering sekali bertemu dengan Ailan. Pemuda itu juga selalu bersikap manis kepadaku, Ailan yang dulu menyebalkan dan jutek sudah tidak ada lagi, kini digantikan dengan Ailan yang perhatian dan selalu ada untukku.

Entah kenapa, aku mulai merasa nyaman dengan Ailan.

"Mungkin kita nanti sedikit terlambat, di depan ada kemacetan," ujar Ailan sembari tangannya yang lain bermain ponsel, ia menunduk, fokus membaca sesuatu di ponselnya.

Aku berusaha menarik tanganku yang masih digenggam Ailan. Namun pemuda itu malah mengeratkan genggaman tangannya, enggan melepas tanganku.

"Ailan, tanganku, lepasin," ujarku. "Kita bukan mau nyebrang jalan ya."

Ailan menatapku dengan irisnya yang hitam itu, ia lantas menggeleng. "Nggak boleh dilepas, kalo dilepas, bakalan ada tangan lain yang menggenggammu. Hanya Ailan yang boleh menggenggam tangan Falyn."

Aku menghela napas, karena merasa gemas, aku mencubit pipi Ailan. "Sejak kapan kau jadi begini sih, Ailan? Siapa yang membuatmu berubah? Ke mana Ailan yang suka marah, cuek dan musuh abadiku itu?"

"Ada seorang gadis yang membuatku berubah. Dia dari kelas IPA 3, dia dari SMA Laverna juga, sama sepertiku dan kau, gadis itu aneh dan bodoh, mau tahu namanya? Falyn Renalisa," balas Ailan.

Aku refleks memukuli Ailan setelah kedua tanganku bebas. Tenang saja, tidak sampai membuatnya babak belur, memangnya sekuat apa tenagaku?

"Kau menyebalkan, Ailan. Kau bilang aku bodoh?"

Ailan tertawa, dia bahkan tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitar. "Benar ucapanku kan? Kau tidak pandai matematika, remed terus."

Aku cemberut. "Aku bukannya bodoh, hanya saja aku tidak sombong, makanya saat menjawab soal ulangan, aku salahkan beberapa jawaban biar nggak disuruh ikut olimpiade."

"Eh, malah kelepasan salah semua," sahut Ailan.

"Ailan." Aku merengek. "Aku nggak salah semua ya? Masih benar tiga."

"Dari sepuluh soal," balas Ailan, dia lantas tertawa lagi.

"Ih, menyebalkan! Kau masih menyebalkan, Ailan."

Ailan tertawa sampai-sampai matanya berair dan perutnya terasa sakit, bertepatan dengan itu bus berhenti.

Aku menarik tangan pemuda itu agar berdiri, sedangkan dia cekikikan saat melihatku masih cemberut.

"Sudah jangan ketawa," semburku.

"Hei, jangan romantis-romantisan di sini, banyak yang jomblo, mending kita cepat turun sebelum gerbang ditutup," sahut seseorang, yang mana suaranya mirip Alisa.

Aku refleks menoleh ke belakang, terkejut saat menemukan saudara kembar itu ternyata duduk di belakangku.

"Alisa? Azhel? Sejak kapan kalian di situ?" tanyaku.

Alisa memutar bola mata. "Sejak tadi, Falyn. Kalau begitu aku turun duluan."

Azhel tersenyum saat mata kami bertemu pandang. "Mau turun bersama, Falyn?"

Aku menggeleng kuat, masih ada rasa takut saat melihat Azhel karena teringat kejadian kemarin. "Kau duluan saja."

Ailan merangkulku dan berbisik, "Dia beneran Azhel, tenang saja."

Aku turun dari bus, diikuti Azhel di belakang. Alisa menarik tangan Azhel agar jalannya lebih cepat, gadis itu tampak rewel karena takut dihukum, sedangkan Azhel tampak lebih pendiam daripada biasanya.

"Azhel kau sudah sembuh?" tanyaku.

Azhel mengerutkan kening dan terdiam, sampai-sampai Alisa menyikut perut Azhel.

"Ah ... sepertinya aku sudah sembuh," ujar Azhel, ia tampak gugup.

"Apa kau menyembunyikan sesuatu, Azhel?" Aku tidak tahu kenapa pertanyaan yang seharusnya hanya kusimpan di benak itu malah keluar.

Alisa dan Ailan jalan beberapa langkah lebih dulu, seperti paham jika aku membutuhkan waktu berdua dengan Azhel.

Azhel tertawa, tetapi aku tahu dari suaranya kalau tawa itu menyembunyikan luka yang dalam. "Aku nggak apa-apa, Falyn. Aku nggak nyembunyiin apa-apa, tenang saja."

Mataku memicing. "Kau bohong."

"Sulit sekali ya menyembunyikan sesuatu darimu? Baiklah, aku sekarang jujur, kemarin aku habis kecelakaan," ujar Azhel.

"Kecelakaan? Kok bisa? Apa parah? Mana yang sakit?" tanyaku khawatir sembari memutari tubuh Azhel.

Azhel menyuruhku tenang. "Aku baik-baik saja, lukaku sudah sembuh, kan aku pernah bilang padamu kalau aku ini manusia super."

"Jangan bercanda, Azhel. Mana ada manusia super? Dan kemarin bagaimana bisa kau kecelakaan?" tanyaku.

"Jangan keras-keras, Alisa tidak tahu hal ini. Kemarin aku tidak berangkat bersama Alisa, dan aku ditabrak mobil. Dan aku ini beneran manusia super," balas Azhel dengan nada bercanda.

"Ih, aku serius, Azhel. Tapi ... kau tidak apa-apa kan?"

Azhel tersenyum tipis dan mengangguk. "Aku baik, kemarin cuma patah tulang dan langsung sembuh. Tapi aku bilang ke Alisa kalau aku diare."

Lihat selengkapnya