After Ecstasy

Varenyni
Chapter #22

21. Doraemon Atau Aku?

"Siapa orang kurang ajar yang melakukan hal itu?"

Aku mengepalkan tangan, tidak terima.

Eri menghapus air matanya, ia menyuruhku untuk tenang karena percuma saja kalau aku marah-marah, semua sudah terjadi.

"Dia Arga, temannya Vino," jawab Eri pada akhirnya.

Aku membelalakkan mata karena mendengar nama itu. "Novalia Arganta? Mantan ketua OSIS itu?"

Aku sebenarnya tidak begitu ingat wajah Arga, aku hanya tahu namanya saja karena nama itu sering seliweran di media sosial dan aku sering dengar teman-teman berbicara tentangnya. Kalau saja aku tahu wajahnya, sudah pasti akan aku tonjok wajahnya.

Eri mengangguk. "Aku juga awalnya tidak percaya, selama di sekolah dia punya pencitraan yang baik, mana aku tahu kalau dia mengincarku sejak lama dan dia bahkan terang-terangan memusuhi Vino."

"Dia mencintai Kakak?" tanyaku.

"Dia lebih seperti terobsesi," jawab Eri, dia lantas mengembuskan napas lelah, walau di sana tidak ada napas seperti manusia. "Arga itu gila! Aku bahkan tidak menyangka ada manusia seperti dia yang hidup di dunia ini."

"Maafkan aku karena tidak bisa menemukanmu dengan cepat," ujarku dengan nada lirih. "Dua tahun ini kau pasti kesulitan kan?"

Bukannya marah, Eri malah tersenyum tulus, dia menepuk pelan kepalaku walau yang kurasakan hanya hawa dingin. "Kau tidak perlu minta maaf, karena sulit juga kau menemukanku waktu itu, orang gila itu membawaku ke luar negeri dan kau bahkan tidak pernah ke luar negeri."

Aku menunduk. "Walau begitu aku merasa bersalah. Aku merasa bersalah pada setiap tangisan yang Mama dan Papa keluarkan setiap malam, aku merasa bertanggung jawab atas kesedihan yang selama ini mereka rasakan."

"Semuanya akan baik-baik saja, Falyn, kita akan kembali seperti dulu, yang perlu kita lakukan hanyalah menemui pria brengsek itu dan menanyakan di mana dia menyembunyikan tubuhku yang koma," ujar Eri.

Aku mengangkat kepala, menatap mata Eri yang penuh kebencian, seperti ada api yang menyala-nyala di matanya.

"Aku akan mencari dia," balasku mantap.

Suara derap langkah kaki terdengar, semakin dekat dan semakin keras. Aku fokus pada sumber suara, aku takut ada sesuatu yang tidak terduga tiba-tiba datang seperti macan misalnya, walau aku tidak tahu pemikiran random itu dari mana.

"Falyn! Kau tidak apa-apa?"

Suara Ailan terdengar. Dia berlari mendekatiku dengan napas yang ngos-ngosan, ia menatapku dari atas hingga bawah, memeriksa apakah aku terluka atau tidak.

"Aku tidak apa-apa, kenapa kau masih ada di sini?" tanyaku.

"Aku melihat aura kemarahan yang sangat besar di sekitarmu, dan aku tidak mungkin meninggalkanmu sendirian di sekolah, aku akan menunggumu sampai selesai dengan urusanmu," jawab Ailan.

Aku menoleh pada Eri di sebelahku, kakakku itu juga terkejut akan kedatangan Ailan.

"Bocah ini," gumam Eri.

"Tidak apa-apa, Ailan, jangan khawatir, itu aura kakakku," jawabku.

"Beneran? Bukan arwah jahat yang lagi menyamar? Aku takut kau kenapa-kenapa," balas Ailan khawatir.

"Iya, tidak mungkin aku tidak mengenali kakakku sendiri."

"Kalau begitu biarkan aku di sini setelah ini aku akan mengantarmu pulang," katanya.

Aku memutar bola mata malas. Aku melangkah mendekati Ailan dan ku dekatkan wajahku di telinganya. "Kau masih berhutang cerita padaku tentang bagaimana kau tahu kalau ada aura kuat di sini."

Ailan meneguk ludahnya, ia mengangguk patuh seperti terhipnotis.

"Kupikir kau mau menciumnya," celetuk Eri.

Aku refleks menoleh ke belakang dan menatapnya tajam.

"Kita lanjutkan pembicaraan kita nanti ya di rumah," kataku pada Eri, mungkin yang Ailan lihat aku hanya berbicara dengan angin kosong.

Lihat selengkapnya