Aku melempar ponsel di ranjang kamar karena terlalu khilaf nonton drama, padahal niatku ingin belajar, tetapi kelepasan sampai menonton lima episode.
Aku berdiri, merenggangkan badan karena yang aku lakukan dari tadi hanya tiduran di kamar seperti seorang pengangguran.
"Aduh aduh."
Punggungku tiba-tiba terasa nyeri seperti seorang yang sudah berumur.
"Dasar jompo! Belajar sana, dari tadi main hp mulu!" Eri tiba-tiba datang dan menyemburku dengan omelannya.
"Iya, ini mau belajar," balasku lantas mendumal, aku duduk di meja belajar.
Berbicara soal Eri, aku mengajaknya untuk tinggal di rumah, dan aku belum memberitahu Papa Mama tentang Eri sebelum aku menemukan tubuhnya, aku takut kalau tubuh Eri tidak bisa ditemukan dan malah terkesan memberikan harapan palsu pada Papa Mama. Aku tidak ingin membuat mereka kecewa lagi.
"Mungkin enak jadi kau, nggak cape-cape jalan, bisa melayang-layang, pasti tubuhmu seringan kapas," celotehku sembari membuka buku matematika.
"Terserah kau saja," balas Eri tak peduli.
Ting ting ....
Aku refleks menoleh ke samping, tepat ponselku yang tadi aku lempar, ada pesan masuk dua kali. Aku tersenyum lebar, nada dering itu aku setel khusus untuk seseorang.
"Dari Ailan."
Dengan gerakan cepat aku melompat dan mengambil ponsel---padahal baru beberapa detik lalu aku berusaha mengalihkan perhatian dari benda terkutuk itu, Eri yang berdiri di pojokan hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuanku, untung saja dia tidak bisa memukulku.
"Dasar!" Eri berdecak.
Aku menoleh dan melotot. "Kenapa? Kau jangan berdiri di pojok kayak setan lah, Kak."
Eri memutar bola mata, tetapi ia menuruti perkataanku dan duduk di sampingku.
Si Bocah Ailan
Rumah sakit Husada, lantai 4, kamar nomer 121.
07.11 PM
Kamar Eri.
07.11 PM
Aku terdiam, begitu juga dengan Eri yang duduk di sebelahku. Kami saling bertatapan dan aku hanya menggeleng saat Eri bertanya lewat tatapan matanya.
Ting ting ....
"Dia mengirim pesan suara," gumamku.
Aku menekan tombol play dan mendengarkan pesan suara dari Ailan dengan suara keras agar Eri juga mendengarnya.
"Falyn, tolong aku! Aku ada di dekat Husada, aduh aku rasanya ingin mati huek---"
Suara Ailan di sana disertai rintihan kesakitan, dengan napas yang memburu dan di akhir suaranya dia terdengar muntah-muntah.
"Kak aku harus pergi dulu, jaga Mama di rumah ya?"
***
Aku tiba setelah beberapa menit dengan bantuan taksi. Aku mengedarkan pandangan sembari memanggil nama Ailan, tetapi pemuda itu bahkan tidak menunjukkan batang hidungnya.
Aku berlari agak jauh dari rumah sakit, mungkin Ailan ada di taman kota dekat rumah sakit, tempat itu kalau sekarang agak sepi apalagi malam ini bukan malam Minggu.
"Ailan!"
Ailan berjongkok di depan sebuah pohon, dia membelakangiku sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Dari belakang rambutnya tampak berantakan dan baju seragam putihnya sudah kotor.
"Ailan? Kenapa kau belum pulang?" tanyaku pelan sembari menyentuh bahunya.
Ailan berdiri, lantas dengan gerakan patah-patah dia membalikkan badan. Aku memekik dan refleks mundur.
Wajah Ailan penuh darah juga seragam dan tangannya, di bagian perutnya menjadi sumber darah yang keluar begitu banyak. Ailan tersenyum mengerikan, ia mulai mendekatiku.
"Siapa kau!? Kau bukan Ailan!" seruku. "Kenapa kau seperti zombie!"
"Kau lupa suaraku, Falyn?"
Ailan mengeluarkan suara, tetapi berbeda dari biasanya. Ailan memiliki suara yang dalam dan agak serak, lalu suara ini lebih cempreng dari Ailan.
"Kak Vino? Kenapa kau masuk ke tubuh Ailan?" tanyaku terkejut, aku terus melangkah ke belakang, takut Vino melakukan hal yang buruk.
Vino di sini tampak menakutkan seperti ada roh jahat yang mengendalikannya, dia tidak seperti orang yang selama ini aku kenal. Aku mencengkeram tasku erat-erat dan berdoa dalam hati agar ada orang baik yang lewat dan membantuku.
"Aku? Aku baru saja membunuh Arga dengan tubuh ini." Vino terbahak.
Pemuda itu menyikap seragamnya dan menunjukkan sebuah luka tusukan pisau di perut.
"Tapi kau tahu apa balasan Arga? Dia menusuk tubuh bocah ini dan sebelumnya dia meracuni bocah ini hahaha," ujar Vino. "Mungkin aku akan mati bersama Ailan habis ini."