"Alisa target selanjutnya?"
Ailan mengangguk. "Kau harus memberitahu Alisa, dia kan temanmu."
Aku menghela napas berat. "Terakhir kali aku mengingatkan Alisa untuk menjauhi Arga, dia malah menjauhiku dan tidak mau berbicara denganku. Alisa marah padaku."
"Kalau tidak bisa, kau bisa meminta bantuan Azhel, Alisa pasti akan menuruti perkataan kakaknya," ujar Ailan, memberikan saran.
"Kenapa kau tidak bilang sendiri pada Azhel?" Aku menatapnya kesal.
Ailan menghela napas. "Kami masih marahan, lebih tepatnya masih bermusuhan."
Aku mengerutkan kening, bertanya lewat tatapan mata, tetapi sepertinya Ailan tidak paham kodeku, buktinya dia malah menatapku dan tidak melanjutkan perkataannya. "Kenapa kalian bermusuhan?"
"Dulu, kami bersahabat dekat. Aku, Azhel, Alfi dan Rudi anak IPA 1 itu." Ailan memandang langit-langit kamar dan tersenyum takzim.
"Berarti kau sudah kenal Alfi? Itulah sebabnya kau mau-mau saja disuruh Pak Sela duduk di bangku Alfi waktu itu?" tanyaku.
Ailan mengangguk, wajahnya menampakkan kebahagiaan dan kerinduan di saat yang sama. "Aku dan Alfi sangat dekat, kami seperti saudara kembar. Lalu Azhel dekatnya dengan Rudi, maka dari itu dia sering ke IPA 1, kalau dari dulu, aku dan Azhel memang sering bertengkar. Aku yang lebih banyak diam dan Azhel yang kebanyakan energi membuatku lelah kalau berada di dekatnya, tapi dia cocok dengan Rudi dan aku lebih cocok dekat dengan Alfi yang sama-sama kalem."
Ailan mendongakkan kepala, mencegah air matanya turun. "Dan suatu hari Tuhan mengambil Alfi, kami saling menyalahkan tentang kematian Alfi sehingga menimbulkan perkelahian yang hampir membuat kami mati, kami saling memukul hingga tidak sadarkan diri. Sejak saat itu aku mulai menjauh dari mereka berdua, berusaha melupakan teman-temanku, tetapi lihatlah, takdir berkata lain, aku pindah sekolah di Laverna. Aku bahkan tidak tahu kalau mereka sekolah di sini. Ternyata sejauh apapun aku pergi, aku akan kembali pada mereka, yah walaupun mereka belum menerimaku sepenuhnya."
"Kenapa kau pindah ke sini?"
Ailan tersenyum tipis. "Kau pasti dengar desas-desus kalau aku membunuh orang, 'kan? Hal itu tidak sepenuhnya salah, aku pernah memukul orang karena dia mau bunuh diri, dan aku berniat mencegahnya, jadi aku memukulnya tapi kelepasan hingga membuatnya pingsan. Dan sekolah menganggapku merundung anak itu."
"Jadi kau dikeluarkan dari sekolah?" tanyaku serius.
Ailan menggeleng. "Tidak, aku yang keluar dari sana. Aku pindah ke sini bukan tanpa alasan, orang tuaku dipindah tugaskan di rumah sakit ini, lalu aku sedang mengais kenangan di Laverna dan terakhir aku harus memperjuangkan cintaku di sini."
Aku diam mendengarkan. Ternyata Ailan tidak sesederhana itu, ceritanya sangat menarik. Hidupnya tidak lempeng seperti hidupku. Mungkin jika Ailan bercerita sampai pagi, aku bersedia menjadi pendengarnya.
"Apa kau rindu Alfi?"
Ailan menoleh saat pertanyaan itu keluar dari mulutku, pemuda itu mengangguk cepat. "Aku jelas sangat merindukannya. Aku masih sering mengunjungi rumah Alfi dan bermain bersama adiknya. Rey sudah aku anggap seperti adikku sendiri, aku ingin mengantikan posisi kakak untuknya karena aku tahu bagaimana rasanya anak bungsu tiba-tiba dipaksa jadi anak tunggal, dan aku tidak ingin Rey merasakan hal itu."
Aku tiba-tiba teringat saat dulu arwah Rey suka sekali membuntuti Ailan. "Ah, jadi itu alasannya kenapa arwah Rey suka padamu?"
Ailan mengangguk. "Waktu itu mungkin Rey mau minta bantuanku, hanya saja aku tidak bisa melihatnya. Tapi untung saja dia bisa kembali, berkat bantuanmu, Falyn. Terima kasih ya."
Aku mengangguk dan mengelus tangan Ailan, entah kenapa jari jemarinya terasa pas dan nyaman di genggamanku.
"Kau tidak ingin berbaikan dengan Azhel, Ailan?"
Genggaman tangan kami semakin erat. Pemuda itu menghela napas untuk kesekian kali, butuh waktu beberapa menit hingga Ailan bersuara.
"Aku sebenarnya ingin berbaikan dengan Azhel, tapi aku takut kalau mengecewakannya lagi."
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu terdengar, aku melepaskan genggaman tangan kami, hendak membukakan pintu, tetapi pintu sudah lebih dulu terbuka saat aku baru berdiri.
Panjang umur, batinku.
Azhel tiba-tiba datang dengan sebuah senyum teduh. Dia mendekat pada kami dan menyapaku dengan riang.
Ailan jelas terkejut dengan kedatangan Azhel, tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba manusia satu ini muncul di kamarnya.
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Ailan ketus.
"Ah, tadi mamamu meneleponku, jadi aku tahu kau ada di sini," jawab Azhel.
"Aku tanya, kenapa kau ada di sini?" Wajah Ailan berubah serius.
Aku tidak berani menegur Ailan yang sedang marah, padahal beberapa menit lalu dia bilang ingin berdamai dengan Azhel dan ingin memberitahu Azhel agar Alisa menjauhi Arga, tetapi kenapa Ailan malah marah-marah.
"Mau mengunjungi sahabatku, mungkin? Tidak boleh ya?" Azhel memandang Ailan, tetapi tidak ada respons darinya. "Kalau tidak boleh aku akan pulang."
Azhel berbalik dan hendak melangkah pergi, aku tidak menemukan wajah kecewa atau sedih di sana. Dia memang begini atau sudah mati rasa?
"Tunggu, Azhel," ucap Ailan pelan.
Azhel mengembangkan senyuman, dia langsung berbalik menghadap Ailan.
"Aku ingin mengatakan sesuatu, maaf bukannya aku ikut campur, tapi lebih baik kau menyuruh adikmu untuk tidak lagi berharap pada Bang Arga, dia tidak baik untuk adikmu." Ailan mengatakannya dengan nada datar, dia bahkan enggan menatap wajah Azhel.