Dua hari berlalu terasa lambat karena di kelas aku merasa kesepian, Alisa marah padaku dan Ailan masih dirawat di rumah sakit. Namun untung saja kini Ailan sudah bisa masuk sekolah dan kabar baiknya luka tusuk itu tidak terlalu dalam sehingga Ailan baik-baik saja.
Sebuah pemandangan baru hari ini, Ailan dan Azhel bercanda bersama yang mana membuat teman sekelas kaget, padahal dua orang itu terkenal karena tidak bisa akur, mereka sering bertengkar bahkan untuk berbagi tempat duduk saja Azhel ogah-ogahan, dia lebih memilih untuk berdiri.
Namun kini mereka memasuki kelas bersamaan dengan Alisa yang berada di depan mereka. Azhel dan Ailan tertawa bersama.
Ailan melihatku dan tersenyum lebar, dia berlari kecil ke arahku. "Falyn! Lama tidak ketemu, kau rindu aku nggak?"
"Nggak," jawabku.
Azhel tertawa dan memukul bahu Ailan agak keras. "Mampus!"
"Idih, jomblo dilarang ketawa," balas Ailan.
Alisa duduk di depanku, dia masih mendiamkanku, ia semakin marah padaku karena tahu kalau Arga tidak masuk sekolah beberapa hari ini.
Ailan menaruh tasnya di meja, dia lantas memberiku susu rasa macha. "Ini, dari orang sepesial untuk orang spesial juga."
Aku tersenyum malu. "Apa sih Ailan."
Ailan tertawa yang mana membuat Azhel jengah.
"Hust, masih pagi Ailan, aku mau tidur." Azhel menaruh kepala di meja dan menjadikan tas sebagai bantalnya.
"Alisa, kalau nanti ada yang cari bangunin aku ya?" Suara Azhel terpendam.
Alisa di depanku hanya membalas dengan gumaman.
"Kau tidak apa-apa, Ailan?" tanyaku setelah Ailan menyeret kursinya dan duduk di sebelahku.
"Ya, aku tidak pernah sebaik ini sebelumnya." Ailan menyombongkan dirinya.
"Kalau aku menonjok perutmu yang dioperasi sakit nggak?" tanyaku, tapi aku tidak begitu serius ingin menonjoknya.
"Ya sakitlah, Falyn, aku kan bukan manusia super." Ailan cemberut, membuatku merasa gemas.
Aku memandang matanya yang dibingkai kacamata, semakin hari pemuda itu semakin menarik perhatianku, dia bukan tipe cowok-cowok yang aku idamkan sebelumnya, tetapi dengan tingkah konyolnya entah mengapa membuatku merasa nyaman.
"Ailan, Azhel!"
Seseorang tiba-tiba berteriak di ambang pintu. Kami refleks menoleh dan mendapati Rudi melambaikan tangan dengan penuh semangat.
Ailan mengangguk, dia berdiri dan mencegah Alisa yang hendak membangunkan Azhel.
"Woi bangun! Dicariin Rudi!" seru Ailan di telinga Azhel, membuat pemuda itu terbangun dan melototkan mata.
Ailan tertawa dan berlari keluar karena Azhel sudah mencak-mencak ingin memukuli anak itu. Aku di sini juga ikut tertawa, aku tidak pernah melihat Azhel dan Ailan sebahagia itu. Tingkah mereka berdua absurd, atau hanya karena aku belum mengenal mereka lebih dekat?
"Mereka sudah kembali ternyata," kata Alisa, aku baru menyadari kalau dia mengajakku berbicara.
"Ya, mereka sudah berdamai dengan masa lalu."
Aku tersenyum, setidaknya Alisa sudah mau mengajakku berbicara walau hanya sepatah dua patah kata.
***
Bel istirahat sudah berbunyi beberapa detik yang lalu, tapi aku tidak sadar karena pikiranku entah terbang ke mana.
Dua hari ini menjadi hari yang panjang untukku, mulai dari Ailan yang dirawat di rumah sakit, Alisa yang marah padaku dan Eri yang sering bolak-balik ke rumah sakit walau sekadar untuk melihat kondisi tubuhnya atau mencari tubuh Vino.
Bicara soal Vino, dia dua hari ini benar-benar tidak terlihat, ia sedang menjalani hukuman. Aku tidak tahu pasti apa hukumannya dan siapa yang memberi hukuman, tapi semoga saja Vino bisa bertahan karena niat awalnya baik, untuk menemukan tubuh Eri.
Beberapa hari yang lalu aku sudah menceritakan pada Mama Papa tentang kejadian Eri yang disekap dua tahun lamanya oleh Arga. Papa tentu saja membawa kasus ini ke ranah hukum walaupun orang tua Arga yang notabenenya punya jabatan tinggi dan kaya raya meminta untuk diselesaikan secara kekeluargaan, kami tetap gigih untuk menegakkan keadilan.
"Bagaimana kalau saya juga menyekap anak Anda selama dua tahun dan menyiksanya sama seperti yang dia lakukan pada anak saya, Anda mau?" balas Papa kala itu.
Orang tuanya Arga saat itu diam dengan jawaban sarkas Papa, walau kami bukan dari keluarga dengan jabatan tinggi, kami berani melawan keluarga Arga.
"Aku bisa memenjarakanmu karena yang kau lakukan adalah kejahatan," balas ibunya Arga.
"Nah, itu yang coba saya lakukan. Saya punya prinsip mata dibalas mata dan nyawa dibalas nyawa."
Pertikaian itu berakhir karena dua polisi tiba-tiba datang dan beberapa hari ini diadakan sidang dan sudah pasti Arga yang bersalah.
"Hai cantik, kenapa melamun?"
Ailan tiba-tiba menangkup pipiku hingga membuatku terkejut dan refleks memukul Ailan.
"Ailan!"
Ailan tertawa keras, lantas dia mengaduh sakit karena jahitan di perutnya belum kering.
"Makanya jangan banyak tingkah," omelku.
"Iya iya, ini mau diam. Ayo ke kantin, Azhel yang mentraktir." Ailan merangkul Azhel yang tiba-tiba lewat di sampingnya, membuat pemuda itu menatapnya bingung.
"Hah? Sejak kapan aku mau mentraktir?" Azhel mengerutkan kening.
"Sejak sekarang, ayo Azhel."