"Aku sama Vino sudah cari petunjuk, dan ternyata Vino ada di rumah sakit Husada, sama seperti aku." Eri berkata dengan gembira.
Aku memutar bola mata malas. "Aku sudah tahu, Kak. Aku ingin memberi tahumu tapi kau selalu menghilang sama Kak Vino."
"Ya aku mana tahu, Dek." Eri duduk di pinggir ranjang kamar rumah sakit, ia menatap raganya yang tertidur di ranjang.
"Tapi aku tidak tahu di mana kamarnya," ucapku berbarengan dengan Eri sampai-sampai kami takjub karena tiba-tiba kompak.
Eri tertawa. "Padahal bukan kompak seperti ini yang aku inginkan."
Eri mencoba menyentuh ujung jarinya, dia terkejut dan refleks menarik kembali tangannya sedangkan jari Eri yang tubuhnya koma bergerak perlahan.
"Seperti ada sengatan listrik." Eri menunjuk tubuhnya yang tertidur.
"Mungkin itu rasanya sama saat kau kembali ke tubuhmu, Kak."
Eri mengangguk singkat.
"Oh iya, Kak Vino mana?" Aku menoleh ke arahnya.
"Kekuatan Vino semakin lemah, jadi sekarang Vino lebih memilih menetap di suatu tempat daripada tenaganya semakin habis karena mondar-mandir, lebih baik Vino menyimpan energi agar bisa kembali ke dunia nantinya."
***
Hari Sabtu seharusnya menjadi hari yang menyenangkan bagiku, alasannya karena saat hari Sabtu merupakan weekend dan besoknya libur. Namun berbeda dengan hari ini, aku bangun terlambat dan tidak ada yang membangunkanku karena orang tuaku pasti sudah siap-siap kerja dan ke rumah sakit menemui Eri. Karena kecerobohanku, aku terlambat.
Bahkan kicauan burung-burung seakan menertawakanku yang berlarian mengejar waktu agar tidak tertinggal bus terakhir, ditambah suara klakson di jalan raya yang semakin membuat hariku semakin buruk.
Aku tidak begitu ingat apakah tadi aku mandi atau hanya cuci muka, aku takut kalau nanti Alisa akan mengejekku karena belum mandi, padahal mandi itu hanya untuk orang yang mampu, dan sekarang aku tidak mampu.
"Huft."
Aku menghela napas berat saat sudah bisa naik bus, kebetulan sekali ada satu kursi kosong di sebelah dua orang gadis yang memakai seragam sama sepertiku.
Aku melototkan mata dan menegakkan punggung, refleks aku menoleh ke samping.
"Kak Aria? Kak Mega?" Mereka kakak kelas yang waktu itu memberi tahuku tentang keberadaan Vino.
Aria tersenyum tipis, sedangkan Mega melambaikan tangannya menyapaku. "Kenapa sampai lari-lari?"
Aku balas tersenyum. "Tadi dikejar monster, Kak."
Kami banyak berbincang mengenai banyak hal, aku mencoba sedikit demi sedikit untuk memancing topik tentang Vino.
"Kakak tahu yang mana adiknya Kak Vino?" tanyaku, bertepatan dengan bus berhenti.
Aria dan Mega langsung berdiri, yang mana membuatku menghela napas karena kecewa.
"Kita lanjut sambil jalan ya?" tanya Aria.
Aku mengangguk semangat dan ikut kedua orang itu untuk turun. Kami tiba di depan gerbang sekolah dan aku sangat beruntung karena tidak terlambat.
"Kau tadi tanya adiknya Vino kan?"
Aku mengangguk semangat menjawab pertanyaan Mega dengan harapan besar agar aku segera mendapat jawaban.
"Itu dia." Aria menunjuk dua pemuda yang berjalan beberapa langkah di depan kami.
Aku mengeratkan pegangan di tas punggungku. "Yang mana, Kak?"
"Itu yang pakai kacamata, kalau yang satunya aku kenal, dia Rudi anak OSIS," jawab Aria.
Aku menghentikan langkah dan menatap punggung pemuda itu. Aria dan Mega pamit lebih dulu karena mereka ada urusan.
Tanganku semakin erat menggenggam pegangan tasku, pandanganku berubah menjadi tajam yang mana sampai-sampai bisa menusuk punggung pemuda itu hingga membuatnya berhenti dan menoleh ke belakang.
Pemuda itu tersenyum lebar, dia melambaikan tangannya dengan semangat dan berlari kecil menghampiriku. "Falyn!"
"Ailan."
Adiknya Vino? Kenapa selama ini dia diam saja?
***