"Kau pasti sudah tahu dari Kak Aria dan Kak Mega kalau Bang Vino itu kakakku, dan benar, aku itu adiknya Bang Vino. Dialah Doraemonku selama ini."
Aku terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa, padahal aku sudah mengetahui fakta ini sebelumnya, tetapi saat Ailan mengatakannya secara langsung, hatiku terasa sakit, entah karena apa.
"Kenapa kau baru memberi tahuku sekarang, Ailan? Aku selama ini seperti orang gila pergi ke sana kemari, sulit tidur karena aku terus memikirkan di mana tubuh Kak Vino, tapi selama ini kau tahu dan kau hanya diam? Dan kenapa baru sekarang kau memberi tahuku kalau kau adiknya Kak Vino?" tanyaku emosi hingga tanpa sadar aku menangis.
Ailan bersikap tenang seperti biasanya, dia menyuruhku untuk duduk terlebih dahulu, ia membiarkanku menangis dan mengizinkanku berbicara setelah semua kekesalanku padam.
"Kau sudah merasa lebih baik?" tanya Ailan setelah beberapa menit lalu dia keluar, tangannya menyodorkan minuman dingin.
Aku mengangguk dan menerima air itu.
"Begini ya Falyn, pikirkan dulu perkataanku, apakah kau pernah bertanya padaku tentang Bang Vino? Kau mungkin awalnya bingung kenapa kau harus bertanya padaku tentang Bang Vino, tapi setelah beberapa hari aku pindah ke sini, kau pasti sudah mendengar gosip bahwa loker di kelas yang aku tempati itu milik Bang Vino, dan apa kau tidak merasa aneh kenapa aku punya kuncinya? Jelas saja karena aku adiknya, lalu hari itu aku menyuruhmu berbalik karena aku tidak ingin kau melihat segala keluh kesah yang Abang torehkan di dalam sana," ujar Ailan.
Aku terdiam, ada benarnya juga. Kenapa aku begitu bodoh?
"Lalu apa kau juga pernah terbuka padaku dan kau memberi tahuku kalau kau mencari tubuh Abang? Tidak Falyn, aku baru tahu kemarin karena kau yang cerita. Aku selama ini hanya mengira kau sibuk membicarakan Bang Vino karena kau masih menyukainya."
Ailan menatap Vino yang terbaring di ranjang rumah sakit, dia bergumam, "Aku benci fakta bahwa Bang Vino adalah cinta pertamamu."
"Maafkan aku, Ailan." Aku menundukkan kepala.
Ailan menyentuh bahuku dan menatapku, aku balas menatapnya dan menemukan fakta bahwa mata pemuda itu sudah berkaca-kaca. Ailan menggeleng dan air matanya turun begitu saja.
"Kau tidak salah, Falyn, aku yang salah di sini." Ailan menoleh pada Vino. "Aku benar-benar putus asa, Falyn. Kami sekeluarga seperti tidak menemukan harapan bahwa Abang akan kembali membuka mata, Papa sampai menyalahkan dirinya sendiri karena dia tidak bisa menyembuhkan anaknya sendiri padahal dia dokter, maka dari itu kami memutuskan untuk mencabut penunjang kehidupannya beberapa hari lagi. Tapi hari ini aku dapat semangat baru, aku berharap Abang bisa bangun lagi dengan bantuanmu."
Mata Ailan yang berbinar menatapku penuh harap, wajahnya menampilkan sebuah senyuman tulus, tetapi beberapa detik kemudian senyum itu hilang, digantikan dengan raut muka sedih.
"Aku merasa gagal menjadi adek yang baik, Falyn. Terakhir kali aku bertemu Abang saat kami musuhan dan aku berniat meminta maaf padanya sepulang dari naik kereta, tetapi aku malah dapat kabar kebarakan hari itu. Hari itu aku sangat kacau, hingga berbulan-bulan kemudian Abang tidak juga kunjung bangun, aku bertengkar dengan orang tuaku hingga memutuskan untuk tinggal sendiri, walau pada dasarnya aku dan orang tuaku tidak pernah dekat. Kau waktu itu pernah kan ke rumahku dan di sana sangat sepi? Kau memang benar, aku tinggal sendirian jadi aku kesepian, aku tidak mau kembali ke rumah lama sebelum Abang kembali. Dan baru akhir-akhir ini saja aku dekat dengan orang tuaku." Bahu Ailan bergetar karena menangis.
"Setiap kau bercerita tentang Abang, aku ingin sekali menanyakan apkah dia rindu aku? Apakah dia memaafkanku, tapi tidak, dia bersikap seakan-akan tidak mengenalku, dia lebih mementingkan kekasihnya daripada adiknya, hal itu membuatku sakit hati dan baru kemarin kau memberi tahuku kalau abang tidak ingat apapun, berarti selama ini aku berburuk sangka."
Ailan menangis, walau tidak sekeras tangisanku, tetapi suaranya sudah menjelaskan penderitaannya selama ini. Aku memeluknya dan berusaha menenangkannya, walau berakhir aku sendiri yang ikut menangis. "Aku minta maaf, Ailan, seharusnya aku memahamimu bukannya malah memarahimu."
Ailan menggelengkan kepala. "Tidak, kau tidak perlu meminta maaf. Tapi aku punya satu permintaan, tolong sampaikan maafku pada Abang ya? Bilang kalau aku menyayanginya, bilang juga kalau aku ini adeknya."
***
"Falyn!"
Aku terkejut saat tiba-tiba suara teriakan Alisa terdengar dari luar rumahku, padahal beberapa menit yang lalu keadaan rumahku aman, dan aku tadi termenung dengan pemikiranku, banyak hal yang berkecamuk di pikiranku dan tiba-tiba semua hilang karena panggilan Alisa.
Aku berlari menuruni tangga, untung saja tidak ada adegan terpeleset dengan tidak elegan. "Sebentar, Alisa!"
"Halo, Falyn!" Alisa tersenyum lebar, ia melambaikan tangan dan menyapaku dengan riang.
Aku memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah, keningku mengernyit bingung. "Kenapa dandanmu begitu?"
"Kau lupa? Sore ini kita akan jalan-jalan, kau sudah janji, jangan bilang kau lupa." Alisa berdecak kesal.
Aku mengumpat dalam hati. Mampus! Aku benar-benar lupa!
Aku cengengesan. "Aku nggak mungkin lupa, ayo masuk dulu. Aku mandi dulu ya, janji nggak lama kok."
"Aku yakin kau lupa, keasikan kencan sama Ailan," cibir Alisa.